Legal Standing Masyarakat Hukum Adat Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012
Legal Standing Masyarakat Hukum Adat Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012
Legal standing adalah keadaan dimana seseorang atau suatu pihak ditentukan memenuhi syarat dan oleh karena itu mempunyai hak untuk mengajukan permohonan perselisihan atau sengketa atau perkara di depan Mahmakah Konstitusi. Dalam mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945), Pemohon harus menjelaskan terlebih dahulu kedudukan hukum (Legal Standing) yang dimilikinya. Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Mahkamah Konstitusi beserta penjelasannya menyebutkan, yang dapat mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD NRI 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 memutuskan perkara konstitusi dalam pengujian Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan terhadap UUD NRI 1945 yang diajukan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Kenegerian Kuntu, dan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Kesepuhan Cisitu. Dalam putusan tersebut, memberikan makna baru terhadap legal standing masyarakat hukum adat. Sebelumnya, tidak terdapat peraturan perundang-undangan yang mengakui adanya legal standing masyarakat hukum adat.
Adapun pertimbangan hukum yang berkaitan dengan legal standing masyarakat hukum adat oleh Mahkamah Konstitusi sebagai berikut:
Legal Standing Para Pemohon
Bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, menurut Mahkamah, Pemohon I adalah badan hukum privat yang peduli untuk memperjuangkan hakhak masyarakat hukum adat, sedangkan Pemohon II dan Pemohon III adalah kesatuan masyarakat hukum adat yang secara potensial dirugikan oleh berlakunya pasal-pasal UU Kehutanan yang dimohonkan pengujian, dan apabila dikabulkan maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo;
Pokok Permohonan
Pokok permohonan yang berkaitan dengan kedudukan masyarakat hukum adat, sebagai berikut:
- Para Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 4 ayat (3) UU Kehutanan sepanjang frasa “sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional” bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 18B ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (3) UUD 1945 karena membatasi hak-hak masyarakat hukum adat untuk memanfaatkan hasil kekayaan alam yang berada di wilayah adatnya;
- Para Pemohon, antara lain, menyatakan bahwa pengakuan terhadap masyarakat hukum adat berdasarkan atas asas rekognisi, bukan dikarenakan asas yang dikenal dalam sistem pemerintahan daerah dekonsentrasi, desentralisasi dan tugas pembantuan. Masyarakat hukum adat mempunyai hak untuk menentukan nasib sendiri, secara bebas menentukan status politik mereka dan secara bebas mengejar kemajuan ekonomi sosial dan budaya mereka. Para Pemohon mengakui bahwa perintah pengaturan tentang tata cara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya melalui Undang-Undang. Bahwa keberadaan ketentuan pada pasal-pasal UU Kehutanan yang dimohonkan pengujian, yang secara tegas telah menyebabkan terjadinya perampasan dan penghancuran masyarakat hukum adat beserta wilayah hukum adat serta hak-haknya, menjadikan ketentuan-ketentuan ini bertentangan dengan Pasal 18B ayat (1) dan Pasal 28I ayat (3) UUD 1945;
- Menurut Mahkamah, UUD 1945 telah menjamin keberadaan kesatuankesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dengan Undang-Undang dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945. Sekalipun disebut masyarakat hukum adat, masyarakat demikian bukanlah masyarakat yang statis. Gambaran masyarakat hukum adat masa lalu untuk sebagian, kemungkinan besar telah mengalami perubahan pada masa sekarang. Bahkan masyarakat hukum adat dengan hak ulayatnya di berbagai tempat, lebih-lebih di daerah perkotaan sudah mulai menipis dan ada yang sudah tidak ada lagi. Masyarakat demikian telah berubah dari masyarakat solidaritas mekanis menjadi masyarakat solidaritas organis. Dalam masyarakat solidaritas mekanis hampir tidak mengenal pembagian kerja, mementingkan kebersamaan dan keseragaman, individu tidak boleh menonjol, pada umumnya tidak mengenal baca tulis, mencukupi kebutuhan sendiri secara mandiri (autochton), serta pengambilan keputusan-keputusan penting diserahkan kepada tetua masyarakat (primus interpares). Di berbagai tempat di Indonesia masih didapati masyarakat hukum yang bercirikan solidaritas mekanis. Masyarakat demikian merupakan unikum-unikum yang diakui keberadaannya (rekognisi) dan dihormati oleh UUD 1945. Sebaliknya masyarakat solidaritas organis telah mengenal berbagai pembagian kerja, kedudukan individu lebih menonjol, hukum lebih berkembang karena bersifat rational yang sengaja dibuat untuk tujuan yang jelas;
- Kata “memperhatikan” dalam Pasal 4 ayat (3) UU Kehutanan harus dimaknai lebih tegas, yaitu negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya, sejalan dengan maksud Pasal 18B ayat (2) UUD 1945. Adapun syarat pengakuan dan penghormatan masyarakat hukum adat dalam frasa ―sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya‖, harus dimaknai sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat, karena hukum adat pada umumnya merupakan hukum yang tidak tertulis dan merupakan living law, artinya merupakan hukum yang diterima (accepted) dan dijalankan (observed) serta ditaati oleh masyarakat yang bersangkutan karena memenuhi rasa keadilan bagi mereka dan sesuai serta diakui oleh konstitusi;
- Di samping itu, berkenaan dengan syarat sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, dalam kenyataannya status dan fungsi hutan dalam masyarakat hukum adat bergantung kepada status keberadaan masyarakat hukum adat. Kemungkinan yang terjadi adalah: (1) kenyataannya masih ada tetapi tidak diakui keberadaannya; (2) kenyataannya tidak ada tetapi diakui keberadaannya. Jika kenyataannya masih ada tetapi tidak diakui keberadaannya, maka hal ini dapat menimbulkan kerugian pada masyarakat yang bersangkutan. Misalnya, tanah/hutan adat mereka digunakan untuk kepentingan lain tanpa seizin mereka melalui cara-cara penggusuran-penggusuran. Masyarakat hukum adat tidak lagi dapat mengambil manfaat dari hutan adat yang mereka kuasai. Sebaliknya dapat terjadi masyarakat hukum adat kenyataannya tidak ada tetapi objek hak-hak adatnya masih diakui. Artinya, berdasarkan sejarah keberadaan mereka pernah diakui oleh negara, padahal kenyataannya sesuai dengan perkembangan zaman sudah tidak terdapat lagi tanda-tanda atau sifat yang melekat pada masyarakat hukum adat. Tanda-tanda dan sifat masyarakat hukum adat yang demikian tidak boleh dihidup-hidupkan lagi keberadaannya, termasuk wewenang masyarakat atas tanah dan hutan yang pernah mereka kuasai. Hutan adat dengan demikian kembali dikelola oleh Pemerintah/Negara. Pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, tidak bermaksud melestarikan masyarakat hukum adat dalam keterbelakangan, tetapi sebaliknya mereka harus tetap memperoleh kemudahan dalam mencapai kesejahteraan, menjamin adanya kepastian hukum yang adil baik bagi subjek maupun objek hukumnya, jika perlu memperoleh perlakuan istimewa (affirmative action). Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban [vide Pasal 28I ayat (3) UUD 1945]. Tidak dapat dihindari, karena pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, masyarakat hukum adat cepat atau lambat juga akan mengalami perubahan, bahkan lenyap sifat dan tanda-tandanya. Perubahan tersebut dapat berdampak positif maupun negatif bagi masyarakat yang bersangkutan. Untuk mencegah terjadinya dampak negatif, UUD 1945 memerintahkan keberadaan dan perlindungan kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat supaya diatur dalam Undang-Undang, agar dengan demikian menjamin adanya kepastian hukum yang berkeadilan;
- Para Pemohon menyatakan ―suatu masyarakat hukum adat mempunyai hak untuk menentukan nasib sendiri, secara bebas menentukan status politik mereka dan secara bebas mengejar kemajuan ekonomi sosial dan budaya mereka‖. Menurut Mahkamah, wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia semula merupakan wilayah jajahan Belanda, kemudian menjadi wilayah negara yang merdeka dan berdaulat, yang diikat dalam kesepakatan-kesepakatan, yang kemudian dituangkan dalam kesepakatan tertulis, UUD 1945. Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia terbentang dari Sabang hingga Merauke. Pendapat para Pemohon tersebut di atas dapat berimplikasi pada upaya pemisahan diri masyarakat hukum adat untuk mendirikan negara baru yang lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (separatisme). Keberadaan masyarakat hukum adat demikian tidak sesuai dengan prinsip ―tidak bertentangan dengan kepentingan nasional‖ dan prinsip ―Negara Kesatuan Republik Indonesia‖. Jikapun ada kebebasan, hal tersebut telah diatur pembatasannya dalam Undang-Undang tentang otonomi daerah serta Undang-Undang lainnya dan masih dalam bingkai dan cakupan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pertimbangan Mahkamah yang berkenaan dengan Pasal 4 ayat (3) UU Kehutanan dalam Putusan Mahkamah Nomor 34/PUU-IX/2011 tersebut di atas mutatis mutandis berlaku untuk Pasal 4 ayat (3) UU Kehutanan dalam perkara a quo. Adapun terkait dengan permohonan pengujian konstitusionalitas Pasal 4 ayat (3) UU Kehutanan sepanjang frasa “sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional” beralasan menurut hukum untuk sebagian, sehingga menurut Mahkamah, Pasal 4 ayat (3) UU Kehutanan bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitutional), sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, kecuali dimaknai bahwa ―penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang‖;
Dengan demikian berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012, kini keberadaan masyarakat hukum adat di Indonesia diakuci secara hukum oleh negara. Artinya, masyarakat hukum adat memiliki hak yang perlu diperhatikan oleh negara khususnya terhadap hutan adat yang ada di Indonesia.
Baca Juga:
Konsistensi Pengakuan Masyarakat Adat Dipertanyakan
Kedudukan Hukum Tanah Ulayat Di Indonesia
Pembebasan Lahan Adat di Papua
Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?
Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.
Kirim PertanyaanEksepsi Dalam Hukum Acara Perdata dan Macam-Macamnya
Sidang Pemeriksaan Pidana dan 3 Jenis Acara Pemeriksaan Pidana
hukum expert
Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.