Tindak Pidana Pornografi dan Pasal-Pasal yang Mengaturnya

Tindak Pidana Pornografi

Kemajuan teknologi informasi memberikan dampak terhadap perkembangan dunia digital. Dampak dari kemajuan tersebut memberikan kemudahan akses bagi masyarakat terhadap perkembangan sistem elektronik. Disamping memberikan kemudahan, masih banyak pula masyarakat yang memanfaatkan perkembangan sistem elektronik tersebut secara bertentangan dengan hukum yang berlaku. Perbuatan yang bertentangan tersebut salah satunya adalah pornografi. Pornografi menjadi suatu persoalan yang masih sering dihadapi oleh bangsa Indonesia di era globalisasi saat ini, karena perkembangan pornografi bukan hanya terjadi terhadap kehidupan sosial di masyarakat, bahkan penyebarannya secara luas di dunia maya pun terus menjadi suatu hal yang sangat wajar bagi sebagian masyarakat.

Istilah pornografi berasal dari kata “pornographic” yang berasal dari bahasa Yunani yaitu “pornographos” (porne yang artinya pelacur, dan graphien yang artinya tulisan atau lukisan), jadi pornografi memiliki makna tulisan atau lukisan tentang pelacur, atau suatu deskripsi dari perbuatan para pelacur). Dalam Encyclopedia Britanica disebutkan bahwa pornography adalah: “The representation or erotic behavior, as in book, picture, or films, intended to cause sexual exticement” (suatu pengungkapan atau tingkah laku yang erotik seperti di dalam bukubuku, gambar-gambar, dalam film-film, yang ditujukan untuk menimbulkan kegairahan seksual).[1] Sedangkan menurut Wirjono Prodjodikoro termasuk juga dalam pornografi ini gambar atau barang pada umumnya yang berisi atau menggambarkan sesuatu menyinggung rasa susila dari orang yang membaca dan melihatnya.[2]

 

Aturan Tentang Pornografi

Pemerintah pada tahun 2008 mengeluarkan kebijakan hukum terhadap penanggulangan pornografi dengan memberlakukan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi (UU Pornografi). Aturan tersebut dibentuk sebagai wujud dari negara hukum yang berdasarkan Pancasila dengan menjunjung tinggi nilai-nilai moral, etika, akhlak mulia, dan kepribadian luhur bangsa, beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, menghormati kebhinekaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta melindungi harkat dan martabat setiap warga negara. Pasal 1 Angka 1 UU Pornografi mendefinisikan pornografi sebagai berikut:

“Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.”

Dari berbagai definisi di atas, dapat diketahui bahwa pornografi tidak hanya terbatas pada perbuatan melainkan suatu gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya yang memuat muatan cabul atau eksploitasi seksual dan melanggar asusila yang disampaikan melalui media komunikasi dan suatu pertunjukkan di muka umum dapat dikategorikan sebagai pornografi.

Jauh sebelum adanya UU Pornografi, ancaman hukuman terhadap pornografi mengacu pada ketentuan yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Namun dalam KUHP sendiri tidak mengenal istilah kejahatan pornografi, melainkan perbuatan pornografi secara definitif dapat dikenakan Pasal 281 sampai 283 KUHP yang dikenal sebagai tindak pidana terhadap kesusilaan. Dalam KUHP, perbuatan yang tergolong melanggar norma kesusilaan disebut sebagai kejahatan terhadap kesusilaan atau delik kesusilaan. Ketentuan-ketentuan pidana yang diatur dalam KUHP tersebut dengan sengaja telah dibentuk oleh pembentuk undang-undang dengan maksud untuk memberikan perlindungan bagi orang-orang yang dipandang perlu untuk mendapatkan perlindungan terhadap tindakan-tindakan asusila atau ontuchte handelingen dan terhadap perilaku-perilaku dalam bentuk perbuatan-perbuatan yang menyinggung rasa susila karena bertentangan dengan pandangan orang tentang kepatutan-kepatutan di bidang kehidupan seksual baik ditinjau dari segi pandangan masyarakat setempat dimana kata-kata itu telah diucapkan atau dimana perbuatan itu telah dilakukan, maupun ditinjau dari segi kebiasaan masyarakat setempat dalam menjalankan kehidupan seksual mereka.[3]

UU Pornografi mengatur terkait larangan dan pembatasan terhadap pornografi yang terdiri dari beberapa ketentuan, diantaranya sebagai berikut:

  1. Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat:
  2. persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang;
  3. kekerasan seksual;
  4. masturbasi atau onani;
  5. ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan;
  6. alat kelamin; atau
  7. pornografi anak. (Pasal 4 Ayat (1) UU Pornografi)
  8. Setiap orang dilarang menyediakan jasa pornografi yang:
  9. menyajikan secara eksplisit ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan;
  10. menyajikan secara eksplisit alat kelamin;
  11. mengeksploitasi atau memamerkan aktivitas seksual; atau
  12. menawarkan atau mengiklankan, baik langsung maupun tidak langsung layanan seksual (Pasal 4 Ayat (2) UU Pornografi)
  13. Setiap orang dilarang meminjamkan atau mengunduh pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) (Pasal 5 UU Pornografi)
  14. Setiap orang dilarang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), kecuali yang diberi kewenangan oleh peraturan perundang-undangan (Pasal 6 UU Pornografi)
  15. Setiap orang dilarang mendanai atau memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 (Pasal 7 UU Pornografi)
  16. Setiap orang dilarang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi. (Pasal 8 UU Pornografi)
  17. Setiap orang dilarang menjadikan orang lain sebagai objek atau model yang mengandung muatan pornografi. (Pasal 9 UU Pornografi)
  18. Setiap orang dilarang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya. (Pasal 10 UU Pornografi)
  19. Setiap orang dilarang melibatkan anak dalam kegiatan dan/atau sebagai objek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 8, Pasal 9, atau Pasal 10 (Pasal 11 UU Pornografi)
  20. Setiap orang dilarang mengajak, membujuk, memanfaatkan, membiarkan, menyalahgunakan kekuasaan atau memaksa anak dalam menggunakan produk atau jasa pornografi. (Pasal 12 UU Pornografi)

Apabila larangan-larangan tersebut dilanggar, maka dapat dikenakan hukuman pidana sebagaimana yang diatur dari Pasal 29 sampai dengan Pasal 40 UU Pornografi. Adanya UU Pornografi dapat menutup kelemahan-kelemahan aturan yang mengatur pornografi dalam KUHP dan peraturan perundang-undangan lainnya. Selain itu, UU Pornografi menetapkan secara tegas tentang bentuk hukuman dari pelanggaran pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi yang disesuaikan dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan, yakni berat, sedang, dan ringan, serta memberikan pemberatan terhadap perbuatan pidana yang melibatkan anak. Di samping itu, pemberatan juga diberikan terhadap pelaku tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi dengan melipatgandakan sanksi pokok serta pemberian hukuman tambahan.[4]

 

Tindak Pidana Pornografi di KUHP 2023

Pada masa yang akan datang, perbuatan pornografi juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (UU KUHP). Secara definitif tidak terdapat perbedaan yang signifikan. Akan tetapi, terdapat rujukan ancaman hukuman pidana terkait perbuatan yang melanggar Pasal 4 Ayat (1) UU Pornografi yang diatur dalam Pasal 29 UU Pornografi mengalami perubahan dan dinyatakan tidak berlaku. Sehingga ancaman hukuman tersebut mengacu pada Pasal 407 Ayat (1) UU KUHP yang berbunyi:

Setiap Orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan Pornografi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) Bulan dan pidana penjara paling lama l0 (sepuluh) tahun atau pidana denda paling sedikit kategori IV dan pidana denda paling banyak kategori VI.

Terdapat penjelasan lebih lanjut dari Pasal 407 Ayat (1) UU KUHP yang menyatakan bahwa penafsiran pengertian pomografi disesuaikan dengan standar yang berlaku pada masyarakat dalam waktu dan tempat tertentu contemporary ommunity standard. Artinya tidak menutup kemungkinan definisi yang berkembang di masyarakat terkait tindak pidana pornografi dapat diberlakukan sehingga dapat memunculkan pemaknaan yang luas terhadap tindak pidana pornografi. Hal tersebut imbas dari masuknya aturan-aturan tertentu yang hidup di masyarakat dalam UU KUHP.

 

Penulis: Rizky Pratama Jawahir, S.H

Editor: Robi Putri J, S.H., M.H., C.T.L., C.L.A.,  & Mirna R, S.H., M.H., C.C.D

 

[1] Encyclopedia Britanica, Pornography, https://www.britannica.com/topic/pornography

[2] Abdul Wahid &Mohammad Labib, Kejahatan Mayantara (Cyber Crime), PT. Refika Aditama, Jakarta, 2005, halaman 78

[3] Vera Rimbawani Sushanty, Pornografi Dunia Maya Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Pornografi Dan Undang-Undang Informasi Elektronik, Jurnal Gagasan Hukum Vol. 1 No. 1 (2019): 109-129

[4] Penjelasan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.