Teori Hukum Kesesatan (Fallacy)

Kesesatan berpikir (fallacy) merupakan bagian dari kesalahan dalam menyusun bahan-bahan pengolahan logika dengan mengabaikan pola-pola penalaran sehingga memunculkan suatu konklusi yang tidak sesuai dengan kelaziman berpikir.[1] Suatu logika dapat diketahui mengandung unsur fallacy jika objeknya dipahami terlebih dahulu, sehingga diketahui pula mengenai lapisan logikanya, lapisan dialektikanya maupun lapisan proseduralnya berdasarkan bidang disiplin ilmu yang menaunginya.[2] Dalam kesempatan ini akan dibahas mengenai kesesatan berpikir (fallacy) dalam bidang hukum.

Kesesatan berpikir (fallacy) merupakan bagian dari persoalan dalam argumentasi hukum yang diungkapkan oleh R.G. Soekadijo.[3] Kesesatan dalam penalaran dapat terjadi karena suatu hal yang menyebabkan hal tersebut dianggap tidak masuk akal (irrasional).[4] Suatu penalaran dapat menjadi sesat karena adanya pelanggaran-pelanggaran terhadap kaidah logika. Seseorang yang mengemukakan suatu penalaran yang sesat, namun ia tidak melihat kesesatannya maka penalaran tersebut disebut sebagai paralogis, sedangkan apabila kesesatan itu digunakan untuk menyesatkan orang lain disebut dengan sofisme.[5] Penalaran juga dapat mengalami kesesatan karena tidak adanya hubungan logis antara premis dengan konklusi yang disebut dengan kesesatan relevansi. Menurut R. G. Soekadijo model kesesatan hukum terdapat 5 (lima) macam, berikut akan dijelaskan lebih rinci beserta contoh kesesatan yang dapat diterima dalam hukum[6] :

    1. Argumentum ad ignorantiam, yaitu kesesatan yang terjadi apabila seseorang menyampaikan argumentasi suatu proposisi sebagai benar, karena tidak terbukti salah atau suatu proposisi salah, karena tidak terbukti benar. Contoh kasus adalah dalam proses pengajuan gugatan perdata di Pengadilan Negeri, di mana berdasarkan Pasal 1865 Burgerlijk Wetboek, pihak Penggugat harus membuktikan kebenaran dalilnya di depan Majelis Hakim, sehingga jika dalil gugatan tidak dibuktikan kebenarannya, maka dalil tersebut dianggap salah dan sebaliknya;
    2. Argumentum ad verecumdiam, yaitu kesesatan yang terjadi jika ada penolakan atau penerimaan suatu argumentasi bukan karena nilai penalarannya, namun karena orang yang menyampaikan argumentasi itu adalah orang yang berwibawa, berkuasa, ahli dalam bidang-bidang profesi atau keilmuan tertentu, serta dapat dipercaya. Kesesatan ini bertentangan dengan adagium Latin : “Tantum valet auctoritas, quantum valet argumentation”(nilai wibawa hanya setinggi nilai argumentasinya). Contoh kasus adalah dibebaskannya Akbar Tanjung dari tuduhan melakukan tindak pidana korupsi Buloggate (vrijspraak) dalam penggunaan dana Yanatera Bulog saat dirinya menjadi menteri, karena menjalankan perintah atasannya (Presiden Prof. Dr. Ing. Bacharuddin Jusuf Habibie), sesuai Pasal 51 ayat (1) KUHP yang kemudian menjadi yurisprudensi Yurisprudensi tersebut dianggap benar karena yang mengemukakan adalah hakim dan putusan tersebut telah incraht;
    3. Argumentum ad hominem yaitu kesesatan yang terjadi karena ada penolakan atau penerimaan suatu argumentasi atau usulan bukan karena penalaran, namun karena keadaan orangnya (yang menyampaikan argumentasi atau usulan tersebut). Contoh kasus adalah bagaimana saat politik Apartheid masih diberlakukan oleh pemerintahan minoritas kulit putih di Afrika Selatan, banyak perlakuan diskriminatif terhadap penduduk kulit hitam (negro atau black African). Dalam setiap perdebatan, seringkali terjadi penolakan argumentasi, karena yang menyampaikan argumentasi itu adalah penduduk kulit hitam. Selain itu terdapat contoh lain yaitu tidak diterimanya keterangan saksi karena memiliki hubungan darah dengan Penggugat atau Tergugat;
    4. Argumentum ad misericordiam, yaitu kesesatan yang terjadi karena argumentasi yang disampaikan itu bertujuan untuk menimbulkan belas kasihan. Contoh kasus adalah adanya dalil-dalil yang dikemukakan oleh para terdakwa di depan Majelis Hakim berupa pledoi untuk mendapatkan keringanan hukuman bukan merupakan kesesatan, kecuali jika disampaikan untuk tetap memaksakan dalil pembuktian tidak bersalah;
    5. Argumentum ad baculum:Kesesatan yang terjadi karena penerimaan atau penolakan suatu argumentasi berdasarkan adanya ancaman dan/atau tekanan (under pressure). Contoh kasus adalah ancaman kepada setiap penduduk yang merokok di fasilitas umum, maka akan dikenakan sanksi pidana kurungan bagi barang siapa yang melanggarnya, berupa papan atau billboard dari pemerintah daerah yang melakukan sosialisasi Perda Anti Rokok.

Berdasarkan analisis dari Nussbaum, cara menganalisis bagaimana kesesatan berpikir beroperasi dalam ranah hukum dan masyarakat, yakni sebagai berikut[7] :

    1. Penjelasan dengan kekuatan heuristis (availability heuristic), yaitu dengan cukup menunjuk pada X yang sedang dimanipulasi sehingga orang akan mudah percaya tentang segala fiksi atau kebohongan. X itu menjadi pegangan dan penentu yang fiktif bagi kelompok-kelompok tertentu atas klaim atas kekuasaan dan pengaruh;
    2. Konsepsi hidup yang baik (conception of well-being), yaitu gambaran tertentu yang sengaja dibentuk atau dikonstruksikan dalam wacana yang menyangkut ancaman terhadap keadilan sosial bagi kelompok tertentu;“kejijikan” (disgust):
    3. Masyarakat itu seperti satu-kesatuan tubuh yang dapat diserang penyakit yang melukainya sehingga harus ada tindakan menghilangkannya. Namun, tindakan itu bukanlah yang harus dilakukan sesegara mungkin, bahkan tidak pernah dilaksanakan karena kejijikan itu harus disimpan, disembunyikan, dan ditakuti terus-menerus dengan selubung sikap normal; dan
    4. Bentuk mekanisme produksi irasionalitas dimulai dari pernyataan orang-orang yang dianggap penting atau punya kedudukan bahwa mereka percaya, kemudian orang lain pun pantas bertindak demikian. Sebanding dengan konsep kantung algoritmis media sosial yang dikemukakan Merlyna yang telah ditinjau di bagian sebelumnya, keberadaan riam di sini menciptakan ilusi bagi orang-orang bahwa mereka memperoleh informasi baru.

[1] Rocky Marbun dan Armilius, Fallacy (Sesat Pikir) Argumentum Ad Verecundiam dalam Motivering Vonnis (Pertimbangan Hukum), Jurnal Hukum dan Peradilan, Vol. 1, No. 2, Juli 2018, hal. 343.

[2] Ibid.

[3] Edy Faishal Muttaqin, Argumentasi Hukum (Persepektif Ilmu Hukum dan Hukum Islam), Jurnal Madania, Vol. 2, No. 2, hal. 150.

[4] Ibid.

[5] Ibid.

[6] R.G. Soekadijo “Logika Dasar, Tradisional, Simbolik dan Induktif” dalam Edi Faishal Muttaqi, ibid, hal, 151

[7] Periksa Martha C. Nussbaum “The New Religius Intolerance, Overcoming the Politics of Fear in an Anxious Age” dalam Tanius Sebastian, Paradigma Jurnal Kajian Budaya, Vol. 9, No. 3, Bandung : Universitas Katolik Parahyangan, 2019, hal. 319.

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.