Pria Terduga Pencabul Anak di Aceh Terancam Penjara 200 Bulan: Hukum Khusus yang Berlaku di Aceh

Pria Terduga Pencabul Anak di Aceh

Mapolres Aceh Utara telah mengamankan seorang pria usia 23 tahun berinisial IS atas dugaan perbuatannya yang sudah menghamili seorang remaja putri di Kabupaten Aceh Utara. Pelaku diduga merudapaksa remaja putri berulang kali sampai remaja dibawah umur itu melahirkan seorang anak laki-laki pada 06 Januari 2024. Atas dugaan perbuatannya tersebut pelaku terancam hukuman penjara 200 bulan berdasarkan Pasal 50 juncto Pasal 47 Qanun (peraturan) Aceh Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Hukum Jinayat. Korban pun mendapatkan pendampingan dari Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Aceh Utara dan Pekerja Sosial Aceh Utara.[1]

Penggunaan hukum pidana lokal di Aceh memang sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat Indonesia. Sebagaimana kita ketahui, Provinsi Aceh mendapatkan otonomi khusus yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh. Kemudian Aceh memiliki Mahkamah Syar’iyah sebagai lembaga peradilan yang bebas dari pengaruh pihak manapun. Selain itu Aceh menerapkan Qanun (peraturan) Aceh sebagai pelaksanaan Undang-Undang di wilayah Aceh dalam penyelenggaraan otonomi khusus.[2]

 

Dasar Hukum Pidana di Aceh

Atas berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 di atas, pemerintah Provinsi Aceh kemudian juga menetapkan peraturan Qanun (peraturan) Aceh Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Pembentukan dan Susunan Perangkat Aceh. Dalam undang-undang tersebut dijelaskan bahwa pemerintah Aceh mempunyai fungsi dan tugas melaksanakan urusan pemerintahan dan kekhususan Aceh.

Adapun urusan kekhususan Aceh yang dimaksud terdiri atas:

  1. Menyelenggarakan pelayanan terhadap Lembaga Wali Nanggroe Aceh;
  2. Menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang kehidupan beragama dalam bentuk pelaksanaan syari’at Islam;
  3. Menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang pendidikan dayah;
  4. Menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang pelayanan pertanahan Aceh;
  5. Menyelenggarakan pelayanan terhadap Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh dalam bidang peran ulama dalam penetapan kebijakan Aceh;
  6. Menyelenggarakan pelayanan terhadap Majelis Adat Aceh dalam bidang kehidupan adat yang bersendikan syari’at Islam;
  7. Menyelenggarakan pelayanan Majelis Pendidikan Aceh bidang pendidikan yang berkualitas serta menambah materi muatan lokal sesuai dengan syari’at Islam;
  8. Menyelenggarakan pelayanan terhadap Baitul Mal Aceh dalam bidang pengelolaan zakat, harta wakaf, dan harta agama;
  9. Menyelenggarakan Badan Reintegrasi Aceh dalam bidang reintegrasi dan usaha penguatan perdamaian Aceh;
  10. Menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang ketentraman, ketertiban umum, dan perlindungan masyarakat serta penegakan syari’at Islam.[3]

Pasal 125 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Aceh menerapkan syari’at Islam yang didalamnya mencakup ibadah, ahwal al-syakhsiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), jinayah (hukum pidana), qadha’ (peradilan), tarbiyah (pendidikan), dakwah, syiar, dan pembelaan Islam.

Peraturan-peraturan pemerintah Aceh yang kemudian disebut dengan Qanun Aceh berlaku untuk setiap orang yang beragama Islam yang melakukan jarimah (tindak pelanggaran) di Aceh. “Orang” yang dimaksud dalam ketentuan tersebut adalah:

  1. setiap orang Islam yang melakukan jarimah (tindak pelanggaran) di Aceh bersama dengan orang Islam, mematuhi secara sukarela Hukum Jinayat;
  2. Orang bukan Islam yang melakukan perbuatan jarimah (tindak pelanggaran) di Aceh yang tidak diatur dalam KUHP atau ketentuan pidana diluar KUHP tetapi diatur dalam Qanun (peraturan) Aceh; dan
  3. Badan usaha yang menjalankan kegiatan usaha di Aceh.[4]

Qanun (peraturan) Aceh Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Hukum Jinayat (pidana)  (selanjutnya disebut Qanun Jinayat) kemudian menjelaskan terkait istilah-istilah hukum pidana, dimana jarimah (tindak pelanggaran) berarti perbuatan yang dilarang oleh syariat Islam yang dalam Qanun Jinayat (peraturan pidana) diancam dengan uqubat hudud (sanksi denda) dan/atau ta’zir (hukuman). Sedangkan ‘uqubat sendiri memiliki arti sebagai hukum yang dapat dijatuhkan oleh hakim terhadap pelaku jarimah (tindak pelanggaran).[5]

Pasal Tindak Pidana Pelecehan Seksual yang Diatur dalam Qanun Aceh

Berdasarkan berita yang beredar diatas, yang dilakukan oleh pelaku adalah tindak pidana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) juga diatur dalam Qanun (peraturan) Aceh.  Pasal 1 Qanun Jinayat (peraturan pidana) mengartikan pelecehan seksual sebagai perbuatan asusila atau perbuatan cabul yang sengaja dilakukan seseorang di depan umum atau terhadap orang lain sebagai korban baik laki-laki maupun perempuan tanpa kerelaan korban. Terkait pasal pidana perbuatan pelecehan seksual tercantum dalam Pasal 46 dan 47 Qanun Jinayat (peraturan pidana) yang berbunyi:

Pasal 46

“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan Jarimah pelecehan seksual, diancam dengan ‘Uqubat Ta’zir cambuk paling banyak 45 (empat puluh lima) kali atau denda paling banyak 450 (empat ratus lima puluh) gram emas murni atau penjara paling lama 45 (empat puluh lima) bulan”

Pasal 47

“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan Jarimah pelecehan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 terhadap anak, diancam dengan ‘uqubat ta’zir cambuk paling banyak 90 (sembilan puluh) kali atau denda paling banyak 900 (sembilan ratus) gram emas murni atau penjara paling lama 90 (sembilan puluh) bulan.”

Sedangkan pelaku dalam kasus di atas juga tergolong dalam kasus pemerkosaan kepada anak dibawah umur. Qanun Jinayat (peraturan pidana) mengartikan pemerkosaan sebagai hubungan seksual terhadap faraj atau dubur orang lain sebagai korban dengan zakar (alat kelamin) pelaku atau benda lainnya yang digunakan pelaku atau terhadap faraj atau zakar (alat kelamin) korban dengan mulur pelaku atau terhadap mulut korban dengan zakar (alat kelamin) pelaku, dengan kekerasan atau paksaan atau ancaman terhadap korban.[6]

Qanun Jinayat (peraturan pidana) mengatur ketentuan pidana pemerkosaan pada Pasal 49 yang kemudian diperinci pada Pasal 50 Qanun Jinayat (peraturan pidana) apabila dilakukan kepada anak dibawah umur. Pasal 50 Qanun Jinayat (peraturan pidana) berbunyi:

“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan jarimah pemerkosaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 terhadap anak diancam dengan ‘uqubat ta’zir cambuk paling sedikit 150 (seratus lima puluh) kali, paling banyak 200 (dua ratus) kali atau denda paling sedikit 1.500 (seribu lima ratus) gram emas murni, paling banyak 2.000 (dua ribu) gram emas murni atau penjara paling singkat 150 (seratus lima puluh) bulan, paling lama 200 (dua ratus) bulan.”

 

Berdasar uraian dan peraturan-peraturan di atas, maka pria terduga pencabul anak di Aceh dalam kasus di atas tidak lagi terkena hukum pidana yang berlaku umum di Indonesia yaitu KUHP dan/atau undang-undang lainnya, melainkan peraturan daerah yang telah ditetapkan dan berlaku di Provinsi Aceh. Hal tersebut sebagai akibat keistimewaan yang diberikan oleh negara kepada Aceh untuk menggunakan hukum Islam.

 

Penulis: Hasna M. Asshofri, S.H.

Editor: Robi Putri J., S.H., M.H., CTL., CLA., & Mirna R., S.H., M.H., CCD.

 

[1]https://aceh.tribunnews.com/2024/01/10/pria-beristri-di-aceh-utara-cabuli-gadis-belia-hingga-lahirkan-bayi-kini-terancam-bui-200-bulan

[2] Pasal 1 UU Nomor 18 Tahun 2001

[3] https://ppid.acehprov.go.id/news/page/tugas-fungsi-pemerintah-aceh

[4] Pasal 5 Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014

[5] Pasal 1 Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014

[6] Angka 30 Pasal 1 Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.