Permohonan Ex Parte Dalam Hukum Acara Perdata

Dalam perkara perdata dikenal istilah permohonan ex parte, artinya permohonan yang bersifat sepihak. Tidak ada orang lain atau pihak ketiga yang ditarik sebagai lawan, tetapi bersifat bebas murni dan mutlak satu pihak (ex parte). Permohonan ini dikenal juga dengan permohonan penetapan. Dilihat dari kedudukan hukumnya, sebelumnya permohonan ini diatur dalam Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (UU 14/1970) yang mengalami beberapa perubahan dan saat ini telah dicabut Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Ketentuan sebagaimana dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU 14 Tahun 1970, masih dianggap relevan dan merupakan penegasan tentang kewenangan badan peradilan di samping perkara gugatanjuga termasuk permohonan yang diajukan untuk meminta penetapan yang hanya melibatkan satu pihak saja.[1]
Mengacu pada yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 3139/K/Pdt/1984, dikatakan bahwa tugas pokok pengadilan adalah memeriksa dan memutus perkara yang bersifat sengketa. Selain itu pengadilan juga memeriksa voluntair jurisdiction, namun kewenangan itu terbatas pada hal-hal yang ditegaskan oleh peraturan perundang-undangan. Yurisdiksi penetapan pengadilan memang diperluas pada hal-hal yang ada urgensinya itupun dengan syarat jangan sampai memutus perkara voluntair yang mengandung sengketa. Penetapan pengadilan hanya dapat diterbitkan untuk hal-hal yang sangat bersifat limitatif dengan syarat ex-parte atau sepihak dalam keadaan sangat terbatas dan sangat eksepsional pada hal tertentu saja dan hanya boleh terhadap masalah yang disebut dan ditentukan oleh undang-undang yang menegaskan bahwa masalah yang bersangkutan dapat atau boleh diselesaikan secara voluntair dalam bentuk permohonan untuk mendapat penetapan.[2]
Ada beberapa dasar hukum yang menjadi landasan bagi para pemohon (perorangan atau badan hukum) dalam mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk dilahirkannya suatu penetapan pengadilan, antara lain sebagai berikut:
- Permohonan pembubaran Perseroan Terbatas berdasarkan Pasal 142 Ayat (1) Huruf c Undang-Undang Nomor 40 Tahuun 2007 Tentang Perseroan Terbatas (UUPT) yang menyatakan bahwa: (1) Pembubaran Perseroan terjadi: berdasarkan penetapan pengadilan;
- Permohonan penetapan eksekusi kepada Pengadilan Negeri atas putusan Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen berdasarkan Pasal 57 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yang berbunyi:
Putusan majelis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (3) dimintakan penetapan eksekusinya kepada Pengadilan Negeri di tempat konsumen yang dirugikan.
- Dan masih banyak lagi dasar hukum lainnya yang mengatur mengenai permohonan penetapan, yang termasuk akan tetapi tidak terbatas pada bidang hukum perusahaan, konsumen, merek, eksekusi putusan-putusan dalam permasalahan monopoli, perlindungan konsumen serta permohonan yayasan dan lain-lain.
Dalam permohonan penetapan, yang terlibat dalam permohonan hanya satu pihak. Pihak inilah yang disebut pemohon yang bersifat ex-parte, sedangkan yang hadir dan tampil dalam pemeriksaan persidangan hanyalah pemohon atau kuasanya. Dilihat dari sifatnya, permohonan ex parte hanya mendengar keterangan pemohon atau kuasanya sehubungan dengan permohonan, memeriksa bukti surat atau saksi yang diajukan oleh pemohon dan tidak ada tahap replik duplik dan kesimpulan sebagaimana layaknya tahap-tahap yang dilakukan dalam hukum acara perdata (perkara gugatan atau gugatan contentiosa).
Berdasar Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2018, apabila penetapan pengadilan tersebut memberikan kerugian bagi pihak tertentu meskipun pengadilan telah mengeluarkan dan mengesahkan permohonan penetapan yang diajukan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, maka Pemohon dapat menempuh upaya hukum yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan sebagai berikut:[3]
- Mengajukan perlawanan terhadap permohonan selama proses pemeriksaan berlangsung sebagaimana diatur dalam 195 Ayat (6) HIR yang berbunyi:
Perlawanan terhadap keputusan, juga dari orang lain yang menyatakan bahwa barang yang disita miliknya, dihadapkan serta diadili seperti segala perselisihan tentang upaya paksa yang diperintahkan oleh pengadilan negeri, yang dalam daerah hukumnya terjadi penjalanan keputusan itu.
Upaya perlawanan tersebut dapat dilakukan oleh pihak yang merasa dirugikan apabila mengetahui adanya permohonan penetapan pengadilan yang sedang berlangsung proses pemeriksaannya.
- Mengajukan gugatan perdata, apabila isi penetapan mengabulkan permohonan dan pihak yang merasa dirugikan baru mengetahui setelah pengadilan menjatuhkan penetapan tersebut, yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan perdata.
- Mengajukan kasasi teradap penetapan pengadilan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 43 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung sebagaimana terakhir diubah dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (UU MA beserta perubahannya) yang menyatakan bahwa:
Permohonan kasasi dapat diajukan hanya jika pemohon terhadap perkaranya telah menggunakan upaya hukum banding kecuali ditentukan lain oleh Undang-undang.
Berdasarkan penjelasan Pasal 43 Ayat (1) UU MA, bahwa karena penetapan yang dijatuhkan terhadap permohonan tidak dapat dibanding,[4] maka upaya hukum yang dapat ditempuh adalah kasasi berdasarkan Pasal 43 Ayat (1) UU MA.
Dengan demikian dalam hal ini permohonan ex parte dapat dikatakan sebagai permohonan yang bersifat sepihak. Artinya, Permasalahan yang dimohonkan kepada pengadilan negeri, pada prinsipnya tanpa sengketa dengan pihak lain. Selain itu, dapat dilakukan upaya hukum apabila penetapan atas permohonan tersebut memberikan kerugian bagi pihak tertentu.
Penulis: Rizky Pratama J., S.H.
Editor: R. Putri J., S.H., M.H., CTL., CLA., & Mirna R., S.H., M.H., CCD.
[1] N. Elmiyah & S. Sujadi,), Upaya-Upaya Hukum Terhadap Penetapan, Jurnal Hukum dan Pembangunan, 35(3), 2005, Juli-September, halaman 326- 350
[2] Ibid.
[3] Setiawan, Aneka Masalah Hukum dan Hukum Acara Perdata, Alumni, Bandung, 1992, halaman 399
[4] M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Cetakan Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, halaman 43
Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?
Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.
Kirim PertanyaanPraktik Jual Beli Rekening Sebagai Modus Tindak Pidana Pencucian...
Pemkot Jambi Laporkan Siswa Karena Pencemaran Nama Baik

hukum expert
Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.