Pembeli Beritikad Baik

Pengertian Itikad Baik dan Dasar Hukumnya

Dalam hukum perdata Indonesia, pembeli beritikad baik adalah pihak yang melakukan perbuatan hukum jual beli dengan niat jujur, tanpa maksud merugikan pihak lain, serta berdasarkan keyakinan yang wajar bahwa penjual berwenang untuk menjual objek tersebut. Pasal 1338 KUH Perdata menyatakan bahwa “Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Asas iktikad baik juga dapat diartikan bahwa masing-masing pihak dalam suatu perjanjian yang akan disepakati, mempunyai kewajiban untuk memberikan keterangan atau informasi selengkap-lengkapnya yang dapat mempengaruhi keputusan pihak lain dalam hal menyepakati atau tidak menyepakati perjanjian tersebut.[1]

Itikad baik memiliki 2 arti, secara objektif berarti perjanjian yang dibuat harus dilaksanakan dengan mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan. Diartikan secara subjektif, itikad baik berarti bagi para pihak dalam perjanjian terdapat suatu keharusan untuk tidak melakukan segala sesuatu yang tidak masuk akal, yaitu tidak bertentangan dengan norma kepatutan dan kesusilaan, sehingga dapat menimbulkan keadilan bagi kedua belah pihak dan tidak merugikan salah satu pihak.[2]

Selain KUH Perdata, dasar hukum pembeli beritikad baik juga ditemukan dalam berbagai peraturan Mahkamah Agung. Salah satu yang penting adalah Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2012 tentang Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan (selanjutnya disebut “SEMA 7/2012”), yang menegaskan bahwa perlindungan terhadap pembeli beritikad baik diberikan sepanjang pembeli tersebut memperoleh objek jual beli melalui mekanisme yang sah dan tanpa mengetahui adanya sengketa. Kemudian, Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016 (selanjutnya disebut “SEMA 4/2016”) mempertegas bahwa perlindungan hukum bagi pembeli beritikad baik hanya berlaku terhadap benda bergerak, sedangkan untuk benda tidak bergerak (seperti tanah), pembeli wajib melakukan pemeriksaan terhadap keabsahan hak atas tanah di Badan Pertanahan Nasional.

Dalam praktiknya, pembeli tanah yang tidak memeriksa keabsahan sertifikat tanah di Kantor Pertanahan tidak dapat dianggap sebagai pembeli beritikad baik. Hal tersebut menunjukkan bahwa perlindungan terhadap pembeli beritikad baik, tidak bersifat mutlak, melainkan bergantung pada objek dan tindakan hukum yang dilakukan. Tentunya kelemahan ini membuka ruang sengketa, karena pihak lain yang merasa memiliki hak atas tanah tersebut dapat mengajukan gugatan pembatalan sertifikat.[3]

 

Syarat Pembeli Beritikad Baik

Syarat pembeli beritikad baik yang perlu dilindungi berdasarkan Pasal 1338 Ayat (3) KUH Perdata, menurut Mahkamah Agung melalui SEMA 4/2016, mencakup terpenuhinya beberapa kriteria, yakni:[4]

  1. Melakukan jual beli atas objek tanah tersebut dengan tata cara/prosedur dan dokumen yang sah sebagaimana telah ditentukan perundang-undangan yaitu:
  • Pembelian tanah melalui pelelangan umum atau:
  • Pembelian tanah dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 atau;
  • Pembelian terhadap tanah milik adat / yang belum terdaftar yang dilaksanakan menurut ketentuan hukum adat yaitu dilakukan secara tunai dan terang (di hadapan / diketahui Kepala Desa/Lurah setempat) dan didahului dengan penelitian mengenai status tanah objek jual beli dan berdasarkan penelitian tersebut menunjukkan bahwa tanah objek jual beli adalah milik penjual;
  • Pembelian dilakukan dengan harga yang layak;
  1. Melakukan kehati-hatian dengan meneliti hal-hal berkaitan dengan objek tanah yang diperjanjikan antara lain:
  • Penjual adalah orang yang berhak/memiliki hak atas tanah yang menjadi objek jual beli, sesuai dengan bukti kepemilikannya, atau;
  • Tanah/objek yang diperjualbelikan tersebut tidak dalam status disita, atau;
  • Tanah objek yang diperjualbelikan tidak dalam status jaminan/hak tanggungan, atau;
  • Terhadap tanah yang bersertifikat, telah memperoleh keterangan dari BPN dan riwayat hubungan hukum antara tanah tersebut dengan pemegang sertifikat.

 

Akibat Hukum Jika Penjual yang Tidak Beritikad Baik

Penjual yang tidak memiliki itikad baik, misalnya dengan menjual objek yang bukan miliknya atau lalai memberikan keterangan yang benar mengenai status hukum benda, dapat dimintai pertanggungjawaban hukum. Perbuatan tersebut tergolong wanprestasi maupun perbuatan melawan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1243 dan Pasal 1365 KUH Perdata. Untuk mengetahui sejak kapan seseorang dalam keadaan wanprestasi, perlu diperhatikan apakah dalam perkataan itu ditentukan tenggang waktu pelaksanaan pemenuhan prestasi “tidak ditentukan”, perlu memperingatkan debitur atau seseorang tersebut supaya ia memenuhi prestasi.[5] Akibat hukumnya, penjual berkewajiban mengganti kerugian kepada pembeli dan/atau pihak ketiga yang dirugikan. Tindakan penjual yang tidak beritikad baik mencerminkan pelanggaran terhadap asas pacta sunt servanda dan asas kepercayaan yang menjadi dasar keberlakuan perjanjian dalam hukum perdata, sehingga perbuatan tersebut dapat berimplikasi pada pembatalan perjanjian maupun pengembalian keadaan seperti semula (restitutio in integrum).

Akibat hukum dari perbedaan itikad tersebut adalah adanya cerminan keseimbangan antara perlindungan terhadap pihak yang jujur dengan sanksi terhadap pihak yang bertindak lalai atau curang. Perlindungan terhadap pembeli beritikad baik merupakan wujud penerapan asas keadilan dan kepastian hukum yang mencegah agar pihak yang tidak bersalah menanggung akibat dari perbuatan melawan hukum pihak lain. Sebaliknya, penjual yang tidak beritikad baik akan kehilangan haknya atas hasil transaksi dan wajib menanggung akibat hukum berupa pengembalian objek jual beli, pembayaran ganti rugi, serta kemungkinan dikenakan sanksi perdata atau bahkan pidana apabila terbukti melakukan penipuan atau manipulasi hukum.

 

Penulis: Nabilah Hanifatuzzakiyah, S.H.

Editor: Robi Putri J., S.H., M.H., CTL., CLA.

 

 

  • Daftar Pustaka

Kristiane Paendong, & Herts Taunaumang. (2022). Kajian yuridis wanprestasi dalam perikatan dan perjanjian ditinjau dari hukum perdata. Lex Privatum, 10(3).

Lestari Wulandari, S. (2025). Perlindungan hukum terhadap pembeli beritikad baik dalam sengketa kepemilikan tanah. Inovasi: Jurnal Sosial Humaniora dan Pendidikan, 4(1).

Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2016 tentang pemberlakuan rumusan hasil rapat pleno kamar Mahkamah Agung tahun 2016.

Wijaya, I. G. K. W., & Dananjaya, N. S. (2018). Penerapan asas itikad baik dalam perjanjian jual beli online. Jurnal Kertha Semaya, 6(8).

[1] I Gede Krisna Wahyu Wijaya dan Nyoman Satyayudha Dananjaya, 2018, “Penerapan Asas Itikad Baik dalam Perjanjian Jual Beli Online. Jurnal Kertha Semaya, Vol. 6, No. 8, 2018, hlm. 8.

[2] Ibid

[3] Lestari Wulandari S, 2025, “Perlindungan Hukum Terhadap Pembeli Beritikad Baik dalam Sengketa Kepemilikan Tanah”, Inovasi: Jurnal Sosial Humaniora dan Pendidikan Vol. 4, No. 1, hlm. 279.

[4] Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2016 Tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2016

[5] Kristiane Paendong dan Herts Taunaumang, 2022, “Kajian Yuridis Wanprestasi Dalam Perikatan dan Perjanjian Ditinjau Dari Hukum Perdata”, Lex Privatum, Vol. 10, No. 3, hlm. 5.

 

Baca juga:

Pembeli Beritikad Baik

Pendaftaran Hak Atas Tanah Terhalang Karena Pihak Lain Juga Memiliki Letter C Asli

Perlindungan Hukum dan Tanggung Jawab Pemilik Terkait Penjualan Tanah yang Disewa

Penerapan Prinsip Ultra Petita Dalam Hukum Acara di Indonesia

Penggolongan Benda Dalam Buku 2 KUH Perdata dan Peralihan Kepemilikannya

Asas Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AUPB); Pengaturan dan 7 Macamnya

 

Tonton juga:

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.