Kompetensi Absolut

Kompetensi Absolut memiliki pengertian yang berbeda dengan Kompetensi Relatif Dalam Hukum Acara Perdata. Jika Kompetensi Relatif memiliki pengertian tentang kewenangan mengadili suatu perkara berdasarkan wilayah pengadilannya, pengertian Kompentensi Absolut adalah kewenangan mengadili sesuai dengan badan peradilannya.

 

Terdapat 4 (empat) badan peradilan di Indonesia, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, Peradilan Agama, dan Peradilan Militer. Keempat Badan Peradilan tersebut memiliki kewenangan memeriksa dan memutus perkara yang berbeda, namun tetap berada di bawah Mahkamah Agung.

 

Kekuasaan Peradilan Umum pada tingkat pertama dipegang oleh Pengadilan Negeri. Peradilan Umum sendiri diatur dalam Undang-undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum (UU Peradilan Umum). Badan Peradilan tersebut memiliki kewenangan memeriksa dan mengadili perkara dengan karakteristik yang lebih luas dari ketiga badan peradilan lainnya. Dalam peradilan umum juga terdapat beberapa kompetensi absolut, yaitu pidana, perdata, pidana khusus, dan perdata khusus. Peradilan khusus dalam Pengadilan Negeri dapat dibentuk berdasarkan Pasal 8 UU Peradilan Umum. Salah satu perkara pidana khusus adalah Tindak Pidana Korupsi yang diperiksa dan diadili oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, di samping itu juga ada Tindak Pidana Hak Asasi Manusia yang diperiksa dan diadili oleh Pengadilan HAM. Adapun untuk perdata khusus diantaranya adalah Pengadilan Niaga yang wewenangnya meliputi perkara Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dan Kepailitan, serta sengketa Hak Kekayaan Intelektual. Di samping itu, juga terdapat Pengadilan Hubungan Industrial yang memutus sengketa Hubungan Industrial/Ketenagakerjaan.

 

Peradilan Agama pada dasarnya juga memiliki karakteristik yang sama dengan sengketa yang diperiksa dan diadili secara perdata dalam Peradilan Umum. Namun demikian, kewenangan peradilan agama diberikan berdasarkan subyek yang berperkara dan jenis sengketanya. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (UU Peradilan Agama), yang dapat menjadi pihak dalam Peradilan Agama adalah orang yang beragama Islam. Adapun Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Pertama Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama (UU Peradilan Agama), yang dapat diperiksa dan diadili dalam Peradilan Agama adalah:

  1. perkawinan;
  2. waris;
  3. wasiat;
  4. hibah;
  5. wakaf;
  6. zakat;
  7. infaq;
  8. shadaqah; dan
  9. ekonomi syari’ah.

Oleh karena itu, selain perkara-perkara tersebut, atau perkara-perkara yang subyek hukum pihaknya tidak tunduk pada Hukum Islam, tidak dapat diperiksa atau diadili oleh Pengadilan Agama.

 

Sama dengan Peradilan Agama, Peradilan Militer juga memiliki kewenangan berdasarkan subyek hukum yang berperkara. Pihak yang perkaranya dapat diperiksa dan diadili oleh Peradilan Militer, adalah perkara yang pihaknya merupakan anggota militer Tentara Negara Indonesia. Pasal 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer (UU Peradilan Militer), mengatur bahwa yang diperiksa oleh Peradilan Militer bukan hanya terkait perkara pidana yang dilakukan oleh anggota TNI, melainkan juga dapat berupa perkara Tata Usaha Angkatan Bersengjata. Namun demikian, Pasal 2 UU Peradilan Militer mengecualikan perkara-perkara Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang dapat diperiksa dan diadili oleh Peradilan Militer, yaitu:

  1. Keputusan Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang merupakan perbuatan hukum perdata;
  2. Keputusan Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang digunakan dalam bidang operasi militer;
  3. Keputusan Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang digunakan di bidang keuangan dan perbendaharaan;
  4. Keputusan Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
  5. Keputusan Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana atau ketentuan peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana, hukum pidana militer, dan hukum disiplin prajurit;
  6. Keputusan Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang merupakan pengaturan yang bersifat umum;
  7. Keputusan Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang masih memerlukan persetujuan

Dengan demikian, meski subyeknya adalah anggota TNI, namun untuk perkara perdata masih masuk dalam kewenangan Peradilan Umum atau Peradilan Agama.

 

Berbeda halnya dengan Peradilan Tata Usaha Negara, yang mana diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang telah diubah oleh Undang-Undang 9 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 (UU PTUN), Peradilan Tata Usaha Negara memiliki kewenangan memeriksa dan mengadili suatu perkara berdasarkan obyek sengketanya, yaitu Keputusan Tata Usaha Negara/beschikking. Keputusan Tata Usaha Negera /beschikking memang telah diatur dalam UU PTUN, namun pengertian tentang Keputusan Tata Usaha Negara/beschikking itu sendiri juga telah sedikit diubah dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan (UU 30/2014) yang juga telah diubah dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja yang telah ditetapkan sebagai Undang-Undang oleh Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja sebagai Undang-Undang (UU Cipta Kerja) menjadi:

  1. penetapan tertulis yang juga mencakup tindakan faktual;
  2. Keputusan Badan dan/atau Pejabat Tata Usaha Negara di lingkungan eksekutif, legislatif, yudikatif, dan penyelenggara negara lainnya;
  3. berdasarkan ketentuan perundang-undangan dan AUPB;
  4. bersifat final dalam arti lebih luas;
  5. Keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum; dan/atau
  6. Keputusan yang berlaku bagi Warga Masyarakat.

Gugatan terhadap Keputusan Tata Usaha Negara/beschikking tersebut dapat diajukan berdasarkan alasan-alasan gugatan PTUN yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan.

 

Manakal dalam suatu perkara ternyata terdapat gugatan atau tuntutan yang salah kompetensinya, maka pihak Tergugat dapat mengajukan eksepsi. Oleh karena itu, Eksepsi Kompetensi Absolut merupakan eksepsi disamping Eksepsi Daluwarsa dan Prematur Dalam Hukum Acara Perdata Eksepsi Obscuur Libel, Kompe,tensi Relatif, dan error in persona, Eksepsi dapat diartikan sebagai suatu sanggahan atau bantahan dari pihak tergugat terhadap gugatan penggugat yang tidak langsung mengenai pokok perkara, yang berisi tuntutan batalnya gugatan.[1] Eksepsi diajukan bertujuan agar pengadilan mengakhiri untuk memeriksa materi pokok perkara gugatan.

 

Terbukti dan terkabulnya Eksepsi Kompetensi Absolut memang menjadikan putusan tersebut bersifat negatif. Putusan negatif tersebut memberikan resiko adanya gugatan dengan pihak dan pokok perkara yang sama. Oleh karena itu, jika ternyata suatu sengketa dinyatakan “tidak dapat diterima karena menyalahi kompetensi absolut, maka pihak penggugat dapat mengajukan gugatan/tuntutan dengan obyek yang sama, subyek yang sama, atau bahkan harga yang sama, tanpa perlu khawatir gugatan akan dinyatakan nebis in idem. Oleh karena itu, menjadi penting bagi Kompetensi Absolute tersebut

 

Penulis: Robi Putri J., S.H., M.H., CTL., CLA

[1] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, cet. I, Liberty, Yogyakarta, 2006, halaman 2.

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.