Perkara Infaq Dalam Kewenangan Pengadilan Agama

Infaq bersasal dari bahasa arab al-infaq yang berarti “berlalu/hilang/tidak ada lagi” atau dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai perbuatan pemberian (sumbangan) harta dan sebagainya untuk kebaikan. Pengertian infaq secara terminologi adalah segala perbuatan mengeluarkan sebagian dari harta atau pendapatan/penghasilan yang bertujuan untuk suatu kepentingan yang diperintahkan ajaran Islam. Hukum mengeluarkan infaq ada yang wajib dan ada pula yang sunnah. Infaq yang wajib untuk dikeluarkan diantaranya infaq atas diri sendiri, keluarga serta orang-orang yang nafkahnya menjadi tanggungan, zakat, kafarat, nadzar, dan lain lain. Sedangkan infaq yang sunnah termasuk infaq kepada fakir miskin sesama muslim, infaq bencana alam, infaq kemanusiaan, dan semua bentuk sedekah lainnya.[1]

Sedekah sendiri merupakan semua bentuk infaq dalam rangka mendekatkan diri pada Allah SWT,yang semata-mata mengharap pahala dari Allah SWT. Menurut terminologi, pengertian sedekah sama dengan pengertian infaq, mencakup juga hukum dan ketentuan-ketentuannya. Hanya saja, apabila infaq berkaitan dengan materi, sedangkan sedekah memiliki arti yang lebih luas dan mencakup hal yang bersifat non materiil.

Infaq dan sedekah tercantum dalam Pasal 1 angka 3 dan Pasal 1 angka 4 Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat (UU Pengelolaan Zakat) yakni :

Pasal  1 angka 3

“Infak adalah harta yang dikeluarkan oleh seseorang atau badan usaha di luar zakat untuk kemasalahatan umum

Pasal 1 angka 4

Sedekah adalah harta atau non harta yang dikeluarkan oleh seseorang atau badan usaha di luar zakat untuk kemaslahatan umum

Sedangkan untuk tercapainya perbuatan infaq agar dikatakan sah, maka harus memenuhi unsur-unsur diataranya penginfaq, orang yang diberi infaq, sesuatu yang diinfaqkan, dan tidak berhubungan dengan tempat milik penginfaq.[2]

Unsur pertama yaitu Penginfaq atau yang disebut orang yang berinfaq harus memenuhi syarat sebagai pemilik atas sesuatu yang hendak diinfaqkan. Selanjutnya penginfaq bukan orang yang dibatasi haknya akibat suatu alasan tertentu. Penginfaq merupakan orang yang dewasa serta cakap hukum. Penginfaq atas kehendak sendiri dan bukan merupakan paksaan, karena saat infaq terdapat akad yang mensyaratkan keridhaan dan keabsahannya.

Selanjutnya, orang yang menerima infaq harus memenuhi syarat berikut ini: dewasa dan cakap hukum, apabila penerima infaq ternyata masih kecil atau gila, maka infaq itu akan diambil alih oleh pengampu atau walinya. Adapun golongan yang berhak menerima infaq diantaraya:

  1. Fakir dan/atau miskin (orang yang tidak memilki/memiliki mata pencaharian, namun belum mencukupi kebutuhanya);
  2. Amil Infaq (orang yang bertugas mengelola Infaq);
  3. Hamba Sahaya (budak yang belum merdeka);
  4. gharim (orang yang mempunyai banyak hutang);
  5. muallaf (orang yang baru masuk Islam);
  6. Fi Sabilillah (Orang yang berjuang menegakkan agama Allah)
  7. Ibu Sabil (orang yang dalam perjalanan, dan bekalnya tidak cukup selama perjalanan)
  8. sahabat atau keluarga terdekat; dan
  9. untuk pembangunan kepentingan umum.

Sedangkan atas rukun sesuatu yang diinfaqkan harus merupakan harta yang bernilai, dapat dimiliki zatnya (sesuatu yang bisa dimiliki, diterima peredarannya, serta pemilikannya dapat berpindah tangan), dan tidak berhubungan dengan tempat milik pemberi infaq (atas barang yang diinfaqkan itu wajib dipisahkan dan diserahkan kepada penerima infaq sehingga bisa menjadi milik penerima infaq). Apabila unsur-unsur infaq tersebut tidak terpenuhi, maka harus dinyatakan batal demi hukum.

Pengelolaan bentuk sedekah seperti zakat, infaq, pembangunan tempat ibadah, pondok pesantren, dan lainnya memiliki potensi erat untuk memicu terjadinya konflik. Beberapa kemungkinan yang menyebabkan terjadinya konflik adalah : badan amil zakat, infaq/sedekah (BAZIR) yang diberi amanah oleh umat untuk menerima, mengelola dan menyalurkan benda-benda zakat, infaq/sedekah menyalahgunakannya untuk kepentingan pribadi dengan manipulasi, korupsi, dsb.

Perkara pidana yang timbul karena infaq menjadi kewenangan Pengadilan Negeri, sedangkan perkara perdatanya menjadi kewenangan Peradilan Agama (Peradilan Khusus). Hal itu tercantum dalam Pasal 49 Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama (UU Peradilan Agama) yang berbunyi :

Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: Perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syariah.

Kemudian penjelasan mengenai sengketa atas perkara perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, dan sedekah diatur dalam Pasal 50  UU Peradilan Agama yang berbunyi :

  1. “Dalam hal terjadi sengketa hak milik atau sengketa lain dalam perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49, khusus mengenai objek sengketa tersebut harus diputus terlebih dahulu oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum.
  2. Apabila terjadi sengketa hak milik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang subjek hukumnya antara orang-orang yang beragama Islam, objek sengketa tersebut diputus oleh pengadilan agama bersama-sama perkara sebagaimana dimaksu dalam Pasal 49.”

Oleh sebab itu, agar perbuatan infaq bisa dikatakan sah, maka harus memenuhi unsur-unsur tersebut di atas. Apabila unsur-unsur infaq tersebut tidak terpenuhi, maka harus dinyatakan batal demi hukum. Pengelolaan bentuk sedekah seperti zakat, infaq, pembangunan tempat ibadah, pondok pesantren, dan lainnya memiliki potensi erat untuk memicu terjadinya konflik yang disalahgunakan untuk kepentingan pribadi. Berdasarkan kemungkinan tersebut, atas sengketa yang terjadi akan menjadi kewenangan Peradilan Agama untuk menyelesaikan perkara. Hal itu tercantum dalam Pasal 49 Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama (UU Peradilan Agama).

 

[1] Az Zuhaili, Wahbah, Al Fiqhul Islami wa AdillatuhuJuz II, Dzarul Fikr: Damaskus, 1996, Hlm : 916.

[2] Abd Al-Rahman Al-Jazzairi, Al-Fiqh, ‘Ala al-Madzahib Al-‘Arba’ah, Bairut: Dar Al-Kutub Al-Kutub Ilmiyah), 2003, Hlm: 140.

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.