Tanggung Jawab Pengangkut Pengelola Pesawat Udara

Pemanfaatan angkutan udara di era globalisasi ini tidak lagi hanya sebagai sarana perhubungan antar pulau yang belum terjangkau oleh perhubungan darat dalam skala nasional, melainkan pula sebagai sarana perhubungan internasional, antara satu negara ke negara lainnya yang tidak mungkin ditempuh melalui jalur darat. Angkutan udara sebagai bentuk pengangkutan paling efisien dalam melakukan perjalanan internasional. Pemanfaatan angkutan udara di era globalisasi ini tidak lagi hanya sebagai sarana perhubungan antar pulau yang belum terjangkau oleh perhubungan darat dalam skala nasional, melainkan pula sebagai sarana perhubungan internasional, antara satu negara ke negara lainnya yang tidak mungkin ditempuh melalui jalur darat.[1]
Pengangkutan berasal dari kata dasar “angkut” yang berarti angkat dan bawa, muat dan bawa atau kirimkan. Mengangkut artinya mengangkat dan membawa, memuat dan membawa atau mengirimkan. Pengangkutan artinya pengangkatan dan pembawaan barang atau orang, pemuatan dan pengiriman barang atau orang, barang atau orang yang di angkut. Jadi dalam pengertian pengangkutan tersimpul suatu proses kegiatan dari satu tempat ke tempat lain.[2] Maka pengangkutan adalah proses kegiatan memuat barang atau penumpang ke dalam alat angkut, membawa barang atau penumpang dari tempat pemuatan ke tempat tujuan dan menurunkan barang atau penumpang dari alat pengangkutan ke tempat yang ditentukan.
Secara normatif, pengangkutan udara diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 2009 Tentang Penerbangan (UUP). Dalam Pasal 1 Angka 13 UUP menyebutkan bahwa:
Angkutan Udara adalah setiap kegiatan dengan menggunakan pesawat udara untuk mengangkut penumpang, kargo, dan/atau pos untuk satu perjalanan atau lebih dari satu bandar udara ke bandar udara yang lain atau beberapa bandar udara.
Dari definisi tersebut, dapat diketahui terdapat unsur pengangkut yakni Pesawat Udara yang mengangkut penumpang, kargo dan/atau pos untuk sekali perjalanan atau lebih dari satu. Mengenai pengangkut sendiri, didefinisikan dalam Pasal 1 Angka 20 UUP ialah Badan Usaha Angkutan Udara, pemegang izin kegiatan angkutan udara bukan niaga yang me1akukan kegiatan angkutan udara niaga berdasarkan ketentuan Undang-Undang tentang Penerbangan, dan/atau badan usaha selain Badan Usaha Angkutan Udara yang membuat kontrak perjanjian angkutan udara niaga.
Berkaitan dengan tanggung jawab pengangkut sendiri, diartikan dalam Pasal 1 Angka 22 UUP adalah kewajiban perusahaan angkutan udara untuk mengganti kerugian yang diderita oleh penumpang dan/atau pengirim barang serta pihak ketiga. Tanggung jawab pengangkut kemudian diatur lebih spesifik dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 Tentang Tanggung Jawab Pengangku Angkutan Udara (Permenhub 77/2011). Mengenai tanggung jawabnya diatur dalam Pasal 2 Permenhub 77/2011 yang berbunyi bahwa:
Pengangkut yang mengoperasikan pesawat udara wajib bertanggung jawab atas kerugian terhadap:
- penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap atau luka-luka;
- hilang atau rusaknya bagasi kabin;
- hilang, musnah, atau rusaknya bagasi tercatat
- hilang, musnah, atau rusaknya kargo;
- keterlambatan angkutan udara; dan
- kerugian yang diderita oleh pihak ketiga
Berdasarkan ketentuan Pasal 2 Permenhub 77/2011, tanggung jawab pengangkut tidak hanya berkaitan dengan keselamatan nyawa seseorang melainkan juga barang bawaan yang diangkut oleh si Pengangkut itu sendiri. Dalam UUP juga mengatur terkait dengan besaran nilai kerugian yang harus dibayarkan oleh Pengangkut apabila penumpang mengalami kerugian sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 2 Permenhub 77/2011 tersebut yang diatur dalam Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 7, Pasal 10, dan Pasal 14 Permenhub 77/2011. Mengenai besaran ganti kerugian tersebut perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
- Tingkat hidup yang layak rakyat Indonesia;
- Kelangsungan hidup Badan Usaha Angkutan Udara;
- Tingkat inflasi kumulatif;
- Pendapatan perkapita;
- Perkiraan usia harapan hidup; dan
- Perkembangan nilai mata uang.[3]
Permenhub 77/2011, mengatur spesifik batasan terhadap tanggung jawab pengangkut itu sendiri. Dalam Pasal 18 Permenhub 77/2011 yang berbunyi:
- Tanggung jawab pengangkut kepada penumpang dimulai sejak penumpang meninggalkan ruang tunggu bandar udara menuju pesawat udara sampai dengan penumpang memasuki terminal kedatangan di bandar udara tujuan.
- Tanggung jawab pengangkut terhadap bagasi tercatat dimulai sejak pengangkut menerima bagasi tercatat pada saat pelaporan (check-in) sampai dengan diterimanya bagasi tercatat oleh penumpang.
- Tanggung jawab pengangkut terhadap kargo dimulai sejak penglnm barang menerima salinan surat muatan udara dari pengangkut sampai dengan waktu yang ditetapkansebagai batas pengambilan sebagaimana tertera dalam surat muatan udara (ainvay bill).
Lebih lanjut, pengangkut tidak dapat dituntut tanggung jawab untuk membayar ganti rugi terhadap penumpang yang meninggal dunia pada saat meninggalkan ruang tunggu bandar udara menuju pesawat atau pada saat turun dari pesawat menuju kedatangan, terjadinya antrian pesawat udara lepas landas atau alokasi keberangkatan, dan meninggal dunia, cacat tetap, luka-luka serta kerugian harta benda sebagai akibat dari peristiwa pengoperasian pesawat udara, apabila pengangkut dapat membuktikan bahwa:
- kejadian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaian pengangkut atau orang-orang yang dipekerjakannya atau agen-agennya; atau
- kejadian tesebut semata-mata disebabkan oleh kesalahan atau kelalaian penumpang sendiri danj atau pihak ketiga.[4]
Tanggung jawab pengangkut tersebut juga diberlakukan terhadap pengangkut yang melakukan kegiatan angkutan udara niaga tidak berjadwal (charter) atau pihak-pihak lain sebagai pembuat kontrak pengangkutan (contracting carrier) sepanjang tidak diperjanjikan lain dan tidak bertentangan dengan peraturan ini. Berkaitan dengan pengawasan dilakukan oleh Direktur Jenderal yang melakukan evaluasi setiap 2 (dua) tahun terhadap pelaksanaan tanggung jawab pengangkut angkutan udara sebagaiman dimaksud dalam Pasal 25 Permenhub 77/2011.
Mengenai tanggung jawab pengangkut, merujuk pendapat Abdulkadir Muhammad, dalam proses penyelenggara pengangkutan udara bahwa ada dua kemungkinan berakhirnya pengangkutan udara, yakni Pertama, dalam hal tidak terjadi peristiwa yang menimbulkan kerugian, pengangkutan berakhir setelah penumpang turun. Kedua, dalam hal terjadi peristiwa yang menimbulkan kerugian, pengangkutan berakhir setelah pemberesan selesai dilakukan. Pemberesan ini mungkin dilakukan oleh antar pihak yang ada dalam kegiatan pengangkutan udara saja, mungkin juga oleh pengadilan.[5]
Dengan demikian, dalam pengangkutan udara pengangkut udara bertanggung jawab terhadap penumpang yang hak-haknya dilanggar dan menimbulkan kerugian, seperti yang diamanatkan dalam UUP maupun yang diatur dalam Permenhub 77/2011. Dengan adanya Permenhub 77/2011 menunjukkan bahwa tanggung jawab terhadap pengangkutan udara dibentuk secara maksimal guna saling melindungi antara pengangkut dan penumpang.
[1] H.K Martono, Hukum Penerbangan Berdasarkan UU RI No. 1 Tahun 2009, Mandar Maju, Bandung, 2009, hlm. 15.
[2] Abdulkadir Muhammad, Hukum Pengangkutan Darat, Laut, dan Udara, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991, hlm. 19.
[3] Pasal 15 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 Tentang Tanggung Jawab Pengangku Angkutan Udara
[4] Pasal 19 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 Tentang Tanggung Jawab Pengangku Angkutan Udara
[5] Abdulkadir Muhammad, Op.Cit.
Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?
Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.
Kirim PertanyaanMemperingati Hari Kemerdekaan, Ratusan Napi Mendapat Remisi
Konstruksi Hukum Penghalusan (Rechtsverfijning)

hukum expert
Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.