Sertipikat Elektronik Untuk Hak Atas Tanah

Ketentuan Sertipikat Elektronik
Perkembangan zaman membuat perlu adanya perkembangan dan penyesuaian dalam segala aspek. Penyesuaian tersebut tidak terkecuali dengan pelayanan publik dan penyimpanan data, salah satunya dalam bidang agraria.
Pengaturan tentang sertipikat elektronik terdapat dalam Bab VII Bagian Kesatu Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 Tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah (selanjutnya disebut “PP 18/2021”). Pasal 84 PP 18/2021 menyatakan:
“(1) Penyelenggaraan dan pelaksanaan Pendaftaran Tanah dapat dilakukan secara elektronik.
(2) Hasil Penyelenggaraan dan pelaksanaan Pendaftaran Tanah secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa data, informasi elektronik, dan/atau dokumen elektronik.
(3) Data dan informasi elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.
(4) Data dan informasi elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimaan dimaksud pada ayat (3) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku.
(5) Penerapan Pendaftaran Tanah elektronik dilaksanakan secara bertahap dengan mempertimbangkan kesiapan sistem elektronik yang dibangun oleh Kementerian.”
PP 18/2021 sendiri merupakan perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah (selanjutnya disebut PP 24/1997), sekaligus merupakan peraturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok Pokok Agraria (selanjutnya disebut “UU 5/1960”). Apabila sebelumnya pendaftaran tanah dilakukan secara manual, PP 18/2021 memberikan peluang pendaftaran tanah dilakukan secara elektronik dan menghasilkan dokumen elektronik pula.
Sertipikat Elektronik Sebagai Dokumen Elektronik
Dokumen Elektronik diatur dalam Pasal 1 butir 4 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (selanjutnya disebut “UU ITE”), yang menyatakan:
“Dokumen Elektronik adalah setiap informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yagn dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.”
Mencermati Pasal 84 ayat (3) PP 18/2021 di atas, maka jelas bahwasanya hasil pendataan pendaftaran hak atas tanah, yaitu sertipikat elektronik dapat disebut sebagai dokumen elektronik. Sebagai bukti yang sah, maka dokumen tersebut dapat digunakan sebagai bukti pula di muka pengadilan, dan harus diakui.
Pada umumnya, dokumen elektronik sekarang akan memuat tanda tangan elektronik. Salah satu bentuk tanda tangan elektronik tersebut berupa barcode. Barcode nantinya dapat di-scan dengan alat yang memadai dan akan ditautkan kepada web yang memuat data tersebut, sehingga dapat dilihat isi maupun keaslian dokumen dimaksud.
Perubahan Sertipikat Konvensional Ke Sertipikat Elektronik
Menjadi pertanyaan, apakah sertipikat konvensional yang telah dimiliki dan dipegang oleh masyarakat umum saat ini harus diubah kepada sertipikat elektronik. Maka jawabannya adalah tidak. Perubahan hanya dilakukan manakala akan terjadi transaksi terhadap sertipikat tersebut seperti pembebanan hak tanggungan, jual beli, dan transaksi-transaksi atau peralihan lainnya.
Permasalahan yang sering dibicarakan dan dikhawatirkan akan muncul di kemuadian hari adalah apakah tidak menutup kemungkinan pendaftaran elektronik tersebut dapat membuat adanya penyalahgunaan dari pihak tertentu. Hal tersebut memang menjadi salah satu potensi kekurangan yang harus diantisipasi oleh pemerintah. Namun dibalik itu semua, pendaftaran dan penerbitan sertipikat elektronik juga diharapkan dapat mengurangi permasalahan-permasalahan klasik seperti sertipikat ganda yang sampai saat ini masih merong-rong hukum pertanahan di Indonesia yang berakibat memberikan ketidakpastian hukum.
Penulis: Robi Putri J., S.H., M.H., CTL., CLA.
Baca juga:
Kesalahan Dalam Penerbitan Sertifikat Hak Atas Tanah
Sertifikat Tanah Bisa Palsu? Berikut 9 Alasan Dapat Ajukan Pembatalan
Sertifikat Hak Atas Tanah Tidak Dikembalikan Meski Hutang Sudah Lunas, dan 9 Tata Cara Roya
Pendaftaran Petok D Menjadi Sertifikat Hak Atas Tanah yang Memasukkan Tanah Petok D Pihak Lain
Tantangan Hukum dalam Kasus Sertifikat Tanah dan Transaksi Palsu: Pandangan Mendalam terhadap Hukum Pertanahan di Indonesia
Tonton juga:
Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?
Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.
Kirim PertanyaanSensor Film di Indonesia dan ketentuannya
Perbedaan De Facto dan De Jure, Ada 3

hukum expert
Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.