Putusan Pengadilan; Syarat-Syarat Serta 3 Sebab Batalnya Putusan

Putusan Pengadilan
Dalam suatu negara hukum, lembaga yudisial atau lembaga peradilan merupakan suatu hal yang sangat penting untuk penegakan hukum. Sebagai penegak hukum, peradilan harus memeriksa dan memutus suatu perkara dan menjadi pilar utama dalam mencapai tujuan hukum itu sendiri.
Pemeriksaan di dalam pengadilan dengan dalil-dalil dan bukti-bukti yang diajukan para pihak menjadi hal yang penting bagi hakim untuk menentukan suatu putusan. Setelah proses pemeriksaan tersebut selesai, hakim wajib untuk membuat putusan. Bagi beberapa perkara yang diperiksa dan diputus oleh Majelis Hakim, maka diwajibkan bagi Majelis Hakim tersebut untuk melakukan musyawarah yang bersifat rahasia guna mengambil putusan, sebagaimana diatur dalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman (selanjutnya disebut “UU 48/2009”).
Pengertian putusan secara hukum dapat dilihat pada Pasal 1 butir 11 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut sebagai “KUHAP”) yang menyatakan:
“Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.”
Putusan yang diberikan oleh hakim pada dasarnya adalah suatu penyelesaian hukum atas permasalahan-permasalahan hukum yang ada, baik secara pidana maupun perdata. Tentunya banyak harapan agar putusan dimaksud dapat memberikan keadilan, kepastian dan kemanfaatan.
Banyak asas yang harus diterapkan oleh hakim untuk menjamin tercapainya tujuan-tujuan hukum tersebut di dalam putusan yang dibuat oleh hakim. Di samping asas-asas tersebut, terdapat beberapa ketentuan yang mengatur hal-hal yang harus diperhatikan oleh hakim dalam memeriksa dan memutus suatu perkara, diantaranya adalah syarat-syarat putusan itu sendiri.
Syarat-Syarat Putusan Pengadilan
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, pada dasarnya dalam pemeriksaan perkara hakim atau majelis hakim harus mematuhi asas-asas dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selanjutnya, dalam memberikan putusan atas suatu perkara pun, terdapat hal-hal yang harus ditaati dan dijalankan oleh hakim atau majelis hakim, diantaranya adalah syarat-syarat putusan itu sendiri.
Beberapa syarat putusan pengadilan dapat dilihat dalam beberapa ketentuan. Pasal-pasal yang mengatur syarat-syarat putusan tersebut diantaranya adalah:
1. Pasal 13 ayat (2) UU 48/2009
“Putusan Pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum”
2. Pasal 14 ayat (1) UU 48/2009
“Putusan diambil berdasarkan sidang permusyawaratan hakim yang bersifat rahasia”
3. Pasal 50 UU 48/2009
“(1) Putusan Pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.
(2) Tiap putusan pengadilan harus ditandatangani oleh ketua serta hakim yang memutus dan panitera yang ikut serta bersidang.”
4. Bagi putusan pidana, Pasal 197 ayat (1) KUHAP telah mengatur syarat-syarat yang harus dimuat dalam putusan dimaksud yaitu:
“ a. Kepala putusan yang dituliskan berbunyi: “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”;
b.Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa;
c. Dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan;
d. Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa;
e. Tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan;
f. Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa;
g. Hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali perkara diperiksa oleh hakim Tunggal;
h. Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan;
i. Ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti;
j. Keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan dimana letaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat otentik dianggap palsu;
k. Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan;
l. Hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutus dan nama panitera”
5. Dalam perkara Tata Usaha Negara, diatur tentang hal-hal yang harus dimuat dalam putusan sebagaimana Pasal 109 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara (selanjutnya disebut “UU PTUN”) yang menyatakan sebagai berikut:
“a. Kepala putusan yang berbunyi: “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”
b. nama, jabatan, kewarganegaraan, tempat kediaman, atau tempat kedudukan para pihak yang bersengketa;
c. ringkasan gugatan dan jawaban tergugat yang jelas;
d. pertimbangan dan penilaian setiap bukti yang diajukan dan hal yang terjadi dalam persidangan selama sengketa itu diperiksa;
e. alasan hukum yang menjadi dasar putusan;
f. amar putusan tentang sengketa dan biaya perkara;
g. hari, tanggal putusan, nama Hakim yang memutus, nama Panitera, serta keterangan tentang hadir atau tidak hadirnya para pihak”
6. Berbeda dengan putusan peradilan lainnya, putusan dalam peradilan agama mengharuskan adanya awalan kalimat “BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM” yang diikuti dengan “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”, sebagaimana diatur dalam Pasal 57 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
Berdasarkan uraian di atas, syarat-syarat umum tertuang dalam UU 48/2009, sedangkan syarat-syarat masing-masing peradilan berbeda satu dengan lainnya.
Akibat Tidak Dipenuhinya Syarat-Syarat Putusan Pengadilan
Atas semua syarat-syarat tersebut, tidak semua syarat mengakibatkan batalnya putusan apabila tidak dipenuhi. Adapun syarat-syarat yang jika tidak dipenuhi akan membuat batalnya putusan adalah syarat-syarat berikut:
- Syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (2) UU 48/2009 yang mengharuskan putusan dibaca di persidangan yang terbuka untuk umum, dimana Pasal 13 ayat (3) UU 48/2009 mengancam jika tidak dibacakan di sidang yang terbuka untuk umum, maka putusan tersebut batal demi hukum;
- Syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 197 ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, h, I, j, k, l KUHAP, dimana Pasal 197 ayat (2) KUHAP mengancam tidak terpenuhinya syarat tersebut akan membuat putusan batal demi hukum;
- Syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 109 ayat (1) UU PTUN, dimana Pasal 109 ayat (2) UU PTUN mengancam tidak terpenuhinya syarat tersebut akan membuat batalnya putusan.
Meski ketentuan-ketentuan tersebut menyebutkan bahwa tidak terpenuhinya syarat putusan membuat putusan batal demi hukum, namun batalnya putusan tersebut tidak serta merta berlaku. Hal tersebut dikarenakan harus ada putusan pengadilan yang lebih tinggi yang menyatakan atau menetapkan batalnya putusan tersebut, yang oleh karena itu terdapat lembaga upaya hukum biasa berupa banding dan kasasi, serta upaya hukum luar biasa berupa peninjuana kembali.
Pasal 30 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung mengatur hak Mahkamah Agung untuk memutus di tingkat kasasi sebagai berikut:
“Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi membatalkan putusan atau penetapan pengadilan-pengadilan dari semua lingkungan peradilan karena:
- tidak berwenang atau melampaui batas wewenang;
- salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku;
- lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan”
Oleh karena itu, putusan pengadilan harus memenuhi seluruh syarat putusan pengadilan sebagaimana dimaksud di atas. Manakala terdapat syarat yang tidak terpenuhi, maka dapat diajukan upaya hukum terhadap putusan pengadilan dimaksud, dengan alasan bahwa putusan pengadilan tersebut telah lalai dalam memenuhi syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan.
Penulis: Robi Putri J., S.H., M.H., CTL., CLA.
Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?
Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.
Kirim PertanyaanPersekusi Sebagai Tindak Pidana Dalam KUHP 2023
Kantor Artis Baim Wong Ambruk, Pengaturan Tentang Keamanan Konstruksi...

hukum expert
Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.