Putusan Bebas Kepada Ronald Tannur: Alasan Penghapus Pidana dan Upaya Hukum Jaksa Penuntut Umum
Kronologi Kasus
Tindak Pidana pembunuhan terhadap Dini Sera Afrianti (29) yang diduga dilakukan oleh Gregorius Ronald Tannur (32) selaku kekasih dari korban akhirnya telah mencapai putusan. Namun sayangnya, putusan tersebut menimbulkan kegemparan karena Majelis Hakim Pengadilan Negeri Surabaya memberikan putusan bebas kepada Ronald Tannur.
Pada surat dakwaan yang disusun oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) diuraikan bahwa pada Selasa, 3 Oktober 2023 pasangan tersebut pergi ke Blackhole KTV untuk karaoke dan pada saat itu keduanya minum-minuman beralkohol jenis Tequilla Jose yang menyebabkan keduanya mabuk. Setelah selesai karaoke keduanya turun melalui lift, tetapi dalam lift sempat terjadi pertengkaran atau cekcok antara keduanya. Pertengkaran disertai dengan kekerasan fisik antara Gregorius Ronald Tannur dan Dini Sera Afrianti, di mana Ronald Tannur menampar korban dan memukul dengan botol Tequilla. Penganiayaan berlanjut di basement dan bahkan Dini sempat dilindas dengan mobil. Sempat diberikan pertolongan oleh Ronald Tannur, namun Korban akhirnya meninggal dunia pada tanggal 4 Oktober 2024. Atas perbuatan tersebut, JPU mendakwa dengan dakwaan kombinasi yaitu pertama Pasal 338 KUHP atau kedua Pasal 351 ayat (3) KUHP atau ketiga Pasal 359 KUHP dan Pasal 351 ayat (1) KUHP.[1]
Dakwaan JPU disertai dengan bukti berupa visum et repertum yang menunjukkan memar pada tubuh korban dan bukti CCTV yang menunjukkan antara terdakwa dan korban terjadi pertengkaran. Namun, pada Rabu, 24 Juli 2024 dalam amar putusan yang dibacakan majelis hakim dengan ketua Erintuah Damanik menjatuhkan putusan bebas atau vonis bebas terhadap terdakwa. Pertimbangan hakim menjatuhkan putusan bebas terhadap terdakwa salah satunya dikarenakan korban meninggal akibat pengaruh minuman alkohol, tidak terbukti secara sah dan meyakinkan terdakwa melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan oleh JPU dan karena terdakwa memberikan pertolongan kepada korban.[2]
Pertanggungjawaban Pidana
Pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban orang terhadap tindak pidana yang dilakukannya. KUHP mengatur 3 (tiga) syarat pertanggungjawaban pidana yaitu sebagai berikut:[3]
- Kemampuan bertanggungjawab pelaku;
- Perbuatan melawan hukum yang berkaitan dengan kondisi psikologis pelaku dengan tindak pidana yaitu dolus (sengaja) dan culpa (kelalaian);
- Tidak terdapat alasan yang dapat menghapuskan pertanggungjawaban pidana.
Adapun yang dimaksud alasan yang dapat menghapus pertanggungjawaban pidana atau alasan penghapus pidana merupakan alasan-alasan yang menyebabkan seseorang tidak dapat dipidana. Berdasarkan kategorinya alasan penghapus pidana terdiri atas alasan pembenar dan alasan pemaaf. Menurut doktrin hukum pidana, alasan pembenar dapat dipahami sebagai alasan yang menghapus sifat melawan hukum suatu perbuatan. Sementara alasan pemaaf merupakan alasan yang meniadakan unsur kesalahan dalam diri pelaku.
Lebih lanjut, alasan pembenar dalam KUHP diatur dalam beberapa Pasal yaitu:[4]
- Daya Paksa (Pasal 48 KUHP);
- Pembelaan Terpaksa (Pasal 49 ayat (1) KUHP);
- Sebab menjalankan perintah undang-undang (Pasal 50 KUHP); dan
- Sebab menjalankan perintah jabatan yang sah (Pasal 51 ayat (1) KUHP.
Sementara itu, alasan pemaaf dalam KUHP terdapat dalam beberapa Pasal yaitu:[5]
- Ketidakmampuan bertanggungjawab (Pasal 44 KUHP);
- Daya Paksa (Pasal 48 KUHP);
- Pembelaan terpaksa yang melampaui batas (Pasal 49 ayat (2) KUHP); dan
- Menjalankan perintah jabatan tanpa wewenang (Pasal 51 ayat (2) KUHP).
Berdasarkan ketentuan pertanggungjawaban pidana yang diatur dalam KUHP, atas tindakan yang dilakukan oleh Gregorius Ronald Tannur yang memberikan pertolongan kepada korban tidak dapat dijadikan dasar alasan penghapus pidana. KUHP sendiri telah menentukan secara jelas dan rigid alasan penghapus pidana berupa alasan pembenar dan pemaaf. Sedangkan memberikan pertolongan kepada korban tidak termasuk dari salah satu alasan penghapus pidana. Sebab hukum pidana berupaya mencari kebenaran materiil yaitu kebenaran sebenarnya, justru berdasarkan pertimbangan majelis hakim tindakan pemberian pertolongan lebih mengarah kepada alasan yang meringankan pidana. Di mana terdakwa berupaya menghilangkan atau mengurangi tingkat keseriusan dari tindak pidana.
Syarat Terdakwa Dapat Dibebaskan
Majelis Hakim menjatuhkan putusan bebas kepada terdakwa, Gregorius Ronald Tannur. Putusan bebas diartikan sebagai putusan pengadilan yang membebaskan terdakwa dari dakwaan atau tuntutan (vrij spraak), karena menurut pendapat pengadilan terdakwa tidak terbukti dengan sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya. Merujuk pada buku, “Pembahasan dan Penerapan KUHAP”, M. Yahya Harahap merumuskan faktor-faktor yang menjadi dasar pertimbangan putusan bebas yaitu:
- Tidak memenuhi asas pembuktian menurut undang-undang secara negatif. Artinya pembuktian di persidangan tidak cukup membuktikan kesalahan terdakwa;
- Tidak memenuhi asas batas minimum pembuktian. Bertitik tolak dari kedua asas dalam Pasal 183 KUHAP dihubungkan dengan Pasal 192 ayat (1) KUHAP, bahwa putusan bebas pada umumnya didasarkan pada penilaian dan pendapat hakim yaitu:
- Kesalahan yang didakwakan tidak terbukti membuktikan kesalahan terdakwa secara sah dan meyakinkan;
- Pembuktian tidak memenuhi ketentuan batas minimum pembuktian dan bertentangan dengan Pasal 185 ayat (2) bahwa seorang saksi bukan saksi (unus testis nullus testis); dan
- Meskipun pembuktian secara formil dinilai cukup terbukti, tetapi lumpuh jika tidak didukung oleh keyakinan hakim.[6]
Berdasarkan hal tersebut keyakinan hakim menjadi faktor penting untuk memutus suatu perkara. Adapun yang dimaksud keyakinan hakim adalah suatu istilah yang digunakan untuk menggambarkan proses penilaian dan penentuan fakta oleh hakim dalam perkara pidana. Keyakinan dipengaruhi oleh berbagai sumber seperti alat-alat bukti yang ditentukan dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP atau bukti-bukti lain yang relevan dan sah. Dalam kaitannya dengan kasus pembunuhan Dini, Majelis Hakim menjatuhkan putusan bebas terhadap terdakwa yang dalam amar putusan dikarenakan tidak terdapat bukti yang secara sah dan meyakinkan membuktikan terdakwa melakukan pembunuhan dan penganiayaan atas korban. Selain itu, tidak terdapat saksi yang dapat memperkuat atau melihat kematian korban akibat pembunuhan dan penganiayaan. Hakim juga menilai kematian korban disebabkan oleh pengaruh minuman alkohol yang diminum. Meskipun, JPU dalam persidangan telah menyertakan bukti visum et repertum dan bukti CCTV. Namun, karena tidak didukung oleh keyakinan hakim pembuktian tersebut lumpuh.
Upaya Hukum Oleh JPU Terhadap Putusan Bebas Kepada Ronald Tannur
Secara hukum, Pasal 244 KUHAP pada awalnya melarang JPU mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung terhadap putusan bebas sebagaimana berbunyi, “Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas”. Namun, berdasarkan Putusan MK Nomor 114/PUU-X/2012 ketentuan frasa “kecuali terhadap putusan bebas” sebagaimana tercantum dalam Pasal 244 KUHAP adalah bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945. Sehingga konsekuensi yuridisnya, Putusan MK memberikan kesempatan bagi JPU untuk melakukan upaya hukum kasasi terhadap putusan bebas.
Dasar hukum yang memberikan kewenangan MA atas pengajuan kasasi diatur dalam Pasal 244 KUHAP sebagaimana tersebut di atas. Selanjutnya sebagaimana yang diatur dalam Pasal 253 ayat (1) KUHAP yang menyatakan bahwa, “Pemeriksaan dalam tingkat kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung atas permintaan para pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 244 dan Pasal 248 KUHAP guna menentukan:
- apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya;
- apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang; dan
- apakah benar pengadilan telah melampaui batas wewenangnya”.
Pengaturan lebih lanjut mengenai kewenangan kasasi oleh MA diatur pada Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang mahkamah Agung (UU MA), yang secara esensi memberikan kewenangan kepada MA untuk memeriksa dan memutus permohonan kasasi atas putusan-putusan peradilan di bawahnya terkait ada atau tidaknya kesalahan dalam penerapan hukum. Selanjutnya dalam perubahan pertama UU MA melalui Undang-Undang No. 5 Tahun 2004, pada Pasal 30 ayat (1) UU MA disebutkan bahwa, “Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi membatalkan putusan atau penetapan pengadilan-pengadilan dari semua lingkungan peradilan karena:
- Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang;
- Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku; dan
- Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan.“
Selain itu kewenangan MA atas kasasi diatur juga dalam Pasal 20 ayat (2) huruf a Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman) yang menyatakan, “Mahkamah Agung berwenang: a. mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung, kecuali undang-undang menentukan lain.” Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut JPU dapat mengajukan kasasi atas putusan bebas kepada Ronald Tannur Pengadilan Negeri Surabaya dan MA memiliki kewenangan untuk memeriksa serta memutus kasasi yang diajukan oleh JPU.
Penulis: Erlangga Nopriansyah
Editor: Robi Putri J., S.H., M.H., CTL., CLA., & Mirna R., S.H., M.H., CCD.
Daftar Referensi
Buku
M.Yahya Harahap. (2003). Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Jakarta: Sinar Grafika.
Schaffmeister D, Keijzer N, PH E. Sutorius. (2007). Hukum Pidana. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Jurnal
Abi, Marselinus, Setiawan, Puguh Aji Hari, dan Rae, Nyoman Tio. (2024). Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan Berencana Atas Perintah Atasan Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Di Indonesia. Selisik, Vol. 10, No. 1: 102-122.
Makanoneng, Doddy. (2016). Cacat Kejiwaan sebagai Alasan Penghapus Pidana. Lex Crimen, Vol. V, No. 4: 131-137.
Peraturan Perundang-Undangan dan Putusan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Putusan MK Nomor 114/PUU-X/2012
Undang-Undang Mahkamah Agung
Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman
[1] https://sipp.pn-surabayakota.go.id/index.php/detil_perkara
[2] https://www.youtube.com/watch?v=M-emwPcxO1g
[3] Marselinus Abi, Puguh Aji Hari Setiawan, dan Nyoman Tio Rae. (2024). Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan Berencana Atas Perintah Atasan Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Di Indonesia. Selisik, Vol. 10, No. 1, hlm. 105.
[4] Schaffmeister D, Keijzer N, PH E. Sutorius. (2007). Hukum Pidana. Bandung: Citra Aditya Bakti. Hlm 139-140.
[5] Doddy Makanoneng. (2016). Cacat Kejiwaan sebagai Alasan Penghapus Pidana. Lex Crimen, Vol. V, No. 4, hlm. 132-133.
[6] M.Yahya Harahap. (2003). Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Jakarta: Sinar Grafika. hlm. 348.
Baca juga:
Putusan Pidana Kontroversial, 3 Putusan yang Pertimbangannya Buat Heboh
Kasus Anak Anggota DPR Aniaya Pacar Hingga Tewas, Analasis Hukumnya
Hak Rakyat untuk Memperoleh Pekerjaan
Tonton juga:
Putusan Bebas Kepada Ronald Tannur| Putusan Bebas Kepada Ronald Tannur| Putusan Bebas Kepada Ronald Tannur| Putusan Bebas Kepada Ronald Tannur| Putusan Bebas Kepada Ronald Tannur| Putusan Bebas Kepada Ronald Tannur| Putusan Bebas Kepada Ronald Tannur| Putusan Bebas Kepada Ronald Tannur| Putusan Bebas Kepada Ronald Tannur| Putusan Bebas Kepada Ronald Tannur| Putusan Bebas Kepada Ronald Tannur| Putusan Bebas Kepada Ronald Tannur| Putusan Bebas Kepada Ronald Tannur| Putusan Bebas Kepada Ronald Tannur| Putusan Bebas Kepada Ronald Tannur| Putusan Bebas Kepada Ronald Tannur| Putusan Bebas Kepada Ronald Tannur| Putusan Bebas Kepada Ronald Tannur| Putusan Bebas Kepada Ronald Tannur|
Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?
Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.
Kirim PertanyaanBarang Bukti dan Alat Bukti Dalam Perkara Pidana
Influencer Mempromosikan Judol? Bisa Dijerat 3 Pasal Ini!
hukum expert
Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.