Praperadilan

Praperadilan adalah suatu tindakan atau usaha yang diberikan oleh lembaga Pengadilan Negeri guna melakukan atau memeriksa juga memutus mengenai keabsahan penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, penghentian penuntutan dan memutus permintaan ganti kerugian serta rehabilitasi yang perkara pidananya tidak dapat dilanjutkan ke muka sidang di pengadilan negeri yang diminta oleh tersangka atau yang sudah menjadi terdakwa ataupun pelapor atau keluarganya serta penasehat hukum tersangka pun dapat mengajukan permintaan praperadilan.[1]

Kata Praperadilan apabila diartikan secara terminologi, terdiri atas dua kata, yaitu pra dan peradilan yang memiliki makna proses persidangan sebelum sidang masalah pokok perkaranya disidangkan. Praperadilan bukanlah badan yang berdiri sendiri diluar dari pengadilan, tetapi salah satu wewenang saja dari pengadilan. Proses dalam praperadilan hanya memeriksa proses tata cara penyidikan dan penuntutan serta tidak berwenang memeriksa perkara pidana.[2]

Menurut ketentuan Pasal 1 butir (10) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyatakan bahwasannya Praperadilan sendiri adalah kewenangan yang dimiliki oleh Pengadilan Negeri guna memeriksa dan juga memutus menurut prosedur yang telah diatur di dalam KUHAP tentang:

  1. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
  2. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
  3. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan. Praperadilan tidak diatur di dalam ketentuan HIR (Herziene Inlands Reglement).

Selain hal-hal yang diatur didalam KUHAP, ditambah dengan sah atau tidaknya penetapan tersangka, penyitaan, dan penggeledahan yang diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 21/PUU-XII/2014.[3] Dapat diketahui bahwa Praperadilan hanyalah wewenang tambahan yang diberikan kepada Pengadilan Negeri serta diberikan wewenang guna memeriksa dan juga memutus terkait dengan permasalahan atau kasus yang terjadi dalam penggunaan wewenang upaya paksa yang dilakukan oleh Penyidik dan juga oleh Penuntut Umum.

Dalam perkara praperadilan terdapat dua pihak, yaitu pihak Pemohon dan pihak Termohon. Dalam hal pengujikan keabsahan penangkapan, penetapan tersangka, penahanan, serta permintaan ganti rugi dan rehabilitasi, umumnya pemohon adalah tersangka atau keluarganya. Namun dalam perkara terkait pengujian keabsahan penghentian penuntutan dan penyidikan, dapat diajukan oleh pihak ketiga yang berkepentingan yang dalam hal ini adalah pelapor. Adapun termohon dalam praperadilan adalah Penyidik atau Jaksa Penuntut Umum.

Terkait dengan proses acara Praperadilan, mengenai definisi secara tekstualnya adalah suatu pemeriksaan mengenai sah atau tidaknya suatu proses penangkapan dan/atau proses penahanan sebagaimana dimaksud Pasal 79 KUHAP, pemeriksaan terkait sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan dan/atau tahapan penuntutan sebagaimana Pasal 80 KUHAP dan uga tentang pemeriksaan ganti kerugian dan/atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan atau akibat sahnya penghentian penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 KUHAP, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam proses Praperadilan sebagai berikut:

  1. Tiga hari kerja setelah diterimanya permintaan dari tersangka maupun pihak yang berhak mengajukan, kemuadian hakim yang ditunjuk menetapkan hari sidangnya;
  2. Memeriksa dan memutus tentang sah tidaknya penangkapan atau penahanan atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan, permintaan ganti kerugian dan/atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan, akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan dan ada benda yang disita yang tidak termasuk alat pembuktian, hakim mendengar keterangan baik tersangka atau pemohon maupun dari pejabat yang berwenang;
  3. Pemeriksaan tersebut dapat dilakukan secara cepat atau selambatlambatnya tujuh hari kerja hakim sudah harus menjatuhkan tentang putusannya;
  4. Perkara yang sudah mulai diperiksa oleh Pengadilan Negeri, sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada praperadilan belum selesai maka permintaan tersebut gugur;
  5. Putusan praperadilan pada tingkat penyidikan tidak menutup kemungkinan untuk mengadakan pemeriksaan praperadilan lagi pada tingkat pemeriksaan oleh Penuntut Umum, jika untuk itu diajukan permintaan baru (semua yang tersebut pada butir 1 sampai dengan 5 ini diatur dalam Pasal 82 ayat (1) KUHAP);
  6. Putusan hakim dalam acara pemeriksaan peradilan dalam ketiga hal tersebut harus memuat dengan jelas dasar dan alasannya (Pasal 82 ayat (2) KUHAP);
  7. Selain daripada yang tersebut pada butir 6, putusan hakim ini memuat pula diantaranya:
  • Dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penangkapan atau penahanan tidak sah maka penyidik atau jaksa penuntut umum pada tingkat pemeriksaan masingmasing harus segera membebaskan tersangka;
  • Dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penghentian penyidikan atau penuntutan tidak sah, penyidikan atau penuntutan terhadap tersangka wajib dilanjutkan;
  • Dalam hal putusan menetapkan bahwa suatu penangkapan atau penahanan tidak sah maka dalam putusan dicantumkan rehabilitasinya;
  • Dalam hal putusan menetapkan bahwa benda yang disita ada yang tidak termasuk alat pembuktian maka dalam putusan dicantumkan bahwa benda tersebut harus segera dikembalikan kepada tersangka atau dari siapa benda itu disita.[4]

Hal-hal tersebut, perlu diperhatikan dalam proses pengajuan praperadilan di Pengadilan, salah satu kasus praperadilan yang pernah diajukan dan dikabulkan oleh Pengadilan ialah Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 32/Pid.Prp/2015/Pn.Jkt.Sel, permohonan tersebut diajukan dikarenakan penetapan tersangka yang  belum memenuhi minimal 2 (dua) alat bukti yang sah sesuai KUHAP. Maka dari itu Hakim praperadilan mengabulkan permohonan Pemohon dan menyatakan penetapan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi tidak sah. Demikian, mengenai praperadilan yang secara kewenangannya memeriksa dan mengadili proses awal dalam sistem peradilan pidana seperti penangkapan, penahanan dan penyitaan serta penetapan tersangka.

 

[1] Mochamad Anwar, Praperadilan, Ind-Hil-Co, Jakarta, 1989, hlm. 25

[2] M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hlm 23.

[3] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014

[4] Tanusubrot, Peranan Praperadilan Dalam Hukum Acara Pidana, Alumni, Bandung, 1993, hlm.1.

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.