Perikatan Karena Undang-Undang

Perikatan adalah suatu peristiwa ketika seseorang telah sepakat untuk mengikatkan diri baik secara lisan maupun tertulis untuk membuat perjanjian yang akan menimbulkan hak dan kewajiban di antara para pihak yang melakukan kata sepakat. Ada 2 (dua) sumber lahirnya perikatan, yaitu perikatan yang lahir dari undang-undang dan perikatan yang lahir dari perjanjian. Pada dasarnya perikatan lahir karena undang-undang atau perjanjian yang melahirkan perikatan. Dalam dunia hukum, perjanjian adalah salah satu bentuk perikatan dan merupakan suatu perbuatan hukum.[1] Akibat hukum suatu perikatan yang lahir dari undang-undang mungkin tidak dikehendaki oleh para pihak, tetapi hubungan hukum dan akibat hukumnya ditentukan oleh undang-undang.[2]

Merujuk ketentuan dalam Pasal 1352 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) menyatakan bahwa:

Perikatan yang lahir karena undang-undang, timbul dan undang-undang sebagai undang-undang atau dan undang-undang sebagai akibat perbuatan orang.

Perikatan yang timbul dari undang-undang terdapat dalam berbagai peraturan perundang-undangan, baik dalam KUH Perdata maupun dalam peraturan perundang-undangan lainnya. Ketentuan-ketentuan tersebut dalam Pasal 1352 dan 1353 KUH Perdata bukan merupakan ketentuan umum dari perikatan yang terjadi karena undang-undang. Akan tetapi hanya pendahuluan daripada ketentuan-ketentuan berikutnya dan bertujuan untuk menggolongkan tiga macam sumber perikatan.

Pasal 1352 KUH Perdata menentukan bahwasanya perikatan-perikatan yang dilahirkan demi undang-undang sebagai akibat dari perbuatan orang. Sehubungan dengan hal ini hendaknya diperhatikan bahwa dari undang-undang saja tidak akan timbul perikatan. Untuk terjadinya perikatan berdasarkan undang-undang harus selalu dikaitkan dengan suatu kenyataan atau peristiwa tertentu.

Dengan kata lain untuk timbulnya perikatan selalu diisyaratkan terdapatnya kenyataan hukum (rechtfeit). Perbedaan yang dilakukan oleh Pasal 1352 hanya dimaksudkan untuk menjelaskan bahwa berdasarkan undang-undang dapat timbul perikatan sebagai akibat perbuatan manusia dan peristiwa hukum. Misalnya, kematian dan kelahiran. Selanjutnya Pasal 1353, membedakan perikatan perikatan yang timbul dari undang-undang karena perbuatan manusia menurut hukum dan melawan hukum.[3]

Perikatan yang bersumber dari undang-undang semata-mata adalah perikatan yang dengan terjadinya peristiwa-peristiwa tertentu, ditetapkan melahirkan sebuah hubungan hukum (perikatan) di antara pihak-pihak yang bersangkutan, terlepas dari kemauan pihak-pihak tersebut.[4] Jika undang-udang dapat dikatakan sebagai sumber perikatan adalah bahwa lain daripada perjanjian yang melahirkan perikatan, maka di sini dapat dikatakan perikatan itu lahir antara orang/pihak yang satu dengan pihak yang lainya, tanpa orang-orang yang bersangkutan menghendakinya, bahwa perikatan itu dapat timbul walaupun orang/pihak tidak melakukan suatu perbuatan tertentu secara langsung.

Sebagai contoh perikatan yang lahir karena undang-undang disertai dengan perbuatan manusia yang bersifat rechtmatig (tidak melawan hukum) adalah apa yang diatur dalam Pasal 1354 KUH Perdata zaakwaarneming dan pembayaran terhutang Pasal 1359 KUH Perdata, sedangkan contoh perikatan yang lahir karena undang-undang disertai dengan ulah manusia yang bersifat melawan hukum adalah onrechtmatigedaad yang pengaturannya terdapat dalam Pasal 1365 KUH Perdata dan selanjutnya di luar KUH Perdata seperti Pasal 534 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD).[5]

Perikatan yang bersumber dari undang-undang sebagai akibat perbuatan manusia maksudnya ialah bahwa telah dilakukanya serangkaian tingkah laku oleh seseorang, maka undang-undang melekatkan akibat hukum berupa perikatan terhadap orang tersebut. Tingkah laku seseorang tadi mungkin merupakan perbuatan yang menurut hukum (dibolehkan undang-undang) sah atau mungkin pula merupakan perbuatan yang tidak diperbolehkan oleh undang-undang. Perikatan yang lahir dari perbuatan hukum yang sah, sebagai akibatnya undang-undang menetapkan hak dan kewajiban para pihak, tanpa kesepakatan para pihak tersebut, misalnya mengurus kepentingan orang lain secara sukarela (Pasal 1534 KUH Perdata) dan dari perbuatan melawan hukum Pasal 1365 KUH Perdata).[6]

Dengan demikian dapat dipahami bahwa perikatan yang bersumber dari undang-undang menurut Pasal 1352 KUH Perdata dibedakan atas perikatan dari undang-undang saja (uit de wet allen) dan perikatan yang lahir dari undang-undang karena perbuatan manusia (uit de wet ten gevolge van’s menschen toedoen). Kemudian Pasal 1353 KUH Perdata membedakan perikatan yang lahir dari undang-undang karena perbuatan manusia ke dalam perbuatan yang sesuai dengan hukum (rechmatige) dan perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad). Perikatan yang sesuai dengan hukum tersebut antara lain mencakup perwakilan sukarela (zaakwaarneming) dan pembayaran tidak terutang (onverschuldigde betaling).[7]

[1] J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung, 2001, hlm. 3

[2] Suharnoko, Hukum Perjanjian: Teori dan Analisa Kasus, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2009, hlm. 115.

[3] Mariam Darus Badrulzaman, Hukum Perikatan Dalam KUH Perdata, PT Citra dtya Bakti, Bandung, 2015, Hlm. 1

[4] Ibid.

[5] J Satrio, Hukum Perikatan Pada Umumnya, PT. Alumni, Bandung, 1999, Hlm. 38

[6] Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

[7] M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hlm. 496

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.