Perbedaan PPJB dan AJB

Perkembangan penduduk mempunyai dampak pada semakin banyaknya kebutuhan terhadap tanah dan bangunan sebagai kebutuhan pokok manusia sebagai tempat tinggal (papan). Selain untuk tempat tinggal, tanah dan bangunan juga dapat menjadi investasi jangka panjang. Mengenai perolehan hak atas tanah memerlukan adanya proses atau mekanisme tertentu, salah satunya melalui transaksi jual beli. Suatu transaksi harus memberikan jaminan tentang perlindungan hukum bagi penjual dan pembeli, maka dari itu perlu dilakukan di hadapan pejabat Notaris / PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) untuk menjamin perlindungan hukum bagi para pihak dan menghindari adanya kerugian bagi para pihak pada saat adanya peralihan hak atas tanah.
Peralihan hak atas tanah merupakan salah satu hal yang berkaitan dengan pendaftaran tanah di Indonesia yang diatur dalam Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Sebagai pelaksana dari UUPA, diterbitkan Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah (PP No. 10 Tahun 1961) yang kemudian diganti dengan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (PP No. 24 Tahun 1997). Fungsi pendaftaran tanah seperti yang dimaksud ketentuan Pasal 19 UUPA merupakan salah satu bentuk upaya Pemerintah dalam memberikan jaminan kepastian hukum. Jaminan kepastian hukum tersebut meliputi:[1]
- Jaminan kepastian hukum mengenai orang atau badan hukum yang menjadi pemegang hak (subyek hak atas tanah);
- Jaminan kepastian hukum mengenai letak, batas, dan luas suatu bidang tanah (obyek hak atas tanah); dan
- Jaminan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanahnya.
Sistem transaksi jual beli tanah dan/atau bangunan tidak terlepas dari adanya suatu perjanjian atau perikatan yang didasari persetujuan antara para pihak yang saling mengikatkan diri, dimana satu pihak yang akan melakukan penyerahan suatu barang atau hak kebendaan yang juga disebut sebagai penjual, dan pihak lainnya yang akan melakukan pembayaran sesuai yang telah diperjanjikan yang disebut dengan pembeli. Tindakan tersebut akan menimbulkan suatu hak dan kewajiban bagi para pihak yang melakukannya.[2] Mekanisme atau tahapan proses jual beli di hadapan Notaris/PPAT, diantaranya juga dibarengi dengan cek fisik asli sertifikat tanah, pembayaran uang muka, penandatanganan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB), pembayaran pajak penjual dan pajak pembeli, penandatanganan Akta Jual Beli (AJB), validasi, dan sebagainya.
Peralihan hak atas tanah melalui jual beli mengandung pengertian yaitu perbuatan hukum pemindahan hak kepemilikan atas tanah dari penjual kepada pembeli dengan adanya proses pembayaran harga, baik selurunya maupun sebagian dari pembeli dilakukan dengan syarat terang dan tunai. Syarat terang berarti bahwa perjanjian jual beli tersebut harus dilakukan dihadapan pejabat yang berwenang dan disaksikan oleh dua orang saksi, sedangkan syarat tunai berarti adanya dua perbuatan yang dilakukan secara bersamaan yaitu pemindahan hak dari penjual kepada pembeli dan adanya pembayaran harga yang telah disepakati. Pembayaran harga jual beli bisa dibayarkan seluruhnya secara langsung maupun dibayarkan sebagian. Apabila baru dibayar sebagian harganya tidak mempengaruhi selesainya perbuatan jual beli karena telah memenuhi syarat tunai, sedangkan terhadap sisa harganya yang belum dibayar dianggap sebagai utang-piutang diluar perbuatan hukum jual beli tanah.
Penandatangan AJB perlu dilakukan di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang berwenang sebagaimana diatur dalam Pasal 37 ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997 yang menyatakan:
“Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Namun demikian, tidak jarang pada saat akan dilakukan penandantanganan AJB, terdapat beberapa kendala yang menjadikan proses penanda tanganan AJB, karena AJB hanya dapat dilaksanakan manakala Para Pihak telah memenuhi hak dan kewajibannya masing-masing. Meski demikian, ketika Para Pihak telah melaksanakan sebagian hak dan kewajibannya dalam hal jual beli hak atas tanah namun belum dapat ditandatangani AJB, maka Para Pihak akan melakukan penandatanganan Perjanjian Pengikatan Jual Beli baik di bawah tangan ataupun dihadapan Notaris. Adapun alasan perlu dilakukannya pembuatan PPJB yakni antara lain:
- Belum dapat dilakukan pembayaran terhadap objek secara penuh atau lunas;
- Berkas administrasi yang berupa surat/dokumen objek belum dapat dilengkapi;
- Belum dapat dikuasainya objek oleh para pihak, baik oleh penjual ataupun pembeli; dan
- Pertimbangan mengenai nilai objek yang diperjualbelikan yang masih belum ada kesepakatan antara para pihak.
Perjanjian pendahuluan jual beli tanah dan/atau bangunan diatur dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan Dan Kawasan Permukiman (UU Perumahan). Menurut ketentuan Penjelasan Umum Pasal 42 ayat 1 UU Perumahan menyebutkan Perjanjian pendahuluan jual beli adalah kesepakatan melakukan jual beli rumah yang masih dalam proses pembangunan antara calon pembeli rumah dengan penyedia rumah yang diketahui oleh pejabat yang berwenang. Dalam pembuatan perjanjian pendahuluan jual beli harus memenuhi persyaratan kepastian sesuai Pasal 42 ayat (2) yaitu:
- Status pemilikan tanah;
- Hal yang diperjanjikan;
- Kepemilikan izin mendirikan bangunan induk;
- Ketersediaan prasarana, sarana, dan utilitas umum; dan
- Keterbangunan perumahan paling sedikit 20% (dua puluh persen).
Selain itu sistem perjanjian pendahuluan jual beli diatur lebih lanjut dalam ketentuan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 11/PRT/M/2019 tentang Sistem Perjanjian Pendahuluan Jual Beli Rumah (Permen PUPR) tentang sistem PPJB rumah yang telah dicabut oleh Peraturan Pemerintah Nomor 12 tahun 2021 tentang Perubahan Atas PP 14 tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman (PP Perumahan) menyebutkan:
“Perjanjian Pendahuluan Jual Beli atau Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang selanjutnya disebut PPJB adalah kesepakatan antara pelaku pembangunan dan setiap orang untuk melakukan jual beli Rumah atau satuan Rumah susun yang dapat dilakukan oleh pelaku pembangunan sebelum pembangunan untuk Rumah susun atau dalam proses pembangunan untuk Rumah tunggal dan Rumah deret yang dibuat di hadapan notaris.”
Kegiatan pemasaran Rumah Susun sebelum Rumah Susun tersebut selesai dibangun. Apabila Developer melakukan penjualan Rumah Susun sebelum pembangunan Rumah Susun selesai, maka proses jual beli tersebut dilakukan melalui PPJB berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Pasal 43 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No. 20 tahun 2011 tentang Rumah Susun (UU Rusun), yang berbunyi:
(1) “Proses jual beli sarusun sebelum pembangunan rumah susun selesai dapat dilakukan melalui PPJB yang dibuat di hadapan notaris.
(2) PPJB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah memenuhi persyaratan kepastian atas:
- status kepemilikan tanah;
- kepemilikan IMB;
- ketersediaan prasarana, sarana, dan utilitas umum;
- keterbangunan paling sedikit 20% (dua puluh persen); dan
- hal yang diperjanjikan.
Menurut ketentuan Pasal 44 ayat (1) UU Rusun, “Proses jual beli yang dilakukan sesudah pembangunan rumah susun selesai, dilakukan melalui akta jual beli (AJB).” Pembangunan rumah susun dinyatakan selesai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila telah diterbitkan:
- Sertifikat Laik Fungsi; dan
- SHM Sarusun atau SKBG satuan rumah susun.
Apa yang menjadi perbedaan antara PPJB dan AJB?
Berikut perbedaan antara PPJB dan AJB dalam sistem jual beli tanah dan/atau bangunan, antara lain:
No | Perbedaan | PPJB | AJB |
1 | Pengertian | adalah perjanjian pendahuluan antara penjual dan pembeli, sebagai bentuk pengikatan sementara dan belum adanya peralihan hak kepemilikan atas objek tanah dan/atau bangunan. | adalah Akta yang dibuat oleh PPAT untuk peralihan hak tanah dan bangunan |
2 | Dasar Hukum | – Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman (PP 14/2016) sebagaimana diubah dengan PP 11/2021. – PPJB juga diatur dalam Pasal 1870 KUH Perdata baik dari ppjb rumah maupun ppjb tanah. – Pasal 42 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan Dan Kawasan Permukiman (UU Perumahan) – Peraturan Pemerintah Nomor 12 tahun 2021 tentang Perubahan Atas PP 14 tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman ( PP Perumahan) – Pasal 43 Undang-Undang No. 20 tahun 2011 tentang Rumah Susun (UU Rusun) | – Pasal 37 Peraturan Pemerintah nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah – Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional (Perkaban) No. 08 Tahun 2012. – Pasal 44 ayat (1) Undang-Undang No. 20 tahun 2011 tentang Rumah Susun (UU Rusun) |
3 | Fungsi | Sebagai perjanjian pendahuluan atau pengikatan jual beli antara penjual dan pembeli sebelum dibuatkan atau ditanda tanganinya Akta Jual Beli (AJB) yang mengikat para pihak guna memenuhi hak dan kewajiban untuk terpenuhinya syarat peralihan hak atas tanah | Sebagai bukti sah atas peralihan hak atas tanah |
4 | Dilakukan di hadapan | – PPJB dibuat di hadapan Notaris dan merupakan akta otentik sesuai ketentuan Pasal 1868 KUH Perdata. – PPJB juga bisa dilakukan dengan akta bawah tangan atau dibuat langsung tanpa di hadapan Notaris | Penandatanganan dan pembuatan AJB di lakukan dihadapan PPAT (Pejabat Pembuatan Akta Tanah) berdasarkan Pasal 37 PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. |
5 | Kekuatan akta | – Hanya sebagai perjanjian pendahuluan, dan bukan bukti peralihan hak atas tanah. – Mengenai peralihan hak atas tanah, berdasarkan Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2016 (SEMA no 4/2016) Peralihan hak atas tanah berdasarkan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) secara hukum terjadi jika pembeli telah membayar lunas harga tanah serta telah menguasai objek jual beli dan dilakukan dengan itikad baik. | Memiliki kekuatan hukum yang kuat sebagai bukti yang sah atas peralihan hak atas tanah dan/atau bangunan. |
[1] A. P. Parlindungan, Komentar Undang-Undang Pokok Agraria, (Bandung: Mandar Maju, 1993), Hal. 15.
[2] Fadhila Restyana Larasati dan Mochammad Bakri, Jurnal tahun 2018, tentang Implementasi Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016 Pada Putusan Hakim Dalam Pemberian Perlindungan Hukum Bagi Pembeli Beritikad Baik, Program Studi Magister Kenotariatan Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Jurnal Konstitusi, Volume 15 Nomor 4 Desember 2018, hal. 2-3
Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?
Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.
Kirim PertanyaanPemblokiran Sistem Elektronik Dipandang Dari Kewenangan Kementerian Komunikasi dan...
Perbedaan Mediasi, Negosiasi dan Arbitrase

hukum expert
Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.