Pentingnya Pasangan Suami/Istri Menyetujui Perjanjian
Dalam perjanjian kredit yang dibuat oleh bank, akan ditemukan penulisan pasangan suami/istri yang menyetujui perjanjian tersebut. Tidak hanya dalam perjanjian kredit, dalam perjanjian jual beli pun dapat ditemukan hal yang sama. Tidak banyak orang mengetahui pentingnya pasangan suami/istri dari pihak yang membuat perjanjian tersebut untuk turut menyetujui perjanjian.
Berkaitan dengan perkawinan, diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”). Pasal 35 UU Perkawinan menyatakan:
“(1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
(2) Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain”
Harta bersama tersebut tidak akan timbul manakala suami atau istri mengadakan perjanjian kawin yang memisahkan harta suami atau istri baik sebelum pernikahan dan setelah pernikahan. Atas dasar ketentuan di atas, maka terdapat hak 2 subyek hukum dalam satu benda yang diperoleh setelah perkawinan yaitu hak suami dan hak isteri. Adapun Pasal 1471 KUH perdata mengatur:
“Jual beli atas barang orang lain adalah batal dan dapat memberikan dasar kepada pembeli untuk menuntut penggantian biaya, kerugian dan bunga, jika ia tidak mengetahui bahwa barang itu kepunyaan orang lain”
Oleh karena itu, suami atau istri dalam melakukan tindakan hukum terhadap harta bersama harus memperhatikan hak pasangannya, sebagaimana juga telah diatur dalam Pasal 36 ayat (1) UU Perkawinan yang menyatakan:
“Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.”
Secara a contrario, maka dapat diambil kesimpulan bahwa tidak boleh ada tindakan hukum terhadap harta bersama sebelum adanya persetujuan dari pasangan suami/istri.
Perlu diingat pula bahwa benda yang merupakan harta kekayaan tidak hanya berwujud, melainkan juga tidak berwujud. Oleh karena itu, tidak hanya dalam hal jual beli benda berwujud seperti properti dan sejenisnya saja, dalam perolehan utang piutang pun juga harus atas persetujuan pasangan suami atau istri.
Sebagaimana telah diulas dalam artikel berjudul “Syarat Sah Perjanjian, Penjelasan dan Akibat Pelanggarannya”, tidak terpenuhinya satu atau lebih syarat sah perjanjian akan memberikan implikasi hukum yang sangat besar bagi perjanjian dan para pihak yang mengikatkan diri di dalamnya. Adapun syarat terakhir sahnya perjanjian adalah “hal yang tidak dilarang”, yang mana jika tidak dipenuhi akan mengakibatkan perjanjian batal demi hukum.
Berdasarkan uraian di atas, apabila suatu perjanjian dilakukan tanpa adanya persetujuan dari suami atau istri, maka perjanjian tersebut melanggar syarat sah perjanjian yang terakhir, yaitu “hal yang tidak dilarang dan mengakibatkan perjanjian batal demi hukum. Perjanjian yang batal demi hukum dianggap tidak pernah ada.
Penulis: R. Putri J., S.H., M.H.
Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?
Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.
Kirim PertanyaanAnak Viral Menganiaya, ASN Ditjen Pajak Dicopot
Ketentuan Bagi Aparatur Sipil Negara Dalam Melaporkan Harta Kekayaan
hukum expert
Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.
