Pengertian dan Tata Cara Pemberian Amnesti

Negara sebagai organisasi sosial yang terkuat dan tertinggi, membuatnya memegang hak penegakan hukum pidana baik dalam hak untuk menuntut pidana terhadap barang siapa yang telah diduga melanggar aturan pidana yang telah dibentuk oleh badan pembentuk undang-undang maupun hak untuk menjalankan pidana terhadap barangsiapa yang oleh negara telah dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana atas kesalahannya itu.[1] Selain itu, Negara yang dalam hal ini diwakili oleh Presiden juga memiliki kewenangan untuk memberikan pengampunan kepada pelaku tindak pidana yang dikenal dengan istilah Amnesti. Di Indonesia, amnesti merupakan salah satu hak presiden di bidang yudikatif sebagai akibat penerapan sistem pembagian kekuasaan.
Hak Kepala Negara untuk memberikan pengampunan artinya bahwa tidak memberlakukan proses hukum terhadap warga negara yang telah melakukan kesalahan pada negara seperti pemberontakan bersenjata melawan pemerintahan yang sah untuk melepaskan diri dari negara, atau mendirikan negara baru secara sepihak, atau terhadap gerakan politik untuk menggulingkan kekuasaan negara yang sah (kudeta, coup d’etat). Amnesti umumnya diberlakukan untuk kasus bernuansa politik dan oleh karenanya umumnya bersifat masal (amnesti umum).[2] Pengaturan amnesti sebagai salah satu hak prerogatif Presiden yang termuat dalam Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) berbunyi:
Presiden memberikan amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat
Apabila mengacu pada rumusan tersebut, pemberian amnesti oleh presiden tergolong ke dalam ranah “Politik” karena memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Hal ini didasari pada kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat yang merupakan representasi dari partai politik, sebab berdasarkan Pasal 172 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) yang menyatakan bahwa Peserta pemilu untuk pemilihan umum anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD kabupaten/kota adalah partai politik. Kemudian, terdapat dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1954 Tentang Amnesti dan Abolisi (UU Amnesti) menyatakan bahwa:
Presiden, atas kepentingan Negara, dapat memberi amnesti dan abolisi kepada orang-orang yang telah melakukan sesuatu tindakan pidana. Presiden memberi amnesti dan abolisi ini setelah mendapat nasihat tertulis dari Mahkamah Agung yang menyampaikan nasihat itu atas permintaan Menteri Kehakiman.
Di dalam pengaturan Pasal 1 tersebut tidak memberikan pengertian amnesti namun hanya mencantumkan kriteria pemberian amnesti dan abolisi adalah “Kepentingan Negara”, walaupun di dalam Pasal 4 UU Amnesti tersebut diatur bahwa dengan pemberian amnesti semua akibat hukum pidana terhadap orang yang telah melakukan terbukti dan dihukum pidana dihapuskan. Menurut Ali Yuswandi, amnesti dapat diberikan kepada orang-orang yang telah melakukan tindak pidana dengan tidak terikat oleh waktu kapan amnesti diberikan. Jadi amnesti dapat diberikan sesudah maupun sebelum ada keputusan pengadilan.[3]
Amnesti mempunyai keistimewaan pada kepentingan negara terkait dengan pengakuan, penghargaan dan perlindungan Hak Asasi Manusia dan Hak Konstitusi Warga Negara sehubungan dengan hal ini amnesti bersifat konstitusional karena mandat konstitusi kepada penyelenggaraan negara untuk menjamin Hak Asasi Manusia dan Hak Konstitusional setiap warga negaranya. Pemberian amnesti secara yuridis formil dalam landasan Konstitusional tersebut tidak ada batasan dan kriteria perkara pidana tertentu. Selama ini adanya batasan untuk pemberian amnesti dikarenakan di dalam peraturan undang-undang yang ada masih mengatur demikian, walaupun sudah tak relevan lagi dengan situasi tatkala amnesti yang selama ini terjadi diberikan dalam hal:
- Tindak pidana politik masih menggunakan dasar hukum di Undang-undang Darurat Nomor 11 Tahun 1954 didasarkan pada Pasal 2 dan dilatarbelakangi oleh sengketa politik.
- Pelanggaran hak asasi manusia berhak menggunakan dasar hukum di Undang-undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsilasi yang batal demi aturan dengan ketetapan Mahkamah Konstitusi No. 006/PUU/IV/2006 dan sampai saat inilah dan sebelum terjadi Undang-undang pengganti yang mengontrol tentang itu.
Presiden atas kepentingan negara, dapat memberikan amnesti kepada orang-orang yang melakukan suatu tindak pidana. Mengenai pengajuan amnesti sendiri, merujuk pada ketentuan dalam Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2015 Tentang Kementerian Sekretariat Negara (Prepres 24/2015) menyebutkan bahwa
Kementerian Sekretariat Negara mempunyai tugas menyelenggarakan dukungan teknis dan administrasi serta analisis urusan pemerintahan di bidang kesekretariatan negara untuk membantu Presiden dan Wakil Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara.
Dalam melaksanakan tugas di atas, berdasarkan Pasal 3 huruf d Perpres 24/2015, Kementerian Sekretariat Negara salah satunya menyelenggarakan fungsi sebagai berikut:
Dukungan teknis, administrasi, dan analisis dalam penyiapan izin prakarsa dan penyelesaian rancangan peraturan perundang-undangan, penyiapan pendapat hukum, penyelesaian Rancangan Keputusan Presiden mengenai grasi, amnesti, abolisi, rehabililitasi, ekstradisi, remisi perubahan dari pidana penjara seumur hidup menjadi pidana sementara, dan naturalisasi, serta permintaan persetujuan kepada Sekretaris Kabinet atas permohonan izin prakarsa penyusunan rancangan peraturan perundangundangan dan atas substansi rancangan peraturan perundang-undangan;
Dengan demikian dapat dipahami bahwa pengajuan amnesti merupakan kewenangan atau hak prerogatif Presiden dalam memberikan penghapusan hukuman pidana terhadap pelaku tindak pidana dengan meminta pertimbangan Mahkamah Agung maupun DPR. Apabila mendapatkan persetujuan, maka dimuat dalam Keputusan Presiden.
[1] Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 2, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm. 151
[2] Hasbi Iswanto dan Ida Keumala Jeumpa, Tinjauan Yuridis Mengenai Pemberian Amnesti Terhadap Pelaku Tindak Pidana Selain Makar (Studi Penelitian Terhadap Kasus Kelompok Din Minimi), JIM Bidang Hukum Pidana : Vol.2, No.1 Februari 2018
[3] Andi Muhammad Sofyan & Abd Asis, Hukum Pidana, Kencana , Jakarta, 2016, hlm. 267
Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?
Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.
Kirim PertanyaanKerusuhan dan Gas Air Mata Dalam Sepak Bola
Pengertian dan Tata Cara Pemberian Grasi

hukum expert
Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.