Penahanan Tersangka Atau Terdakwa Berikut 2 Syaratnya

Penahanan Tersangka Atau Terdakwa

Dalam sistem peradilan pidana, terdapat beberapa tahapan yang harus dilalui agar seseorang dapat dinyatakan telah terbukti melakukan tindak pidana atau tidak. Meski terdapat asas

Penahanan merupakan salah satu kewenangan penyidik, penuntut umum, dan hakim yang melakukan suatu pemeriksaan perkara untuk meletakkan seorang tersangka atau terdakwa ke dalam tempat tertentu selama proses pemeriksaan, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Butir 21 Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut “KUHAP”). Adapun tata cara dan penempatannya disesuaikan dengan peraturan yang berlaku dalam KUHAP.

Tempat tertentu tersebut bergantung pada jenis penahanan, ketika penahanan yang berlaku adalah penahanan di rumah tahanan, maka tersangka atau terdakwa diletakkan di rumah tahanan. Di sisi lain, apabila penahanan yang berlaku adalah penahanan rumah, maka terhadap rumah tersebut akan dilakukan penjagaan. Sedangkan ketika seseorang dilakukan penahanan kota, maka orang tersebut harus melakukan laporan secara rutin kepada penyidik, penuntut umum, atau hakim yang memeriksa perkara dalam frekuensi waktu yang telah ditentukan oleh penyidik, penuntut umum, atau hakim.

 

Syarat Penahanan Tersangka Atau Terdakwa

Sebagaimana disampaikan sebelumnya, bahwa penahanan adalah penempatan seseorang yang telah ditetapkan sebagai tersangka atau terdakwa di tempat tertentu. Artinya, tindakan hukum penahanan tersebut akan memberikan efek hilangnya kebebasan untuk sementara terhadap seseorang yang diduga melakukan tindak pidana.

Terdapat beberapa ketentuan yang mengatur seseorang dapat diberlakukan penahanan terhadapnya. Syarat tersebut terdiri atas syarat subyektif dan syarat obyektif. Kedua syarat tersebut harus dipenuhi agar seseorang dapat dilakukan penahanan.

Syarat Obyektif

Syarat Obyektif tertuang dalam Pasal 21 Ayat (4) KUHAP yang menyatakan:

Penahanan tersebut hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal :

  1. tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih;
  2. tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 ayat (3), Pasal 296, Pasal 335 ayat (1), Pasal 351 ayat (1), Pasal 353 ayat (1), Pasal 372, Pasal 378, Pasal 379 a, Pasal 453, Pasal 454, Pasal 455, Pasal 459, Pasal 480 dan Pasal 506 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Pasal 25 dan Pasal 26 Rechtenordonnantie (pelanggaran terhadap Ordonansi Bea dan Cukai, terakhir diubah dengan Staatsblad Tahun 1931 Nomor 471), Pasal 1, Pasal 2 dan Pasal 4 Undang-undang Tindak Pidana Imigrasi (Undang-undang Nomor 8 Drt. Tahun 1955, Lembaran Negara Tahun 1955 Nomor 8), Pasal 36 ayat (7), Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 47 dan Pasal 48 Undang-undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3086).”

Dengan demikian, tidak semua dugaan tindak pidana dapat membuat seseorang ditahan. Manakala tersangka atau terdakwa diduga melakukan tindak pidana yang tidak termasuk dalam syarat obyektif tersebut, maka tersangka atau terdakwa tersebut tidak dapat dikenakan tindakan penahanan.

Syarat Subyektif

Berbeda dengan syarat obyektif yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan, syarat subyektif berasal dari asumsi atau dugaan penyidik, penuntut umum atau hakim yang menggunakan kewenangannya untuk melakukan penahanan. Syarat subyektif tertuang dalam Pasal 21 Ayat (1) KUHAP yang menyatakan:

Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana.

Artinya, meski tersangka atau terdakwa tersebut telah memenuhi syarat obyektif, namun jika Penyidik, Penuntut Umum atau Hakim tidak melihat terpenuhinya alasan subyektif, maka tersangka atau terdakwa tersebut dapat tidak dikenakan tindakan penahanan.

 

Resiko Apabila Syarat Obyektif dan Syarat Subyektif Tidak Terpenuhi Namun Tetap Dilakukan Penahanan

Sebagaimana telah disampaikan di atas, bahwa agar dapat dilakukan penahanan tersaangka atau terdakwa maka harus terpenuhi syarat obyektif dan syarat subyektif. Meski syarat subyektif terpenuhi namun jika syarat obyektif tidak terpenuhi, maka tersangka atau terdakwa tersebut tidak dapat dikenakan penahanan.

Akibat hukum jika ternyata seseorang yang tidak memenuhi syarat subyektif dan syarat obyektif tetap ditahan, maka tersangka atau terdakwa tersebut dapat mengajukan praperadilan. Praperadilan sendiri diatur dalam Pasal 77 KUHAP yang menyatakan:

Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang :

  1. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
  2. ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.

Adapun praperadilan hanya dapat diajukan manakala perkara pokok yaitu pasal yang dituduhkan kepada tersangka atau terdakwa belum diperiksa di persidangan oleh hakim. Pemeriksaan praperadilan juga dilakukan secara singkat, yaitu 7 (tujuh) hari sejak persidangan pertama. Dalam hal praperadilan diajukan untuk memeriksa sah atau tidaknya penangkapan, maka permohonan praperadilan tersebut diajukan oleh Tersangka terhadap penegak hukum yang melakukan penahanan tidak sesuai prosedur.

Menjadi pertanyaan, ketika praperadilan hanya dapat dilakukan sebelum perkara pokok disidangkan, maka tentunya penahanan yang dilakukan atas perintah hakim tidak dapat diajukan praperadilan meski terdapat dugaan bahwa penahanan tersebut tidak sah. Hal tersebut dikarenakan, perintah penahanan oleh hakim tentunya dilakukan pada saat berkas telah masuk ke pengadilan dan jangka waktu antara berkas masuk ke pengadilan dengan sidang pertama tidaklah lama. Oleh karena itu, sangat sedikit kesempatan untuk melakukan upaya hukum terhadap penahanan yang tidak sah yang dilakukan oleh hakim.

 

Penulis: Robi Putri J., S.H., M.H., CTL., CLA.

 

Baca juga:

Jangka Waktu Penahanan

Prosedur Penahanan Anak yang Berkonflik Dengan Hukum

Penahanan dan Pidana Penjara

Kewenangan Penahanan Terhadap Tersangka

Penahanan Terhadap Perempuan yang Memiliki Anak Balita

Perintah Penahanan Terhadap Saksi yang Memberikan Sumpah Palsu Pada Saat Persidangan

Sanksi Kabur dari Penahanan

Penangguhan Penahanan

Pengalihan Status Penahanan

 

Tonton juga:

penahanan tersngka atau terdakwa| penahanan tersngka atau terdakwa| penahanan tersngka atau terdakwa| penahanan tersngka atau terdakwa| penahanan tersngka atau terdakwa| penahanan tersngka atau terdakwa| penahanan tersngka atau terdakwa| penahanan tersngka atau terdakwa| penahanan tersngka atau terdakwa| penahanan tersngka atau terdakwa| penahanan tersngka atau terdakwa| penahanan tersngka atau terdakwa| penahanan tersngka atau terdakwa| penahanan tersngka atau terdakwa| penahanan tersngka atau terdakwa|

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.