Pekerja Outsourcing dan Pertanggungjawabannya Kepada Perusahaan

Pekerja Outsourcing
Persaingan dalam dunia bisnis antar perusahaan membuat perusahaan harus berkonsentrasi pada rangkaian proses atau aktivitas penciptaan produk dan jasa yang terkait dengan kompetensi utamanya. Dengan adanya konsentrasi terhadap kompetensi utama dari perusahaan, akan dihasilkan sejumlah produk dan jasa yang memiliki kualitas daya saing di pasaran. Dalam iklim persaingan yang ketat, perusahaan berusaha untuk melakukan efisiensi biaya produksi (cost of production). Salah satu solusinya adalah dengan sistem outsourcing, dimana dengan sistem ini perusahaan dapat menghemat pengeluaran dalam membiayai sumber daya manusia yang bekerja di perusahaan yang bersangkutan.
Outsourcing atau yang dikenal juga dengan tenaga alih daya, adalah hubungan kerja dimana pekerja/buruh yang dipekerjakan di suatu perusahaan dengan sistem kontrak, akan tetapi kontrak tersebut bukan diberikan oleh perusahaan pemberi kerja, melainkan oleh perusahaan si pekerja berasal. Menurut Maurice F Greaver II outsourcing diartikan sebagai “strategic use of outside parties to perform activities. Traditionally handled by internal staff and resources”. Definisi tersebut dipandang sebagai tindakan mengalihkan beberapa aktivitas perusahaan dan hak pengambilan keputusannya kepada pihak lain (outside provider), dimana tindakan ini terikat dalam suatu kontrak kerjasama.[1]
Regulasi di Indonesia yang berkaitan dengan ketenagakerjaan yakni Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 Tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) tidak memberikan definisi mengenai istilah Outsourcing atau alih daya ini sendiri. Adapun dasar hukum kegiatan outsourcing ini diatur dalam Pasal 81 Angka 18 UU Cipta Kerja yang merubah ketentuan Pasal 64 UU Ketenagakerjaan, menyatakan sebagai berikut:
- Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada Perusahaan lainnya melalui perjanjian alih daya yang dibuat secara tertulis.
- Pemerintah menetapkan sebagian pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
- Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan sebagian pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Sistem outsourcing merupakan terobosan dalam dunia kerja dengan menghadirkan efisiensi produksi yang hemat biaya bagi para pengusaha. Dengan menggunakan sistem outsourcing ini, perusahaan berupaya untuk menghemat biaya keuangan sumber daya manusia (SDM) yang bekerja di perusahaan, baik swasta maupun publik.[2] Dengan diaturnya praktek outsourcing dalam ketentuan perundang-undangan sehingga saat ini semakin marak dilakukan baik dari kalangan pengusaha maupun penyedia jasa outsourcing itu sendiri. Seiring dengan berkembangnya hubungan industrial ketenagakerjaan dengan sistem outsourcing banyak menimbulkan suatu hal negatif bagi perkembangan pekerja atau buruh.
Outsourcing merupakan pendelegasian operasi atau manajemen harian dari suatu proses bisnis kepada pihak luar (perusahaan alih daya atau perusahaan outsourcing). Dengan sistem pendelegasian tentunya hal tersebut berkaitan dengan hubungan kerja pekerja. Artinya dalam sistem Outsourcing, hubungan kerja dilaksanakan berdasarkan perjanjian pengirim/peminjaman pekerja. Pada perjanjian ini terdapat tiga pihak, yaitu perusahaan penyedia atau pengirim tenaga kerja (penyedia/Vendor), perusahaan pengguna tenaga kerja (penerima/prinsipal) dan tenaga kerja/pekerja
Hubungan Outsorcing Dengan Perusahaan
Hubungan kerja pekerja outsourcing didasarkan pada Perjanjian Kerja yang dibuat secara tertulis, baik Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) maupun Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) sebagaimana diatur dalam Pasal 81 Angka 20 UU Cipta Kerja. Apabila terdapat pelanggaran atau terjadinya perselisihan terhadap pekerja outsourcing, maka hal tersebut menjadi tanggung jawab dari Perusahaan Alih Daya sebagaimana hal tersebut diatur Pasal 18 Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 Tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja Dan Waktu Istirahat, Dan Pemutusan Hubungan Kerja (PP 35/2021) yang berbunyi:
- Hubungan Kerja antara Perusahaan Alih Daya dengan Pekerja/Buruh yang dipekerjakan, didasarkan pada PKWT atau PKWTT.
- PKWT atau PKWTT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dibuat secara tertulis.
- Perlindungan Pekerja/Buruh, Upah, kesejahteraan, syarat kerja, dan perselisihan yang timbul dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan menjadi tanggung jawab Perusahaan Alih Daya.
- Pelindungan Pekerja/Buruh, Upah, kesejahteraan, syarat kerja, dan perselisihan yang timbul sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama.
Perusahaan Alih Daya adalah badan usaha berbentuk badan hukum yang memenuhi syarat untuk melaksanakan pekerjaan tertentu berdasarkan perjanjian yang disepakati dengan Perusahaan pemberi pekerjaan. Lebih lanjut, apabila perusahaan Alih Daya mempekerjakan pekerja outsourcing berdasarkan PKWT maka Perjanjian Kerja tersebut harus mensyaratkan pengalihan perlindungan hak bagi Pekerja apabila terjadi pergantian Perusahaan Alih Daya dan sepanjang obyek pekerjaannya tetap ada. Hal tersebut merupakan merupakan jaminan atas kelangsungan bekerja bagi Pekerja/Buruh yang hubungan kerjanya berdasarkan PKWT dalam Perusahaan Alih Daya.
Berdasarkan ketentuan Pasal 18 PP 35/2021 tersebut menunjukkan artinya hak dan kewajiban pekerja outsourcing seperti perlindungan, upah atau gaji, dan kebutuhan menjadi tanggung jawab Perusahaan Alih Daya yang terdapat dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama. Secara normatif, pemerintah telah memberikan perlindungan hukum melalui PP 35/2021. Perlindungan hukum bagi pekerja outsourcing sangatlah diperlukan mengingat kedudukan pekerja berada pada kedudukan yang lebih rendah atau lemah agar dapat menjamin terpenuhinya hak-hak dasar pekerja dan menjamin kesamaan kesempatan serta perlakuan tidak diskriminasi atas dasar apapun.
Dengan demikian dapat diketahui bahwa pekerja outsourcing bertanggung jawab terhadap perusahaan Alih Daya atau perusahaan tempat ia bekerja. Begitupun dengan perusahaan Alih Daya yang terikat dengan ketentuan perundang-undangan untuk tetap bertanggung jawab terhadap pekerja outsourcing yang dipekerjakan pada suatu perusahaan berdasarkan perjanjian kerjasama.
Penulis: Rizky. P. J. S.H
Editor: Mirna. Rahmaniar, S.H., M.H., C.C.D & R. Putri J, S.H., M.H., C.T.L., C.L.A
[1] Suyoko & Mohammad Ghufron AZ, Tinjauan yuridis terhadap sistem alih daya (outsourcing) pada pekerja di Indonesia, Jurnal Cakrawala Hukum, Volume 12 No. 1 April 2021, halaman 100
[2] Dean Fadhurohman Hafizh,dkk, Analisis Praktik Outsourcing Dalam Perspektif Undang-Undang Cipta Kerja, Jurnal Lemhannas, Volume 10 Nomor 3 September 2022, halaman 215
Baca Juga:
Hak Tenaga Kerja dan Perubahan Hubungan Hukum Pekerja Dari Pekerja Tetap Menjadi Pekerja Outsourcing
2 Jenis Upah Minimum dan Perbedaannya
Tonton Juga:
Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?
Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.
Kirim PertanyaanDaftar Peserta Kelas Online Gratis “Membedakan Laporan Kepolisian dan...
5 Rekomendasi Film Hukum Lucu Bikin Ngakak Buat Nemenin...

hukum expert
Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.