Mengawal Ambulance Di Jalan Dapat Dikenakan Hukuman Pidana

Mengawal Ambulance di Jalan
Seringkali ditemukan sejumlah pengendara mengawal ambulance di jalan menuju rumah sakit agar perjalanan ambulance tersebut lancar tanpa hambatan. Hal tersebut dilakukan sebagai bentuk kepedulian terhadap pasien yang berada di ambulance, serta agar pasien mendapatkan pelayanan secara cepat atas luka atau penyakit yang dialaminya.
Beberapa waktu lalu viral video pengendara dihentikan dan ditilang oleh polisi saat sedang mengawal ambulance di jalan Kawasan Kuningan, Jakarta Selatan. Direktur Lalu Lintas Kepolisian Daerah Metro Jaya Kombes Latif membenarkan bahwa anggotanya memberhentikan pengendara motor tersebut sesuai dengan peraturan yang berlaku dan pengawalan ambulance tersebut dilanjutkan oleh anggotanya.[1]
Ambulance merupakan salah satu fasilitas yang diberikan oleh sebuah rumah sakit atau lembaga-lembaga tertentu guna mempermudah masyarakat untuk mendapatkan pertolongan dari rumah sakit atau fasilitas kesehatan lainnya. Dalam penjemputan pasien, tidak jarang ambulans juga memiliki banyak permasalahan, seperti kemacetan yang terjadi di kota-kota besar. Ambulance merupakan salah satu pengguna palan yang memperoleh hak utama untuk didahulukan sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 134 Huruf b Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ). Adanya ketentuan tersebut memberikan suatu kemudahan bagi Ambulance dalam melayani pasien rumah sakit yang membutuhkan pertolongan secepatnya yang harus dirujukkan ke rumah sakit.
Meskipun telah mendapatkan hak utama sebagai pengguna jalan yang harus didahulukan, ambulance seringkali mengalami hambatan kemacetan. Kondisi tersebut membuat sejumlah pengendara berinisiatif untuk memberikan pengawalan agar terhindar dari kemacetan. Akan tetapi, UU LLAJ menyebutkan bahwa hanya Kepolisian yang memiliki kewajiban sekaligus kewenangan untuk melakukan pengawalan sebagaimana yang ditetapkan dalam Pasal 135 UU LLAJ yang berbunyi:
(1) Kendaraan yang mendapat hak utama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134 harus dikawal oleh petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia dan/atau menggunakan isyarat lampu merah atau biru dan bunyi sirene.
(2) Petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan pengamanan jika mengetahui adanya Pengguna Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas dan Rambu Lalu Lintas tidak berlaku bagi Kendaraan yang mendapatkan hak utama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134.
Berdasarkan ketentuan tersebut, masyarakat tidak diizinkan untuk mengawal ambulance di jalan atau kendaraan-kendaraan lainnya serta tidak diperbolehkan untuk melakukan rekayasa lalu lintas di jalan raya.
Sanksi Mengawal Ambulance di Jalan
Pengawalan yang dilakukan oleh masyarakat terhadap ambulance di jalanan, membuat pengendara sering merasa resah karena jalannya diganggu dengan pengendara pengawal ambulance oleh, tetapi ada pula pengendara lain yang antusias dengan pengawalan tersebut sehingga pengendara mobil atau motor lainnya menepikan kendaraannya untuk sementara waktu demi ambulance dan pengawalnya dapat mendahului kendaraan lain. Meski demikian, pengendara yang melakukan pengawalan terhadap ambulance tersebut melanggar lampu lalu lintas, dengan alasan sedang mengawal ambulance di jalan karena ambulance telah diprioritaskan perjalanannya.
Kondisi tersebut menimbulkan perbedaan pemahaman dalam masyarakat. Sebab, secara hukum, masyarakat tidak memiliki hak dan kewajiban untuk mengawal ambulance di jalan. Namun di lain sisi, pengawalan tersebut merupakan wujud dari kepedulian masyarakat terhadap pasien yang sedang berada di dalam mobil ambulance yang dikawalnya. Dalam beberapa kasus, hal tersebut dapat ditilang karena terdapat pelanggaran lalu lintas seperti masyarakat yang mengawal ambulance di jalan ikut menerobos lampu merah dan melawan arus. Penerapan sanksi bagi pengawalan tersebut diatur dalam Pasal 287 Ayat (1) dan (2) UU LLAJ yang berbunyi:
(1) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang melanggar aturan perintah atau larangan yang dinyatakan dengan Rambu Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (4) huruf a atau Marka Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (4) huruf b dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).
(2) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang melanggar aturan perintah atau larangan yang dinyatakan dengan Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (4) huruf c dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).
Pada dasarnya Pasal 134 UU LLAJ telah mengatur bahwa ambulance sebagai kendaraan yang mendapatkan hak dan prioritas utama di jalan raya, diperbolehkan untuk menerobos lampu merah dan tindakan lainnya ketika sedang berkendara di jalan raya pada saat sedang membawa pasien gawat darurat ataupun jenazah. Bahkan ambulance juga dapat meminta jalur prioritas kepada pengguna lainnya tanpa adanya pengawalan ambulance dari masyarakat.[2] Masyarakat yang membantu mengawal ambulance di jalan untuk mengamankan jalan raya pada saat ambulance dapat dikategorikan sebagai pelanggaran lalu lintas. Sebab hal tersebut dapat mengganggu kenyamanan dan keamanan pengguna jalan lainnya yang sedang berkendara. Hal tersebut juga sejalan dengan Pasal 287 ayat (4) UU LLAJ yang menyatakan bahwa:
“Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang melanggar ketentuan mengenai penggunaan atau hak utama bagi Kendaraan Bermotor yang menggunakan alat peringatan dengan bunyi dan sinar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, Pasal 106 ayat (4) huruf f, atau Pasal 134 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).”
Melihat fenomena masyarakat yang mengawal ambulance di jalan, seharusnya hal tersebut perlu dijawab dan diperhatikan oleh pemerintah sebagai pembentuk hukum, terutama dikaitkan dengan tujuan hukum. Sebab, terjadinya fenomena masyarakat mengawal ambulance di jalan, merupakan bentuk kepedulian masyarakat terhadap pasien gawat darurat yang sedang dibawa menuju rumah sakit. Selain itu, keberadaan polisi lalu lintas di jalanan pun tidak dapat selalu hadir keberadaannya, sehingga apabila menunggu aparat kepolisian untuk pengawalan, justru dapat memicu hambatan lalu lintas terhadap jalannya ambulance.
Apabila ditinjau dari sosiologi hukum, perubahan dalam masyarakat pada prinsipnya merupakan suatu proses yang terus menerus, artinya setiap masyarakat pada kenyataannya akan mengalami perubahan. Akan tetapi perubahan antara kelompok dengan kelompok lain tidak selalu sama (kompleks) serta banyak faktor-faktor yang mempengaruhinya. Soerjono Soekamto berpendapat bahwa perubahan-perubahan masyarakat dapat mengenai nilai-nilai sosial, norma-norma, pola-pola perilaku organisasi, susunan lembaga kemasyarakatan, kekuasaan dan wewenang, interaksi sosial dan lain sebagainya.[3] Artinya, tindakan masyarakat mengawal ambulance di jalan seharusnya dipandang sebagai suatu perubahan sosial dimana masyarakat ikut serta membantu tugas penegakan hukum yang seharusnya dilakukan oleh kepolisian.
Sejalan dengan hal tersebut, sudah seharusnya dilakukan perubahan terhadap UU LLAJ khususnya mengenai pengawalan ambulance. Sebab perubahan sosial yang terjadi di masyarakat dengan dikaitkan penegakan hukum yang kurang berjalan efektif menuntut perubahan tersebut dapat terealisasi. Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa penegakan hukum pada hakikatnya merupakan penegakan ide-ide atau konsep-konsep yang abstrak. Penegakan hukum merupakan usaha untuk mewujudkan ide-ide tersebut menjadi kenyataan. Penegakan hukum sebagai sarana untuk mencapai tujuan hukum, maka sudah semestinya seluruh energi dikerahkan agar hukum mampu bekerja untuk mewujudkan nilai-nilai moral dalam hukum.[4]
Dengan demikian, fenomena mengawal ambulance di jalan sudah selayaknya tidak dianggap sebagai suatu ancaman atau pelanggaran lalu lintas kedepannya. Sebab dalam diri pelaku (masyarakat yang mengawal) terdapat sisi moral untuk membantu arus lalu lintas yang mana hal tersebut merupakan tugas dan kewajiban dari kepolisian serta membantu pasien gawat darurat untuk tiba dengan aman agar cepat ditangani. Hal tersebut harus diperhatikan oleh penegak hukum, terutama tidak adanya maksud dari masyarakat untuk melanggar lalu lintas. Oleh karena itu, penilangan terhadap perbuatan tersebut perlu dikesampingkan atau setidak-tidaknya perlu dilakukan perubahan terhadap ketentuan yang berlaku.
Penulis: Rizky Pratama J., S.H.
Editor: Robi Putri J., S.H., M.H., CTL., CLA., & Mirna R., S.H., M.H., CCD.
[1] Rizky Adha Mahendra, Viral Pemotor Kawal Ambulans di Jaksel Diberhentikan, Ini Penjelasan Polisi, https://news.detik.com/berita/d-7086007/viral-pemotor-kawal-ambulans-di-jaksel-diberhentikan-ini-penjelasan-polisi
[2] La Ode Kamalia, Managemen Pelayanan Rumah Sakit dan Puskesmas. CV. Media Sains Indonesia, Bandung, 2022, halaman 469-470
[3] Soerjono Soekanto, Suatu Tinjauan Sosiologi Hukum terhadap Masalah-Masalah Sosial, Alumni, Bandung, 1981, hlm. 188.
[4] Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum, Sinar Baru, Bandung, 1987, hlm. 89
Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?
Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.
Kirim PertanyaanPengajuan Permohonan Pembatalan Perkawinan dan Tata Caranya
Tindak Pidana Persekusi dan Pemerkosaan Serta Perbedaannya
hukum expert
Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.
