Kucing Dalam Sidang Pidana

Kucing Dalam Sidang Pidana belakangan ini mencuri perhatian public, setelah Hakim Pengadilan Negeri Padang menjatuhkan hukuman pidana penjara 2 (dua) bulan dan masa percobaan 4 (empat) bulan kepada 3 (tiga) orang terdakwa atas perbuatan mencekoki minuman keras (miras) jenis soju kepada kucing pada tanggal 7 September 2023 lalu. Ketiga terdakwa tersebut bernama Syintia Ade Putri, Lenni Marlina, dan Sisri Annisa Wahida.[1] Selain ketiga terdakwa, Flo, kucing yang dicekoki miras juga dihadirkan di dalam sidang perkara untuk dijadikan barang bukti. Dalam putusan, hakim juga menjelaskan, permintaan maaf pelaku di persidangan dan di media sosial menjadi salah satu hal yang meringankannya. Namun, sikap pelaku dengan sadar memposting tindakannya tersebut menjadi pemberat hukumnya.[2]
Perbuatan menganiaya hewan diatur dalam Pasal 302 Ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi:
- Jika perbuatan itu mengakibatkan sakit lebih dari seminggu, atau cacat atau menderita luka-luka berat lainnya, atau mati, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan, atau pidana denda paling banyak tiga ratus rupiah, karena penganiayaan hewan.
Rumusan tindak pidana penganiayaan pada Pasal 302 Ayat (2) KUHP terhadap hewan atau lichte dierenmishandeling, pelaku memiliki tujuan untuk menyakiti hewan atau tidak memberi kebutuhan hidup yang diperlukan. Menurut R. Soesilo, hewan yang dimaksud dalam Pasal 302 Ayat (2) KUHP adalah hewan pada umumnya, dalam arti bukan hewan/satwa yang dilindungi oleh negara sehingga pelaku tindak pidana penganiayaan hewan (Animal Abuse) dapat dikenakan Pasal 302 Ayat (2) KUHP.[3] Selain itu, ada beberapa unsur yang juga perlu diperhatikan dalam Pasal 302 (2) KUHP yaitu sebagai berikut:
- Unsur kesengajaan dapat terbukti ketika individu atau sekelompok individu secara sadar dan dengan niat yang jelas menyebabkan tidak nyaman atau penderitaan, melalui tindakan yang menyebabkan rasa sakit dan luka pada hewan.
- Tanpa maksud yang jelas, artinya perbuatan dilakukan tanpa maksud yang bermanfaat atau berguna bagi hewan yang menjadi objek kekerasan.
- Untuk mencapai tujuan dengan melampaui batas, bahwa suatu perbuatan dianggap tindak pidana jika terbukti melanggar hukum, tindakan kekerasan terhadap hewan adalah tindakan yang melampaui batas yang diizinkan oleh undang-undang yang ditujukan kepada hewan.
- Menimbulkan rasa sakit, luka, menyebabkan penderitaan dan merugikan kesehatan, unsur ini bermaksud konsekuensi yang timbul dan alasan mengapa perbuatan tersebut dilarang oleh peraturan perundang-undangan. Tindakan kekerasan hewan yang dilarang oleh undang-undang mencakup menyakiti dan melukai hewan dengan cara yang kejam, kasar, tidak lazim, serta tidak memberikan makanan dan minuman yang layak dengan maksud menyebabkan penderitaan.[4]
Pasal 302 Ayat (2) KUHP menyebutkan bahwa perbuatan yang mengakibatkan hewan mengalami sakit, cacar, luka parah, atau bahkan kematian, tindakan tersebut dianggap sebagai penganiayaan berat dan pelaku dapat dihukum dengan kurungan penjara maksimal selama sembilan bulan atau denda sebesar Rp 300,-. Dari unsur-unsur Pasal 302 Ayat (2) KUHP di atas, dapat diketahui bahwa negara memiliki kewenangan untuk melakukan penyitaan terhadap hewan jika pemiliknya terbukti lalai dalam menjaga kesejahteraan hewan tersebut dan menyebabkan penderitaan pada hewan tersebut. Pasal ini dengan tegas mengatur implikasi hukum yang dapat dikenakan terhadap individu yang terbukti melakukan penganiayaan terhadap hewan, termasuk tindakan yang mengakibatkan kematian hewan.
Dalam perkara tersebut, kucing dihadirkan sebagai barang bukti dalam persidangan. Hal ini menuai pertanyaan apakah hewan dapat dianggap sebagai barang bukti? Sebab, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) definisi barang bukti sendiri tidak ditemukan, sehingga arti barang bukti dapat diartikan secara multitafsir. Akan tetapi, terdapat ketentuan Pasal 39 Ayat (1) KUHAP yang mengatur benda apa saja yang dapat disita yaitu:
- benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindakan pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana;
- benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya;
- benda yang digunakan untuk menghalang-halangi penyelidikan tindak pidana;
- benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana;
- benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan,
Lebih lanjut Andi Hamzah mengatakan bahwa, barang bukti dalam perkara pidana adalah barang bukti mengenai mana delik tersebut dilakukan (objek delik) dan barang dengan mana delik dilakukan (alat yang dipakai untuk melakukan delik), termasuk juga barang yang merupakan hasil dari suatu delik.[5] Benda yang dimaksud dalam Pasal 39 KUHAP adalah berupa benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud sebagaimana definisi Pasal 1 Angka 16 KUHAP yang berbunyi:
“Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan.”
Hewan dalam Pasal 509 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) dikategorikan sebagai benda bergerak karena sifatnya artinya benda-benda yang dapat berpindah atau dapat dipindahkan. Meskipun demikian, tidak terlihat adanya hubungan antara barang bukti dengan alat bukti. Apalagi kedudukan hewan yang tidak terdapat dalam alat bukti perkara pidana sebagaimana Pasal 184 KUHAP. Maka dari itu, terdapat ketentuan Pasal 183 KUHAP yang menyatakan bahwa:
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”
Dengan adanya barang bukti dapat menguatkan kedudukan alat bukti yang diatur dalam Pasal 184 Ayat (1) KUHAP. Selain itu, mencari dan menemukan kebenaran materiil atas perkara sidang yang sedang ditangani serta dapat menguatkan keyakinan hakim atas kesalahan terdakwa yang didakwa oleh Jaksa Penuntut Umum. Dengan demikian, dalam hal ini apabila merujuk ketentuan-ketentuan dalam KUHAP, maka menghadirkan kucing sebagai barang bukti di persidangan bertujuan untuk meyakinkan hakim bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi.
Penulis: Rizky Pratama J., S.H.
Editor: Robi Putri J., S.H., M.H., CTL., CLA., & Mirna R., S.H., M.H., CCD.
[1] Febrian Fachri, Tiga Pelaku Pencekokan Miras ke Kucing Divonis Penjara 2 Bulan, https://news.republika.co.id/berita/s0m16m436/tiga-pelaku-pencekokan-miras-ke-kucing-divonis-penjara-2-bulan
[2] Fachri Hamzah, Tiga Pelaku Penganiaya Kucing di Padang Divonis Hukuman 2 Bulan, https://nasional.tempo.co/read/1769453/tiga-pelaku-penganiaya-kucing-di-padang-divonis-hukuman-2-bulan#google_vignette
[3] R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana: Serta Komentar-Koemntarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia, Bogor, 1995, halaman 221
[4] Cintya Dewi & Dini Dewi Heniarti, Penegakan Hukum terhadap Tindak Pidana Penganiayaan Hewan yang Dilakukan oleh Anggota TNI Ditinjau dari Kitab UndangUndang Hukum Pidana, Journal Bandung Conferences Series: Law Studies, Volume 3 Nomor 2 Agustus 2023, halaman 1098-1090.
[5] Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2017, halaman 254.
Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?
Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.
Kirim PertanyaanPerubahan Anggaran Dasar Perseroan Terbatas Dalam Pailit
Mediasi Dalam Sengketa Pidana HKI

hukum expert
Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.