Hukum Agraria: 8 Asas Hukum Agraria

Hukum Agraria
Hukum Agraria merupakan salah satu hukum yang cukup banyak dilirik namun juga rumit. Peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia berkaitan dengan Agraria adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Pokok Pokok Dasar Agraria (selanjutnya disebut “UU 5/1960”) berikut dengan peraturan perundang-undangan lainnya dan peraturan pelaksananya.
Banyak yang mempertanyakan apakah hukum agrarian sama dengan hukum pertanahan. Pertanyaan tersebut dapat dijawab dengan mencermati pengeritan agrarian serta penjelasan dalam UU 5/1960. Kamus Besar Bahasa Indonesia memberikan pengertian agrarian sebagai “urusan pertanian atau tanah pertanian” dan “urusan pemilikan tanah”.[1] Selanjutnya Pasal 1 ayat (2) UU 5/1960 menyebutkan:
“Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional”
Penjelasan Umum Pada Bagian Tujuan Undnag-Undang Pokok Agraria UU 5/1960 disebutkan:
“Hukum agrarian yang baru itu harus memberi kemungkinan akan tercapainya fungsi bumi, air dan ruang angkasa sebagai yang dimaksudkan di atas …”
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka hukum agrarian juga mencakup hukum pertanahan. Sebab hukum agrarian tidak hanya mengatur tentang tanah atau bumi saja, melainkan juga air dan ruang angkasa.
8 Asas Hukum Agraria
Mencermati UU 5/1960, terdapat beberapa 8 asas-asas hukum agraria yang perlu diperhatikan, yaitu:
- Asas Nasionalitas atau Kebangsaan
Asas Nasionalitas atau Asas Kebangsaan adalah asas yang memberikan pengertian bahwa bumi, air, dan ruang angkasa di wilayah Indonesia adalah kekayaan nasional yang dan hanya dimiliki serta untuk memberikan manfaat kepada rakyat Indonesia (WNI). Asas ini dapat dilihat dalam Pasal 1 UU 5/1960 yang menyatakan:
“(1) Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah-air dari seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia.
(2) Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya dalam wilayah Republik Indonesia, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional.
(3) Hubungan antara bangsa Indonesia dan bumi, air serta ruang angkasa termaksud dalam ayat (2) pasal ini adalah hubungan yang bersifat abadi.”
- Asas Hak Menguasai Negara
Berbeda dengan masa penjajahan Belanda dimana seluruh tanah adalah milik Ratu Belanda, dalam UU 5/1960 dan berdasarkan Pasal 33 UUD 1945 negara tidak memiliki tanah melainkan hanya menguasai. Memiliki dan menguasai dalam hal ini tentunya memiliki perbedaan yang sangat signifikan. Ketika Negara memiliki tanah, maka rakyat tidak berhak untuk memiliki tanah dan hanya menyewa atau menumpang di atas tanah milik negara. Sebaliknya, ketika negara hanya memiliki hak untuk menguasai, maka wewenang negara terhadap benda tersebut pun terbatas.
Pengaturan terhadap asas hak menguasai oleh negara dapat dilihat dalam Pasal 2 UU 5/1960 yang mengatur:
“(1) Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.
(2) Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk:
- mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
- menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa,
- menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
(3) Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut pada ayat (2) pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat, dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka berdaulat, adil dan makmur.
(4) Hak menguasai dari Negara tersebut diatas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah.”
- Asas Pengakuan Hak Ulayat
Pengakuan Hak Ulayat berarti pengakuan terhadap ha katas tanah oleh masyarakat adat. Sebagaimana diketahui, Indonesia terdiri dari banyak suku dan masyarakat adat yang eksistensinya masih diakui oleh negara. Dikarenakan kepemilikan hak ulayat adalah kepemilikan dari masyarakat adat, maka kepemilikan dalam hal ini bersifat komunal/kelompok. Oleh karena itu, hak ulayat berbeda dengan hak-hak atas tanah perorangan baik itu yang sering dikenal dengan hak lama atau hak tanah yasan.
Penerapan asas ini dapat dilihat dalam Pasal 3 UU 5/1960 yang menyatakan:
“Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya. masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.”
Penjelasan pasal tersebut menyatakan:
“yang dimaksud dengan “hak ulayat dan hak-hak serupa itu” ialah apa yang di dalam perpustakaan adat disebut “beschikkingsrecht”. Selanjutnya lihat Penjelasan Umum (II angka 3).”
Penjelasan Umum Romawi II Angka 3 memuat yang pada pokoknya kepemilikan tanah oleh masyarakat adat harus diakui selama masyarakat hukum adat tersebut kenyataannya masih ada. Pada zaman penjajahan, beberapa putusan pengadilan memang telah mengakui adanya hak tanah oleh masyarakat adat, namun pengakuan tersebut telah diabaikan. Oleh karenanya UU 5/1960 menegaskan pengakuan terhadap hak ulayat tersebut.
Kini pencatatan hak ulayat tunduk pada Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2019 tentang Tata Cara Penatausahaan Tanah Ulayat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat (selanjutnya disebut “Permen ATR/BPN 18/2019”) yang telah dicabut oleh Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Administrasi Pertanahan dan Pendaftaran Tanah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Sebelumnya, pengakuan hak ulayat dilakukan melalui Peraturan Daerah dan/atau Keputusan Kepala Daerah. Terbitnya Permen ATR/BPN 18/2019 dapat memberikan kepastian pendaftaran hak ulayat, terlebih untuk menghindari adanya sengketa dengan masyarakat adat karena pendaftaran hak ulayat yang terpisah dari pendaftaran hak atas tanah lainnya.
- Asas Hukum Agraria Nasional Berdasar Hukum Adat
Meski UU 5/1960 merupakan hukum nasional yang mengatur terkait agraria atau pertanahan, namun negara tidak dapat melepaskan hukum adat yang telah mengakar dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Oleh karenanya Pasal 5 UU 5/1960 mengatur:
“Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.“
Oleh karena itu, mungkin beberapa orang telah mendengar bahwa dalam pembelian tanah harus menggunakan asas terang dan tunai, yang mana merupakan norma dalam hukum adat pembelian tanah.
- Asas Fungsi Sosial
Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, bahwa hak negara terhadap tanah di wilayah Indonesia adalah hak menguasai oleh negara, sedangkan pemiliknya adalah masing-masing rakyat Indonesia (WNI). Jika melihat Pasal 20 UU 5/1960, maka hak milik merupakan hak atas tanah terkuat yang dapat dimiliki oleh seseorang. Namun demikian, Pasal 6 UU 5/1960 memerintahkan bahwa tanah memiliki fungsi sosial sebagaimana bunyi pasal tersebut:
“Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.”
Oleh karenanya, jangankan hak-hak atas tanah yang diakui di Indonesia, hak milik yang terkuat pun harus mengutamakan fungsi sosial. Penerapan fungsi sosial itupun telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum. Artinya, ketika negara atau masyarakat membutuhkan bidang tanah untuk kepentingan umum, maka pemilik hak atas tanah harus melepaskan haknya tersebut, dan negara wajib untuk memberikan ganti rugi terhadap tanah yang dilepaskan tersebut.
- Asas Landreform
Untuk keadilan maupun pemerataan serta mengurangi kesenjangan yang cukup tinggi, Indonesia mengatur batasan kepemilikan hak atas tanah sebagaimana diatur dalam pasal-pasal berikut ini:
Pasal 7 UU 5/1960
“Untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan”
Pasal 17 UU 5/1960
“Dengan mengingat ketentuan dalam pasal 7 maka untuk mencapai tujuan yang dimaksud dalam pasal 2 ayat (3) diatur luas maksimum dan/atau minimum tanah yang boleh dipunyai dengan sesuatu hak tersebut dalam pasal 16 oleh satu keluarga atau badan hukum.”
Atas dasar ketentuan tersebut, terbitlah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 38 Tahun 1960 tentang Penggunaan Dan Penetapan Luas Tanah Untuk Tanaman-Tanaman Tertentu, yang menyebutkan bahwa pengaturan tentang batas maksimum kepemilikan hak atas tanah diatur oleh Pemerintah Daerah Tingkat II.
- Asas Tata Guna Tanah
Terbatasnya bidang tanah yang sangat kecil kemungkinannya untuk bertambah atau bahkan dapat berkurang, membuat negara harus menjamin bahwa tanah-tanah yang ada difungsikan secara maksimal. Pasal-pasal yang mengatur tentang asas tersebut adalah:
Pasal 13 UU 5/1960
“(1) Pemerintah berusaha agar supaya usaha-usaha dalam lapangan agraria diatur sedemikian rupa, sehingga meninggikan produksi dan kemakmuran rakyat sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ayat (3) serta menjamin bagi setiap warga-negara Indonesia derajat hidup yang sesuai dengan martabat manusia, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya.
(2) Pemerintah mencegah adanya usaha-usaha dalam lapangan agraria dari organisasi-organisasi dan perseorangan yang bersifat monopoli swasta.
(3) Usaha-usaha Pemerintah dalam lapangan agraria yang bersifat monopoli hanya dapat diselenggarakan dengan Undang-undang.
(4) Pemerintah berusaha untuk memajukan kepastian dan jaminan sosial, termasuk bidang perburuhan, dalam usaha-usaha dilapangan agraria.”
Pasal 14 UU 5/1960
“(1) Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 2 ayat (2) dan (3) , pasal 9 ayat (2) serta pasal 10 ayat (1) dan (2) Pemerintah dalam rangka sosialisme Indonesia, membuat suatu rencana umum mengenai persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya:
- untuk keperluan Negara,
- untuk keperluan peribadatan dan keperluan suci lainnya, sesuai dengan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa;
- untuk keperluan pusat-pusat kehidupan masyarakat, sosial, kebudayaan dan lain-lain kesejahteraan;
- untuk keperluan memperkembangkan produksi pertanian, peternakan dan perikanan serta sejalan dengan itu;
- untuk keperluan memperkembangkan industri, transmigrasi dan pertambangan.
(2) Berdasarkan rencana umum tersebut pada ayat (1) pasal ini dan mengingat peraturan-peraturan yang bersangkutan, Pemerintah Daerah mengatur persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air serta ruang angkasa untuk daerahnya, sesuai dengan keadaan daerah masing-masing.
(3) Peraturan Pemerintah Daerah yang dimaksud dalam ayat (2) pasal ini berlaku setelah mendapat pengesahan, mengenai Daerah Tingkat I dari Presiden, Daerah Tingkat II dari, Gubernur/Kepala Daerah yang bersangkutan dan Daerah Tingkat III dari Bupati/Walikota/Kepala Daerah yang bersangkutan.”
Pasal 15 UU 5/1960
“Memelihara tanah, termasuk menambah kesuburannya serta mencegah kerusakannya adalah kewajiban tiap-tiap orang, badan hukum atau instansi yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah itu, dengan memperhatikan pihak yang ekonomis lemah.”
- Asas Pendaftaran Tanah
Dualisme peraturan pertanahan dalam masa penjajahan cukup memberikan banyak Pelajaran, dimana konflik pertanahan timbul di mana-mana dan tidak menutup kemungkinan menimbulkan peluang bagi negara atau pihak tertentu untuk bertindak sewenang-wenang. Oleh karenanya UU 5/1960 mewajibkan pendaftaran hak atas tanah. Pasal 19 UU 5/1960 mengatur:
“Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.”
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 Tentang Pendaftaran Tanah yang telah dicabut oleh Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dan telah diubah oleh Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 Tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah, mengatur bahwa pendaftaran hak atas tanah tersebut dibuktikan dengan Sertifikat Hak Atas Tanah.
Penulis: Robi Putri J., S.H., M.H., CTL., CLA.
[1] https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/Agraria
Baca juga:
Penjualan Tanah Yasan Oleh Pengembang / Developer dan 3 Akibat Hukumnya
Tonton juga:
Hukum agraria| Hukum agraria| Hukum agraria| Hukum agraria| Hukum agraria| Hukum agraria| Hukum agraria| Hukum agraria| Hukum agraria| Hukum agraria| Hukum agraria| Hukum agraria| Hukum agraria| Hukum agraria| Hukum agraria| Hukum agraria| Hukum agraria| Hukum agraria| Hukum agraria| Hukum agraria| Hukum agraria|
Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?
Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.
Kirim PertanyaanDugaan Plagiat Dalam Karya Ilmiah Dekan Unas Kumba dan...
Hubungan Anak Dengan Ayah Kandung Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi...

hukum expert
Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.