Grondkaart, Apakah Menjadi Bukti Hak Atas Tanah?

Grondkaart

Grondkaart atau dalam Bahasa Indonesia adalah “Kartu Tanah”. Istilah tersebut akan sering didengar berkaitan dengan tanah PT. Kereta Api Indonesia (PT KAI). PT KAI sendiri adalah suatu perusahaan yang mulanya didirikan oleh Pemerintah Hindia Belanda saat menjajah Indonesia.

PT KAI yang didirikan oleh Pemerintah Hinda Belanda dahulu bernama Staatssporwegen atau disingkat sebagai “SS”. Setelah Indonesia merdeka, tepatnya berdasar Konferensi Meja Bundar, segala aset-aset Pemerintah Hindia Belanda diambilalih oleh Indonesia, termasuk perusahaan kereta api tersebut berikut dengan aset-aset yang dimiliki.

Setelah diambil alih oleh Pemerintah Indonesai, perusahaan tersebut bernama Djawatan Kerata Api. Kemudian berubah menjadi Perusahaan Nasional Kereta Api. Selanjutnya berubah nama menjadi Perusahaan Umum Kereta Api, dan terakhir berubah menjadi PT. Kereta Api Indonesia.[1]

Sebagai Badan Hukum, PT Kereta Api Indonesia memiliki hak dan kewajiban, termasuk di dalamnya aset berupa hak atas tanah. Namun demikian, dikarenakan PT. KAI tersebut merupakan perusahaan Belanda yang diambil alih oleh Pemerintah Indonesia, maka terdapat beberapa aset yang alas haknya masih menggunakan ketentuan Pemerintah Belanda, termasuk di dalamnya adalah aset berupa lahan.

Alas hak yang dimiliki oleh PT. KAI terhadap aset-aset tanahnya adalah Grondkaart. Grondkaart pada saat ini dapat disamakan dengan Peta Bidang Tanah. Bentuknya dalam lembaran besar, yang menunjukkan gambaran tanah, nama wilayah, luas, dan beberapa detil lainnya.

Dalam perkara-perkara terkait tanah PT. KAI, Grondkaart sering menjadi dasar pembuktian dari pihak PT. KAI. Tidak jarang karena bentuknya yang hanya merupakan gambaran tanah, dan perbedaan dengan kondisi saat ini, terdapat ketidakjelasan apakah bidang tanah yang ada di lapangan adalah termasuk dalam gambar tersebut atau tidak.

Bila mencermati kasus-kasus yang ada, dalil grondkaart selalu disertai surat Menteri Keuangan RI Cq Direktorat Jenderal Pembinaan BUMN Nomor : S-11 / MK. 16 / 1994 tanggal 24 Januari 1995 kepada Menteri Agraria / Kepala BPN (selanjutnya disebut “Surat Menkeu”). Dalam surat tersebut, ditegaskan bahwa tanah-tanah Grondkaart adalah milik PT KAI.

 

Hak Atas Tanah

Hak atas tanah merupakan salah satu properti atau aset yang sangat menjanjikan. Nilai yang terus naik karena jumlahnya yang terbatas sedangkan manusia terus bertambah, menjadikan tanah sebagai aset yang mahal. Hanya sedikit tanah yang nilainya menurun, diantaranya karena rawan menghilang atau berada di tempat yang berbahaya seperti tanah delta dan tanah di daerah Lapindo Sidoarjo.

Sebelum Indonesia merdeka, terdapat dualisme hukum yang berlaku, yaitu hukum yang diperuntukkan bagi orang-orang barat dan timur, serta hukum yang berlaku bagi pribumi. Hak atas tanah yang dimiliki oleh orang-orang barat dan timur berbeda perlindungannya dengan hak atas tanah yang dimiliki oleh pribumi.

Sebagaimana dapat dilihat pada Bagian Kedua Tentang Ketentuan-Ketentuan Konversi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut “UUPA), terdapat beberapa hak barat yang disebutkan, yaitu:

– Hak Eigendom yang untuk pengonversiannya menjadi Hak Milik;

– Hak Eigendom kepunyaan Pemerintah Negara Asing untuk keperluan kediaman Kepala Perwakilan dan gedung kedutaan menjadi hak pakai;

– Hak Eigendom kepunyaan orang asing yang memiliki kewarganegaraan ganda dan badan-badan hukum menjadi Hak Guna Bangunan;

– Hak hipotek yang berdasar Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggunan Atas Tanah dan Benda-Benda yang Berkaitan Dengan Tanah (selanjutnya disebut “UU 4/1996”) berubah menjadi hak tanggungan;

– Hak Erfpacht yang jika dikonversi maka akan menjadi hak guna usaha;

– Hak Gogolan, Pekulen atau Sanggan yang dikonversi menjadi Hak Milik.

Dalam ketentuan tersebut tidak satupun yang menyebutkan Grondkaart sebagai dasar atau jenis hak atas tanah pada masa pemerintahan Hindia Belanda.

Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1953 tentang Penguasaan Tanah-Tanah Negara (selanjutnya disebut “PP 8/1953”), tepatnya pada Pasal 2 mengatur bahwa:

Kecuali jika penguasaan atas tanah Negara dengan undang-undang atau peraturan lain pada waktu berlakunya Peraturan Pemerintah ini, telah diserahkan kepada sesuatu Kementerian, Jawatan atau Daerah Swatantra, maka penguasaan atas tanah Negara ada pada Menteri Dalam Negeri.

Penulis juga tidak dapat menemukan dasar dari Grondkaart baik saat Pemerintahan Hindia Belanda maupun setelah Indonesia merdeka. Namun demikian, berdasar Pasal 2 PP 8/1953 tersebut, maka kepemilikan PT KAI yang saat pada tahun 1953 masih berstatus Djawatan, diakui oleh pemerintah Indonesia.

 

Kekuatan Hukum Grondkaart Sebagai Hak Atas Tanah

Meski kepemilikan PT KAI diakui berdasarkan Pasal 2 PP 8/1953, namun seyogyanya setelah tahun 1960, yaitu setelah berlakunya UUPA, PT KAI mendaftarkan hak atas tanah yang dimilikinya. Hal mana juga berlaku bagi tanah-tanah pribumi. Namun demikian, PT KAI tidak mendaftarkan hak atas tanahnya, melainkan justru berpedoman pada Surat Menkeu.

Perlu diketahui bahwa Pasal 5 PP 8/1953 mengatur:

Kementerian, Jawatan atau Daerah Swatantra berkewajiban akan menyerahkan kembali penguasaan atas tanah Negara kepada Menteri Dalam Negeri di dalam hal tanah atau sebagian dari tanah itu tidak dipergunakan lagi untuk melaksanakan atau menyelenggarakan kepentingan sebagai dimaksud dalam Pasal 4 atau maksud yang terkandung dalam penyerahan penguasaan tersebut dalam pasal 2.

Memang banyak permasalahan tanah yang bersinggungan dengan Grondkaart timbul saat tanah-tanah dimaksud tidak digunakan oleh PT KAI. Namun demikian, di kemudian hari, setelah berpuluh-puluh tahun lamanya, atau bahkan saat adanya ganti rugi dari pemerintah karena digunakan untuk kepentingan umum, PT KAI mulai mengeklaim tanah-tanah yang dirasa masuk dalam Grondkaart.

Di samping itu, sebagaimana kita ketahui bahwa pada tahun 2026, tanah bekas milik adat/girik/petok sudah tidak diakui lagi sebagai bukti hak atau dasar pendaftaran hak atas tanah, sebagaimana diatur dalam Pasal 96 Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 Tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah. Namun demikian, hingga saat ini tidak ada peraturan yang dengan tegas mengharuskan grondkaart didaftarkan.

Pendaftaran hak atas tanah oleh PT KAI mungkin sangat menguras banyak anggaran karena lahan yang luas yang dimilikinya. Namun demikian, ada baiknya pendaftaran hak atas tanah PT KAI, terutama yang tidak mendekati rel maupun stasiun, segera dilakukan karena tidak adanya pendaftaran tanah oleh PT KAI akan memberikan ketidakjelasan terhadap kepemilikan hak atas tanah serta berpotensi menimbulkan sengketa-sengketa antara BUMN dengan warga/masyarakat.

 

Penulis: Robi Putri J., S.H., M.H., CTL., CLA.

 

Baca juga:

Tanah PJKA atau PT KAI yang Dikuasai Masyarakat dan Pengajuan Pendaftaran Haknya

Eigendom dan Konversinya

Penggabungan Hak Atas Tanah

Pemecahan Hak Atas Tanah

Sertipikat Elektronik Untuk Hak Atas Tanah

Jual Beli Hak Atas Tanah Milik Anak

Tata Cara Roya Sertifikat Hak Atas Tanah

Penguasaan Fisik Sebagai Syarat Pendaftaran Hak Atas Tanah

Pendaftaran Hak Atas Tanah

Konversi Hak Atas Tanah Belanda

Pengaturan Hak Atas Tanah Gogolan

Upaya Administratif Guna Pembatalan Sertipikat Hak Atas Tanah

Jual Beli Hak Atas Tanah yang Masih Dalam Status KPR

Penjaminan Sertifikat Hak Atas Tanah tanpa Pembebanan Hak Tanggungan

Bagaimanakah Mengklaim Hak Atas Tanah Setelah Bertahun-tahun?

 

Tonton juga:

 

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.