Ganja Medis Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi

Beberapa waktu lalu Mahkamah Konstitusi menjatuhkan putusan terkait permohonan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 dengan register nomor 106/PUU-XVIII/2020. Permohonan tersebut berkaitan dengan legalitas ganja untuk keperluan medis, yang diajukan oleh 3 (tiga) warga dan 3 lembaga.

 

Petitum permohonan tersebut memohonkan pengujian atas penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (selanjutnya disebut “UU 35/2009”) yang menyatakan:

“Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan ‘Narkotika Golongan I’ adalah Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan”.

Serta Pasal 8 ayat (1) UU 35/2009 yang mengatur:

“Narkotika Golongan I dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan”.

Adapun golongan-golongan narkotika diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2022 Tentang Perubahan Penggolongan Narkotika (selanjutnya disebut “Permen Kesehatan 9/2022”). Dalam daftar tersebut, yang termasuk golongan 1 diantaranya adalah Papaver Somniferum L atau yang lebih dikenal dengan tumbuhan poppy yang merupakan sumber dari opium, selain itu ganja dan tumbuhan koka juga termasuk dalam narkotika golongan 1. Beberapa pihak mengklaim bahwa narkotika golongan 1 dapat membantuk penyembuhan beberapa penyakit langka, hal mana menjadi dasar permohonan pengujian UU 35/2009 tersebut.

 

Setelah melewati pemeriksaan persidangan, pada akhirnya Mahkamah Konstitusi menyatakan permohonan tersebut ditolak seluruhnya. Meski permohonan tersebut ditolak, namun pertimbangan yang diberikan oleh Mahkamah Konstitusi cukup menarik perhatian banyak orang. Hal tersebut dikarenakan pada pertimbangannya Mahkamah Konstitusi meminta kepada pemerintah untuk segera mempelajari dan melakukan penelitian terhadap penggunaan Narkotika Golongan 1 dalam pengobatan.

 

Pertimbangan Mahkamah Konstitusi tersebut pada dasarnya memberikan angin segar terhadap kemungkinan legalitas Narkotika golongan 1 digunakan dalam pengobatan. Namun demikian, penelitian yang dimaksud tentunya bukan hanya sebatas dapat atau tidaknya narkotika golongan 1 digunakan dalam pengobatan, melainkan juga terkait dengan tata cara dan pencegahan agar nantinya setelah narkotika golongan 1 dapat digunakan untuk pengobatan tidak juga memberikan celah kepada pihak-pihak yang dengan itikad buruk menyalahgunakan narkotika golongan 1 tersebut, mengingat banyak cukup banyaknya penyelewengan dan kondisi budaya hukum di Indonesia. Penelitian tersebut dapat pula dilakukan untuk pencarian alternative obat selain narkotika golongan 1. Hal tersebut guna terjaminnya hak asasi manusia sebagaimana diatur dalam Pasal 28 C ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan

“Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia”

Namun demikian, juga perlu diperhatikan hak asasi manusia sebagaimana diatur dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan:

“Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan medapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”

Dengan demikian, negara harus menjamin bahwa pihak yang memerlukan obat dapat terpenuhi kebutuhannya, namun masyarakat secara luas juga dapat hidup jauh dari kondisi yang membahayakan seperti penyalahgunaan narkotika.

 

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.