Ferdy Sambo Akan Menggugat Putusan Sidang Komisi Kode Etik Polri ke Pengadilan Tata Usaha Negara
Usai permohonan banding atas sanksi Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) ditolak oleh Komisi Kode Etik Polri (KKEP), maka status Ferdy Sambo kini menjadi warga biasa. Ditolaknya permohonan banding tersebut, membuat Ferdy Sambo akan mengajukan gugatan tata usaha negara terhadap putusan sidang KEPP di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).[1] Meski demikian, Polri menegaskan keputusan pemberhentian tidak dengan hormat Ferdy Sambo bersifat final dan mengikat.
Pengajuan banding yang dilakukan oleh Ferdy Sambo, merupakan hak yang diatur dalam Peraturan Kepala Kepolisian Nomor 7 Tahun 2022 Tentang Kode Etik Profesi dan Komisi Etik Kepolisian Republik Indonesia (Perkapolri 7/2022). Pasal 69 Ayat (1) Perkapolri 7/2022 menyatakan bahwa:
- Pemohon Banding yang dijatuhkan sanksi administratif berhak mengajukan Banding atas putusan sidang kepada Pejabat pembentuk KKEP Banding melalui Sekretariat KKEP.
Sementara mengenai putusan banding KKEP yang menolak permohonan pengajuan banding Ferdy Sambo, merujuk ketentuan Pasal 80 Ayat (1) dan (2) Perkapolri 7/2022 telah sesuai dengan pelaksanaan sidang etik sebagaimana yang berbunyi sebagai berikut:
(1) Putusan KKEP Banding berupa:
- menolak permohonan Banding; atau
- menerima permohonan Banding.
(2) Menolak permohonan Banding sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, berupa:
- menguatkan Putusan Sidang KKEP; atau
- memberatkan sanksi Putusan Sidang KKEP.
Ketentuan Perkapolri 7/2022 telah mengisyaratkan bahwa pengajuan banding sebenarnya merupakan hak dari Pemohon. Hal ini menunjukkan masih terbukanya pintu untuk melakukan upaya hukum terhadap putusan sidang KEPP tingkat pertama. Di lain sisi, KEPP juga juga memiliki hak sebagaimana pengaturannya dalam Perkapolri 7/2022. Dalam kasus Ferdy Sambo, dengan ditolaknya permohonan banding yang diajukannya maka dalam hal ini putusan sidang KKEP tingkat pertama tetap diberlakukan dan ia tetap dijatuhkan sanksi Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH).
Selanjutnya dari perspektif Hukum Tata Negara, Polri memiliki aturan yang tidak sama dengan kedinasan Militer (Tentara Nasional Indonesia/TNI). Anggota polri merupakan bagian dari unsur Pegawai Negeri Sipil (PNS).[2] Sehingga, prinsip penegakan hukum juga dapat ditempuh dengan pengadilan pidana dan atau perdata umum. Berkaitan dengan hukuman disiplin memiliki berbagai tingkatan, di antaranya yaitu hukuman disiplin ringan, sedang dan berat. Hukuman yang dirasa tidak sesuai bagi aparat yang terkena sanksi atau mencederai nilai-nilai keadilan (subjektif), maka diperbolehkan untuk melakukan upaya administratif. Hal tersebut menimbulkan sengketa kepegawaian.[3]
Kepegawaian merupakan sengketa antara seorang pegawai dengan atasannya akibat dari dikeluarkannya suatu Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN). Sengketa kepegawaian dapat terjadi dalam semua jenis profesi termasuk dalam institusi Polri sebagai aparat penegak hukum sekalipun. Dalam Pasal 1 Angka 9 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UU PTUN beserta perubahannya) menyebutkan bahwa:
Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Dari pengertian tersebut, terdapat beberapa unsur untuk dapat dikategorikan sebagai KTUN sebagaimana dimaksud dalam UU PTUN sebagai berikut:
- Penetapan tertulis
- Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN;
- Berisi tindakan hukum TUN;
- Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
- Bersifat konkret, individual dan final;
- Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Berdasarkan unsur-unsur keputusan tata usaha negara yang dimaksud dalam UU PTUN tersebut, dapat dilihat bahwa kriteria sebuah beschikking, tidak hanya berupa sebuah penetapan tertulis (tidak termasuk tindakan faktual) dan dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Pemerintahan saja, melainkan harus memenuhi kriteria lain berupa bersifat konkrit, individual dan final serta menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Sementara unsur KTUN dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan (UU AP) yaitu:
- Penetapannya merupakan penetapan tertulis yang juga mencakup tindakan faktual
- Keputusan Badan dan/atau Pejabat Tata Usaha Negara di lingkungan eksekutif, legislatif, yudikatif dan penyelenggara negara lainnya
- Berdasarkan ketentuan perundang-undangan dan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik
- Bersifat final dalam arti luas
- Keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum
- Keputusan yang berlaku bagi Warga Masyarakat
Dapat dilihat bahwa kriteria sebuah beschikking menurut UU AP yaitu sebuah penetapan tertulis (termasuk tindakan faktual) dan dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Pemerintahan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dengan demikian pengaturan KTUN yang menjadi obyek sengketa di Peradilan Tata Usaha Negara, yang sebelumnya diatur secara terperinci dan sempit di dalam UU PTUN menjadi diperluas oleh UU AP. Berdasarkan unsur-unsur KTUN tersebut, mengenai putusan sidang KEPP telah memenuhi Pasal 1 Angka 9 UU PTUN dengan rincian sebagai berikut:
- Objek sengketa adalah Keputusan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Tentang Pemberhentian Tidak dengan Hormat dari Dinas Polri;
- Bersifat konkret, karena keputusan Polri nyata-nyata dibuat oleh Polri, tidak abstrak tapi berwujud tertentu dan dapat ditentukan apa yang harus dilakukan.
- Bersifat individual, karena keputusan Polri tidak ditujukan kepada umum, akan tetapi ditujukan kepada Ferdy Sambo sebagai anggota Kepolisian Republik Indonesia.
- Bersifat final, karena keputusan Polri sudah definitif dan menimbulkan suatu akibat hukum;
- Berakibat hukum, karena dengan di keluarkan/ditetapkan keputusan oleh Polri sehingga mengakibatkan Ferdy Sambo telah diberhentikan Tidak dengan Hormat (PTDH) dari Dinas Polri.
- Polri adalah badan atau pejabat Tata Usaha Negara yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana di atur dalam Pasal 1 angka 8 UU PTUN. Kemudian berdasarkan Pasal 75 sampai dengan Pasal 78 UU AP.
Dengan demikian pengajuan gugatan KTUN oleh Ferdy Sambo terhadap keputusan sidang KEPP tentang PTDH dirinya secara hukum diperbolehkan. Hal ini juga mengingat KTUN yang menjadi objek sengketa di PTUN adalah suatu penetapan tertulis yang menimbulkan suatu akibat hukum karena tindakan yang dilakukan oleh pemerintah dan memberikan kerugian atau potensi kerugian terhadap pihak masyarakat.
[1] Tim TvOne Antara, Gugatan Ferdy Sambo ke PTUN Diduga Hanya Sebagai Upaya Mengulur Waktu, untuk Apa?, https://www.tvonenews.com/berita/nasional/69791-gugatan-ferdy-sambo-ke-ptun-diduga-hanya-sebagai-upaya-mengulur-waktu-untuk-apa?page=all
[2] Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
[3] Yanto, Tinjauan Yuridis Terhadap Pemberhentian Tidak Dengan Hormat Dari Dinas Kepolisian Republik Indonesia (Studi Putusan Perkara Nomor: 1/G/2018/PTUN.BKL), Jurnal Qiyas, Vol. 6, No. 1, April 2021
Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?
Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.
Kirim Pertanyaanhukum expert
Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.