Aset Terdakwa Korupsi yang Meninggal

Aset terdakwa korupsi yang meninggal, tentunya menjadi pertanyaan bagi beberapa pihak, mengingat yang bersangkutan meninggal sebelum menjadi terpidana atau sebelum terbitnya putusan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht). Tindak Pidana Korupsi merupakan permasalahan yang sangat serius karena merugikan keuangan negara, yang oleh karena itu diperlukan beberapa tindakan untuk mengembalikan kerugian keuangan negara dengan cara melakukan pembayaran uang pengganti kerugian aset negara. Tindak pidana korupsi merupakan extra ordinary crimes, sehingga dibutuhkan pula upaya-upaya yang luar biasa dalam melakukan pengembaliannya.[1] Pengembalian aset atau kekayaan hasil dari tindak pidana korupsi diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).

Pengembalian aset tersebut merupakan implikasi dari hasil uji materiil ketentuan Pasal 2 dan 3 UU Tipikor yang sebelumnya menyatakan bahwa:

Pasal 2

  • Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
  • Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.

Pasal 3

Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliyar rupiah).

Dari rumusan tersebut, dapat diketahui bahwa tindak pidana korupsi dapat mengakibatkan timbulnya kerugian Negara dan atau perekonomian Negara. Kata “dapat” dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 oleh Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 25/PUU-XIV/2016. Putusan MK tersebut semakin menguatkan perintah kepada terpidana korupsi untuk mengembalikan seluruh hasil yang didapatkan dari perbuatannya. Perumusan delik formil ke delik materiil tersebut memang menyulitkan pembuktian kerugian negara namun memudahkan untuk mengejar kerugian negara.[2]

Ketentuan pengembalian aset tidak hanya berlaku bagi terpidana korupsi yang setelah selesai diputus di persidangan.  Melainkan juga berlaku bagi tersangka, terdakwa atau terpidana yang sudah meninggal baik sebelum, sedang atau setelah diperiksa di persidangan dengan ketentuan yang diatur dalam UU Tipikor. Berkaitan dengan pengembalian aset oleh terdakwa korupsi yang meninggal dunia sebelum diputus bersalah, diatur dalam Pasal 34 UU Tipikor yang berbunyi:

Dalam hal terdakwa meninggal dunia pada saat dilakukan pemeriksaan di sidang pengadilan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penuntut umum segera menyerahkan salinan berkas berita acara sidang tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya.

Dengan meninggalnya terdakwa sebelum diputus atau masih tahap pemeriksaan di pengadilan, maka penuntutan yang telah diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum harus dinyatakan tidak dapat diterima. Hal ini dikarenakan penuntutan tersebut menjadi gugur sebagaimana dinyatakan Pasal 77 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang menyatakan bahwa kewenangan menuntut pidana hapus, jika tertuduh meninggal dunia. Hal tersebut dikarenakan pertanggung jawaban pidana terletak pada pelaku, bukan ahli warisnya.[3] Meski demikian, aset atau harta kekayaan yang didapatkan dari tindak pidana korupsi tersebut dapat dimintakan kepada ahli waris terdakwa.

Meskipun dalam persidangan perkara tindak pidana korupsi terdapat istilah in absentia yaitu proses suatu persidangan yang tidak dihadiri oleh pihak terdakwa dalam perkara pidana. Hal ini terdapat diatur Pasal 38 Ayat (1) UU Tipikor yang berbunyi:

“Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah, dan tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa kehadirannya.”

Penggunaan persidangan in absentia tidak dapat diberlakukan terhadap terdakwa yang meninggal dunia sebelum diputus. Ada beberapa syarat yang harus diperhatikan dalam persidangan in absentia yaitu sebagai berikut:

  1. Negara harus bisa membuktikan alasan negara tidak mampu untuk menghadirkan pelaku;
  2. Ketidakhadiran tersangka tidak memberikan alasan yang jelas sedangkan terdakwa sudah dipanggil sesuai alamat tempat tinggal yang diketahui;
  3. Telah dinyatakan Buronan atau masuk dalam Daftar Pencarian Orang;
  4. Negara tidak mampu menghadirkan dan menangkap tersangka.[4]

Lebih lanjut, dilihat dari ketentuan Pasal 34 UU Tipikor, menegaskan bahwa apabila secara nyata terdapat kerugian keuangan negara yang diakibatkan oleh terdakwa sekalipun telah meninggal dunia pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan, maka kerugian terhadap negara dapat dikembalikan ke kas negara melalui gugatan perdata. Hal ini berdasarkan ketentuan Pasal 1367 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) yang berbunyi bahwa:

Seseorang tidak hanya bertanggung jawab, atas kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri, melainkan juga atas kerugian yang disebabkan perbuatan-perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan barang-barang yang berada di bawah pengawasannya.

Dalam hal ini, negara memiliki hak untuk melakukan suatu gugatan perdata kepada ahli waris dari terdakwa terhadap benda-benda atau aset kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana korupsi sebelum putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Tanggung jawab hukum kepada ahli waris terpidana terhadap penjatuhan pidana mengenai uang pengganti dalam kerugian negara yakni bisa dibebankan kepada ahli waris apabila dari harta benda maupun aset kekayaan yang digunakan oleh ahli waris itu dicurigai diperoleh dari tindak pidana korupsi, maka ahli waris diharuskan mengembalikan harta benda maupun aset kekayaan yang secara nyata diperoleh dari tindak pidana korupsi.

 

Penulis: Rizky Pratama J, S.H

Editor: Robi Putri J. S.H., M.H., CTL., CLA., & Mirna R. S.H., M.H., CCD.

 

[1] Andi Hamzah, Korupsi di Indonesia Masalah Dan Pemecahannya, Gramedia Pustakan Utama, Jakarta, 1991, hlm. 19.

[2] Erwin Ubwarin & Yonna Beatrix Salamor, Mekanisme Pengembalian Kerugian Negara oleh Terpidana yang Meninggal Dunia Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV/2016, Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni, Vol. 1, No. 1, April 2017: halaman 54

[3] Andi Hamzah, Asas-Asas Dalam Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1994, halaman 131

[4] A A Made Yuda Dwi Hendrata & A A Sagung Laksmi Dewi dan I Nengah Laba, Persidangan in Absentia Terhadap Tindak Pidana Korupsi (Studi Putusan Nomor: 13/Pid-Sus-Tpk/2017/Pn Mtr), Jurnal Analogi Hukum, Volume 1 Nomor 1, Mei 2019, halaman 3

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.