Analogi Hukum

Analogi hukum merupakan salah satu bagian dari 3 (tiga) konstruksi hukum, dua lainnya yaitu argumentum a contrario dan penyempitan hukum.[1] Analogi hukum diartikan sebagai penafsiran pada suatu peraturan hukum melalui kiasan pada kata-kata dalam peraturan tersebut sesuai dengan asas hukum yang seolah-olah memperluas keberlakuannya pada suatu peristiwa konkret yang belum ada pengaturannya.[2] Contoh penafsiran melalui analogi hukum yaitu ketentuan tentang kedudukan seseorang yang dibawah pengampuan (curatele) yang diambil dari ketentuan mengenai perwalian, seperti yang ditegaskan oleh pasal 452 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUHPer), yang menyatakan sebagai berikut :
“Orang yang ditempatkan di bawah pengampuan berkedudukan sama dengan anak yang belum dewasa. Bila seseorang yang karena keborosan ditempatkan di bawah pengampuan hendak melangsungkan perkawinan, maka ketentuan-ketentuan Pasal 38 dan 151 berlaku terhadapnya. Ketentuan undang-undang tentang perwalian atas anak belum dewasa, yang tercantum dalam pasal 331 sampai dengan 344, Pasal-pasal 362, 367, 369 sampai dengan 388, 391 dan berikutnya dalam Bagian 11, 12 dan 13 Bab XV, berlaku juga terhadap pengampuan.”
Berdasarkan atas ketentuan tersebut, maka secara analogi peraturan mengenai pengampuan (curatele) menggunakan undang-undang ketentuan dalam perwalian. Kedudukan dan tugas seorang kurator sama dengan seorang wali, sedangkan kedudukan seorang kurandus sama seperti seorang anak yang belum cukup umur.
Contoh lainnya yaitu terkait aliran listrik yang tidak berwujud barang tetapi dianggap dan ditafsirkan sama dengan barang. Hal ini berawal dari kasus pencurian aliran listrik di Belanda yang kemudian dinyatakan dalam Arrest Hoge Raad 23 Mei 1921 (N.J. 921 halaman 564, W. 10728) mengenai perluasan arti barang sehingga meliputi benda yang tidak berwujud termasuk listrik didalamnya.[3] Berdasarkan hal tersebut dalam konteks Indonesia makna barang dalam Pasal 362 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP) secara analogi juga mengalami perluasan, sehingga pencurian terhadap aliran listrik juga merupakan tindak pidana pencurian barang sebagaimana ketentuan dalam Pasal 362 KUHP.
Analogi hukum dianggap menyimpang dari asas legalitas dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang menyatakan bahwa :
“Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada.”
Hal ini menyebabkan pro dan kontra di kalangan para pemerhati hukum.[4] Pihak pro dengan penerapan analogi hukum memiliki alasan bahwa perkembangan masyarakat yang cepat harus diiringi dengan perkembangan hukum pidana pula, sedangkan pihak kontra menganggap bahwa penerapan analogi hukum sangat berbahaya karena dapat menyebabkan ketidakpastian hukum dalam masyarakat.[5] Menurut Andi Hamzah, analogi dibagi menjadi 2 (dua), yaitu :
- Gesetz Analogi, yaitu analogi terhadap perbuatan yang sama sekali tidak ada dalam hukum pidana; dan
- Recht Analogi, yaitu analogi terhadap perbuatan yang mempunyai kemiripan dengan perbuatan yang dilarang dalam ketentuan hukum pidana;
Kemudian ahli-ahli lain berpendapat sebagai berikut :[6]
a. Van Hamel menyatakan bahwa:
“Peraturan tentang nullum delictum dan selanjutnya melarang penggunaan penafsiran secara analogi, oleh karena penafsiran semacam itu bukan hanya dapat memperluas banyaknya delik-delik yang telah ditentukan oleh undang-undang, melainkan juga dapat menjurus pada lebih diperberatnya atau lebih diperingannya hukuman yang dapat dijatuhkan bagi perbuatan yang mana pun yang dilakukan tidak berdasarkan undang-undang”.
b. Simmons mengatakan bahwa:
“Asas yang terkandung dalam pasal 1 KUHP itu melarang setiap penerapan hukum secara analogi dalam hukum pidana, oleh karena penerapan hukum semacam itu dapat membuat suatu perbuatan yang semula tidak dinyatakan secara tegas sebagai suatu tindak pidana kemudian menjadi suatu tindak pidana”.
c. Pompe berpendapat bahwa :
“Penggunaan penafsiran secara analogi itu hanya dapat dibenarkan, yakni apabila memang benar bahwa dalam undang-undang itu terdapat suatu kekosongan atau leemte, yang disebabkan misalnya karena pembentuk undang-undang lupa mengatur suatu perbuatan tertentu atau tidak menyadari kemungkinan terjadinya beberapa peristiwa dikemudian hari dan merumuskan ketentuan-ketentuan pidana yang ada secara demikian sempit sehingga perbuatan atau peristiwa-peristiwa tersebut tidak dapat dimasukkan ke dalam ketentuan-ketentuan pidana yang bersangkutan.”
d. Bemmalen berpendapat bahwa :
“Pasal 1 ayat (1) KUHP itu juga merupakan suatu jaminan untuk mencegah dilakukannya tindakan-tindakan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan oleh pihak kepolisian.”
Berdasarkan pendapat-pendapat ahli tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa penerapan penafsiran melalui analogi hukum dalam hukum pidana hanya dapat dilakukan jika terjadi kekosongan hukum, guna mencegah timbulnya ketidakpastian hukum bagi masyarakat.[7]
[1] Sitti Mawar, Metode Penemuan Hukum (Interpretasi dan Konstruksi) dalam Rangka Harmonisasi Hukum, Jurnal Hukum,Vol. 1, No. 1 Banda Aceh : Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh, 2016, hal. 15
[2] http://pkbh.uad.ac.id/penafsiran-undang-undang-secara-analogi/
[3] https://vivajusticia.law.ugm.ac.id/2018/11/29/pemikiran-pompe-mengenai-analogi-dalam-hukum-pidana/
[4] Lucky Endrawati, Rekonstruksi Analogi Dalam Hukum Pidana Sebagai Metode Penafsiran Hukum Untuk Pembaharuan Hukum Pidana Dengan Pendekatan Aliran Progresif, Jurnal Hermeneutika, Vol. 2, No. 1, Malang : Universitas Brawijaya, Februari 2018, hal. 85
[5] Ibid, hal. 86
[6] http://pkbh.uad.ac.id/penafsiran-undang-undang-secara-analogi/
[7] Ibid.
Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?
Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.
Kirim Pertanyaan
hukum expert
Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.