Akibat adanya perbedaan antara harga riil dan harga dalam AJB

Hak atas tanah merupakan suatu aset yang cukup banyak digemari dan menjanjikan yang bagi investor, bukan hanya karena nilainya yang semakin naik melainkan juga karena banyak orang yang juga membutuhkannya baik untuk sekedar investasi, mengembangkan bisnis, maupun untuk tempat tinggal. Sektor jual beli properti berupa hak atas tanah pun menjadi hal yang cukup menarik belakangan ini. Di Indonesia, jual beli hak atas tanah mengharuskan adanya keterlibatan unsur Negara, mengingat hak atas tanah merupakan benda tidak bergerak yang bukti kepemilikannya harus dengan cara pendaftaran, sehingga jual beli hak atas tanah pun harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku yaitu melalui Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Pendaftaran Hak Atas Tanah.

Pada dasarnya Akta Jual Beli (AJB) memuat seluruh transaksi yang dilakukan layaknya perjanjian, diantaranya adalah pihak penjual dan pembeli, obyek jual beli, harga jual beli, dan ketentuan lainnya yang berkaitan dengan peralihan hak atas tanah dengan jual beli. Adapun Akta Jual Beli tersebut yang kemudian menjadi dasar balik nama Sertifikat Hak Atas Tanah.

Setelah adanya balik nama Sertifikat Hak Atas Tanah, maka peralihan hak atas tanah dari penjual ke pembeli telah sah, dan disini terdapat keuntungan yang diperoleh penjual dan terdapat kepemilikan baru dari pembeli. Oleh karena itulah, atas transaksi tersebut maka para pihak dikenakan pajak yang harus dibayarkan pada saat penandatanganan Akta Jual Beli atau sebelumnya. Tanpa adanya pembayaran pajak tersebut, maka tentu negara tidak akan melayani proses balik nama yang diajukan, pajak dimaksud diantaranya adalah BPHTB.

Penentuan pajak diambil dari harga transaksi para pihak. Adapun bukti harga transaksi tertera dalam Akta Jual Beli, sehingga perhitungan pajak diambil dari harga jual beli dalam Akta Jual Beli. Namun demikian, sebagai upaya menghindari atau mengurangi pembayaran pajak, tidak jarang para pihak dalam Akta Jual Beli membuat harga sebenarnya berbeda dengan harga yang tertulis dalam AJB.

Perbedaan harga transaksi tersebut umumnya tidak diketahui oleh PPAT, sebab harga jual beli umumnya tidak sama dengan Nillai Jual Objek Pajak (NJOP). Sebagai contoh sebuah kasus pada Akta Jual beli No: 404/AJB/X/2016.[1] Nyonya Hj. Anisah menjual sebidang tanah dengan luas 122-M2 dengan harga nilai Jual sebenarnya Rp 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah), sedangkan nilai yang tertulis dalam AJB ialah sebesar Rp 70.000.000,- (tujuh puluh juta rupiah).

Kesalahan atau kelalaian dari PPAT dalam membuat AJB berakibat merugikan suatu daerah dimana pajak yang didapat dari BPHTB akan menjadi berkurang. Akta yang dihasilkan oleh PPAT tersebut menimbulkan masalah karena telah dilakukan dengan cara yang menyimpang dari prosedur baik secara materil maupun formil.[2] PPAT memiliki tanggung jawab berat, dikarenakan produk yang dibuat oleh notaris selaku PPAT ialah produk yang sangat berkonsekuensi dalam bidang hukum. PPAT memiliki kewajiban untuk mengamankan pemasukan uang negara yaitu PPH dan BPHTB. Ada beberapa akibat yang ditimbulkan akibat pencantuman harga pada AJB, antara lain apabila diketahui oleh pejabat yang berwenang maka para pihak harus membayar kekurangan pajak. Lebih lanjut perbedaan harga riil dengan harga yang tertera dalam AJB pada dasarnya dapat memberikan akibat pidana bagi para pihak yaitu adanya keterangan palsu dalam suatu akta sebagaimana diatur dalam Pasal 266 KUHPidana.

 

[1] Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal), Vol. 8 No. 3 September 2019, 354-370

[2] john M. Echols dan Hassan Shadily, Op. Cit, h. 46.

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.