Upaya Hukum Terhadap Penetapan Atas Permohonan Sepihak

Permohonan adalah salah satu jenis gugatan yang diajukan oleh pemohon atas permasalahan perdata yang ditandatangani pemohon atau kuasanya yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan.[1] Permohonan ini biasa disebut dengan jurisdictio voluntaria (peradilan yang tidak sebenarnya). Permohonan pada intinya tidak mengandung sengketa. Definisi lain dari permohonan adalah suatu perkara yang di dalamnya berisi suatu tuntutan hak perdata oleh satu pihak yang berkepentingan terhadap suatu hak yang tidak mengandung sengketa, sehingga badan-badan peradilan dalam mengadili suatu perkara permohonan bisa dianggap sebagai suatu proses yang bukan sebenarnya.

Produk hukum dari permohonan disebut dengan penetapan. Penetapan artinya adalah produk Pengadilan dalam arti bukan peradilan sesungguhnya karena disana hanya memohon untuk ditetapkan tentang sesuatu, sedangkan pemohon tidak ada lawan. Penetapan itu mucul sebagai produk pengadilan atas pemohonan pemohon yang tidak berlawanan maka diktum penetapan tidak berbunyi menghukum melainkan hanya bersifat menyatakan. sesuatu, sedangkan pemohon tidak ada lawan. Penetapan itu muncul sebagai produk pengadilan atas pemohonan pemohon yang tidak berlawanan maka diktum penetapan tidak berbunyi menghukum melainkan hanya bersifat menyatakan.

Dalam hukum acara perdata dikenal dengan permohonan secara sepihak atau gugatan voluntair. yang ditandatangani oleh Pemohon (baik perorangan maupun badan hukum) atau kuasanya yang ditujukan kepada ketua pengadilan negeri. Istilah permohonan atau gugatan voluntair ini dapat dilihat dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang meskipun tidak diatur lagi dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, dan terakhir diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa:

Penyelesaian setiap perkara yang diajukan kepada badan-badan peradilan mengandung pengertian di dalamnya penyelesaian yang bersangkutan dengan jurisdiksi voluntair

Ketentuan sebagaimana dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman masih dianggap relevan dan merupakan penegasan di samping kewenangan badan peradilan terhadap perkara gugatan pengadilan juga berwenang memutus perkara voluntair yang hanya melibatkan satu pihak saja. Contoh dari perkara voluntair tersebut adalah permohonan penetapan satu orang dan isbat nikah. Perkara permohonan adalah termasuk pada pengertian yurisdiksi voluntair dan berdasarkan permohonan yang diajukan oleh pemohon maka hakim memberikan suatu penetapan.[2]

Selain itu pengadilan juga memeriksa voluntair jurisdiction, namun kewenangan itu terbatas pada hal-hal yang ditegaskan oleh peraturan perundang-undangan. Yurisdiksi penetapan pengadilan memang diperluas pada hal-hal yang ada urgensinya itupun dengan syarat jangan sampai memutus perkara voluntair yang mengandung sengketa.[3] Penetapan pengadilan hanya dapat diterbitkan untuk hal-hal yang sangat bersifat limitatif dengan syarat ex-parte atau sepihak dalam keadaan sangat terbatas dan sangat eksepsional pada hal tertentu saja dan hanya boleh terhadap masalah yang disebut dan ditentukan oleh undang-undang yang menegaskan bahwa masalah yang bersangkutan dapat atau boleh diselesaikan secara voluntair dalam bentuk permohonan untuk mendapat penetapan

Berkaitan dengan penetapan yang berasal dari permohonan sepihak dapat diajukan pembatalan sebagaimana dimaksud dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2018 Tentang Kompilasi Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Republik Indonesia (SEMA 3/2018). Rumusan kamar perdata SEMA 3/2018 mengatur upaya hukum permohonan pembatalan penetapan yang berasal dari permohonan sepihak (ex parte) dapat dilakukan dengan cara mengajukan gugatan atau perlawanan atau kasasi.

Gugatan adalah suatu tuntutan hak yang diajukan oleh Penggugat kepada Tergugat melalui pengadilan. Dengan mengajukan gugatan, pengadilan akan mengeluarkan putusan untuk membatalkan penetapan tersebut apabila dalil-dalil yang diajukan oleh Penggugat dapat dibuktikan dan meyakinkan hakim. Misalnya jika yang mengeluarkan penetapan adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, maka gugatan pembatalan penetapan diajukan kepada Pengadilan Negeri tersebut. Di sisi lain, upaya hukum perlawanan diatur dalam Pasal 129 HIR/153 Rbg.

Adapun upaya hukum kasasi dapat digunakan untuk memohon pembatalan penetapan atas permohonan sepihak. Permohonan kasasi diatur Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (UU MA) menentukan:

Permohonan kasasi dapat diajukan hanya jika pemohon terhadap perkaranya telah menggunakan upaya hukum banding kecuali ditentukan lain oleh Undang-undang”.

Pengecualian dalam ayat (1) pasal ini diadakan karena adanya putusan Pengadilan Tingkat Pertama yang oleh Undang-undang tidak dapat dimohonkan banding. Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 3302 K/Pdt/1196 tanggal 28 Mei 1998 memberikan kaidah hukum sebagai berikut:

“Tuntutan pembatalan penetapan seharusnya diajukan kasasi ke Mahkamah Agung

Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 30 UU MA, yang menyebutkan bahwa dalam tingkat kasasi Mahkamah Agung berwenang membatalkan putusan atau penetapan pengadilan dari semua lingkungan peradilan karena tidak berwenang atau melampaui batas wewenang, salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku, serta lalai memenuhi syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundangan.

Berkaitan dengan penetapan atas permohonan dengan adanya termohon seperti permohonan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), maka atas putusannya dapat diajukan upaya hukum sesuai dengan Pasal 79 Ayat (2) jo. Pasal 80 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas (UUPT). Dengan demikian, Permohonan Penetapan RUPS hanya dapat diajukan oleh satu atau lebih Pemegang Saham yang minimal mewakili 1/10 (satu per sepuluh) atau 10 % (sepuluh persen) dari jumlah seluruh saham dengan hak suara. Permohonan Penetapan RUPS tersebut diajukan ke Pengadilan Negeri di wilayah hukum dimana perseroan terbatas berkedudukan hukum.

Merujuk pada ketentuan Pasal 80 ayat (1) Jo. ayat (2) UU PT, maka Permohonan Penetapan RUPS seolah dapat dikategorikan sebagai perkara Voluntair. Suatu perkara Voluntair menurut para ahli Hukum Acara Perdata, diantaranya Yahya Harahap, S.H. dan Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., merupakan perkara yang bersifat:

  1. sepihak karena hanya terkait kepentingan dari satu atau beberapa subjek hukum perdata semata, sehingga tidak ada subjek hukum perdata lainnya yang mempunyai hak dan kepentingan berlawanandalam permasalahan tersebut; dan
  2. dikarenakan hanya terkait kepentingan dari satu atau beberapa subjek hukum perdata semata, maka dalam perkaranya tidak ada sengketa dengan pihak lain yang mempunyai hak dan kepentingan berlawanan dalam permasalahan tersebut, benar-benar murni dan mutlak bersifat sepihak.[4]

Namun demikian, perkara Permohonan Penetapan RUPS bukanlah merupakan perkara Voluntair, melainkan perkara Contentiosa, yaitu perkara yang melibatkan dua belah pihak yang bersengketa/kepentingannya saling berlawanan. Hal tersebut dirujuk/didasarkan dari beberapa hal, yaitu:

  1. Merujuk kepada Pasal 80 ayat (2) UU No. 40/2007, yang berbunyi: “Ketua Pengadilan Negeri setelah memanggil dan mendengar Pemohon, Direksi dan/atau Komisaris, menetapkan pemberian izin untuk menyelenggarakan RUPS ……….”, maka terdapat suatu clue (petunjuk) bahwa dalam suatu Permohonan Penetapan RUPS harus terpenuhi asas audi alteram partem (Hakim wajib mendengar keterangan dari kedua belah pihak yang bersengketa/yang saling bertentangan kepentingannya) karena sebelum menjatuhkan Penetapan, Ketua Pengadilan Negeri harus mendengarkan keterangan tidak hanya dari Pemohon, tetapi juga dari Direksi dan/atau Komisaris perseroan terbatas.
  2. Dalam Bab II.A poin 6 Buku II Mahkamah Agung RI, diatur bahwa Permohonan Pembatalan Putusan Arbitrase yang dimaksud dalam UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dan Permohonan Pemeriksaan terhadap Perseroan & Permohonan Pembubaran Perseroan yang dimaksud dalam UU No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, tidak dikategorikan sebagai perkara Permohonan yang bersifat Voluntair yang diperiksa secara ex parte (sepihak) karena terdapat kepentingan pihak lain di dalamnya, sehingga perkaranya harus diperiksa secara Contentiosa, yaitu pihak-pihak yang berkepentingan harus ditarik sebagai Termohon untuk memenuhi asas audi alteram partem (Hakim wajib mendengar keterangan dari kedua belah pihak yang bersengketa/yang saling bertentangan kepentingannya).[5]

 

Penulis: Rizky Pratama J., S.H.

Editor: R. Putri J., S.H., M.H., & Mirna R., S.H., M.H.

 

 

 

 

[1] Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Jakarta, Sinar Grafika, 2005, hlm. 29

[2] Elmiyah, N., & Sujadi, Upaya-upaya hukum terhadap penetapan. Jurnal Hukum dan Pembangunan, 35(3), 326- 350. (2005, Juli-September).

[3] Ibid.

[4] Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta, cetakan pertama, April 2008., hlm., 29.

[5] Wahju Muljiono, 2012, Teori dan Praktek Peradilan Perdata di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Yustisia,Hal. 53.

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.