Tuduhan Ijazah Palsu Terhadap Presiden Jokowi
Bambang Tri Mulyono melayangkan gugatan terhadap Presiden Jokowi terkait tuduhan penggunaan ijazah Palsu pada pendaftaran calon presiden periode 2019-2024. Sidang perdana atas gugatan yang diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat akan diadakan pada 18 Oktober 2022.[1] Secara yuridis, pemalsuan ijazah merupakan salah satu tindak pidana yang tergolong dalam pemalsuan surat. Hal ini diatur dalam Pasal 263 ayat (1) dan (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
- Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun.
- Soesilo dalam bukunya KUHP, menjelaskan bahwa pemalsuan surat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 ayat (1) KUHP yang menimbulkan suatu hak, termasuk pula di dalamnya pemalsuan ijazah. Secara spesifik yang dimaksud dengan membuat surat palsu adalah membuat yang isinya bukan semestinya (tidak benar) atau membuat surat demikian rupa, sehingga menunjukkan asal surat itu yang tidak benar. Sedangkan yang dimaksud memalsu surat, adalah mengubah surat demikian rupa, sehingga isinya menjadi lain, dari isi yang asli, sehingga surat itu menjadi lain daripada yang aslinya. Perbedaan mendasar antara membuat surat palsu dan memalsukan surat adalah waktu tindak pidananya. Membuat ijazah palsu diartikan bahwa sejak asalnya ijazah yang dibuat adalah palsu. Sedangkan memalsu ijazah, terjadi sejak ijazah yang asalnya asli, namun dilakukan perubahan. Tindakan merubah inilah yang dimaksud memalsukan. Jika Pasal 263 ayat (1) KUHP memberikan sanksi atas perbuatan memalsukan, pada ayat (2)-nya memberikan sanksi kepada yang menggunakan surat yang dipalsukan. “Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.” Berdasarkan kedua pasal tersebut dapat dilihat bahwa pemalsuan ijazah termasuk dalam delik materil. Artinya adalah unsur kuat yang harus dibuktikan sehingga dikatakan sebagai tindak pidana adalah adanya akibat yang merugikan dari tindakan membuat atau menggunakan ijazah palsu.
Selain diatur dalam KUHP, tindak pidana pemalsuan ijazah diatur dalam Pasal 67 ayat (1) dan Pasal 68 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas). Kedua pasal tersebut menggolongkan tindak pidana dalam pemalsuan ijazah menjadi tiga, yakni pemberi ijazah, pembantu pemberi ijazah, dan yang menggunakan ijazah palsu. Perbedaan signifikan dari rumusan yang diatur dalam UU Sisdiknas dengan KUHP terletak pada sanksi pidana yang diberikan. UU Sisdiknas memberikan sanksi yang relatif lebih tinggi terhadap pembuat ijazah palsu dan memberikan hukuman yang relatif lebih rendah terhadap yang menggunakan ijazah palsu. Perbedaan lainnya, adalah rumusan delik UU Sisdiknas merupakan delik formil. Artinya perbuatan tersebut sudah memenuhi unsur tindak pidana sejak perbuatan itu dilakukan, tanpa harus membuktikan akibat dari perbuatan tersebut.
Apabila Presiden Jokowi terbukti memalsukan ijazah atau membuat palsu suatu ijazah maka Presiden Jokowi dapat dijerat dengan Pasal 263 ayat (1) dan (2) KUHP juncto Pasal 68 ayat (2) UU Sisdiknas. Manakala hal tersebut terjadi, maka kedudukan Jokowi sebagai presiden tentunya berakibat pada dua jenis sanksi yang dapat diterima oleh Presiden Jokowi apabila terbukti melakukan tindak pidana yang berkaitan dengan ijazah palsu. Sebagai pribadi (naturalijk persoon) Presiden Jokowi akan dikenakan sanksi pidana sesuai yang tertera dalam KUHP maupun UU No. 20 tahun 2003. Sedangkan sebagai presiden (rechtpersoon) sanksi yang dapat diberikan adalah berupa pemberhentian sebagai presiden Republik Indonesia. Hal ini sesuai ketentuan dalam Pasal 7A UUD NRI 1945 yang isinya sebagai berikut.
Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. ***)
Frasa “Tindak pidana berat lainnya”, menurut BPHN yang diuraikan dalam Laporan Tim Pengkajian Hukum tentang Impeachment dalam Sistem Hukum Tata Negara adalah tindak pidana yang ancaman pidananya lima tahun atau lebih. Namun tentunya pemberhentian itu harus melalui prosedur, yakni diusulkan oleh DPR, dibuktikan oleh MK, dan kemudian diputuskan dalam sidang oleh MPR.
Namun, di sisi lain, apabila hal tersebut terbukti tidak benar, maka terbuka peluang untuk menggugat balik Bambang Tri Mulyono atas dasar penghinaan berupa tuduhan secara memfitnah (lasterajke verdarhmaking) yang diatur dalam Pasal 318 ayat (1) KUHP. “Barang siapa dengan sengaja dengan melakukan sesuatu perbuatan, menyebabkan orang lain dengan palsu tersangka melakukan sesuatu perbuatan yang dapat dihukum, maka dihukum karena tuduhan memfitnah, dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun.” Sebelum adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013 dan 022/PUU-IV/2006, sanksi pidana Bambang Tri Mulyono apabila terbukti bersalah, dapat diperberat menjadi maksimal 6 (enam) tahun sesuai dengan ketentuan Pasal 134 KUHP yang merupakan delik penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden. Namun putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, telah membatalkan Pasal 134, 136 bis, dan Pasal 137 KUHP yang berakibat bahwa pasal-pasal tersebut tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
[1] Detiknews, (2022, Oktober 14), “Sidang Perdana Gugatan Dugaan Ijazah Palsu Jokowi Digelar 18 Oktober,” diakses dari https://news.detik.com/berita/d-6347538/sidang-perdana-gugatan-dugaan-ijazah-palsu-jokowi-digelar-18-oktober, pada 17 Oktober 2022
Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?
Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.
Kirim PertanyaanMembeli Kembali dalam Perjanjian Jual Beli Tanah
Upaya Hukum Banding Atas Putusan Pidana
hukum expert
Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.