Transaksi Jual Beli Online Oleh Anak; Keabsahan dan 2 Akibat Hukumnya

Contents
Transaksi Jual Beli Online Oleh Anak; Keabsahan dan Akibat Hukumnya. 1
Perkembangan Teknologi Memberikan Peluang Transaksi Jual Beli Online Oleh Anak. 1
Keabsahan Transaksi Jual Beli Online Oleh Anak. 2
Akibat Jika Syarat Kecakapan Tidak Dipenuhi 4
Perkembangan Teknologi Memberikan Peluang Transaksi Jual Beli Online Oleh Anak
Transaksi jual beli merupakan salah satu hal yang penting bagi manusia untuk menunjang kehidupan. Sebelum uang muncul, jual beli dilakukan dengan sistem barter, yaitu tukar menukar barang, sehingga penilaian pun dilakukan secara subyektif. Setelah adanya uang, jual beli dilakukan dengan menerima barang yang ditukar dengan sejumlah nilai uang, sehingga penilaian barang sudah tidak lagi subyektif.
Dalam melakukan jual beli, tentunya harus dilakukan dengan kesadaran mengerti nilai barang yang dibelinya dan mengerti nilai uang yang dibayarkannya. Pembelian secara konvensional biasanya membuat penjual yang beritikad baik akan berhati-hati ketika bertemu dengan pembeli, begitu juga sebaliknya.
Pada era saat ini, penggunaan media telekomunikasi, teknologi dan internet cukup pesat dan menjadi kebutuhan sehari-hari untuk mendapatkan sesuatu. Perkembangan internet telah mengubah perekonomian secara revolusioner. Awalnya, internet hanya digunakan sebagai sarana komunikasi, pencarian informasi, dan promosi. Namun, seiring waktu, internet berkembang menjadi sarana yang dapat digunakan untuk memenuhi semua kebutuhan perusahaan, termasuk transaksi.
E-commerce atau perdagangan elektronik adalah transaksi jual beli barang atau jasa yang dilakukan secara elektronik melalui internet. E-commerce memiliki dampak yang sangat positif terhadap perekonomian, khususnya di Indonesia.
Transaksi e-commerce juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, sebagaimana telah mengalami perubahan dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (selanjutnya disebut dengan “UU ITE”). Namun, UU ITE tidak mengatur mengenai batasan umur dalam melakukan transaksi.
Penggunaan teknologi telekomunikasi ini digunakan dalam berbagai kalangan baik anak-anak maupun orang dewasa. Anak merupakan salah satu kelompok masyarakat yang rentan terhadap berbagai bentuk pelanggaran, termasuk dalam hal transaksi jual beli online oleh anak.
Dalam praktiknya, transaksi jual beli online oleh anak yang belum dewasa atau belum mumayyiz sering kali terjadi, terutama dalam transaksi elektronik. Hal sebagai akibat kemudahan akses internet bagi anak-anak.
Keabsahan Transaksi Jual Beli Online Oleh Anak
Sebagaimana disebutkan di atas, bahwasanya UU ITE tidak mengatur batas umur bahkan tidak mengatur secara spesifik tentang jual beli. Oleh karenanya, ketentuan-ketentuan tentang jual beli tersebut kembali lagi kepada prinsip perjanjian
Ketentuan-ketentuan tentang perjanjian dan jual beli online di Indonesia, adalah sebagai berikut:
- Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)
- Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE)
Berkaitan dengan perjanjian, tentunya harus terdapat syarat yang harus dipenuhi untuk sahnya perjanjian dimaksud. Ketentuan yang mengatur syarat sah perjanjian tersebut adalah Pasal 1320 KUH Perdata yang menyatakan bahwa syarat sah perjanjian terdiri atas:
Kesepakatan;
Pengertian tentang sepakat tidak diatur dalam KUHPerdata. Namun demikian, pasal 1321 sampai dengan pasal 1328 KUHPerdata mengatur hal-hal yang berkaitan erat dengan kesepakatan, diantaranya:
- Tidak boleh ada paksaan dari salah satu pihak kepada pihak lain dalam perjanjian
- Tidak boleh ada tipu muslihat dari salah satu pihak kepada pihak lain dalam perjanjian.
Akibat keberadaan dua hal di atas, maka perjanjian menjadi dapat dibatalkan.
Kecakapan;
Selanjutnya, Pasal 1329 sampai dengan pasal 1331 KUHPerdata mengatur mengenai apa yang dimaksud dengan kecakapan. Pasal 1329 KUHPerdata menyatakan:
“Tiap orang berwenang untuk membuat perikatan, kecuali jika ia dinyatakan tidak cakap untuk hal itu”
Adapun Pasal 1330 KUHPerdata mengatur:
“Yang tak cakap untuk membuat persetujuan adalah:
- Anak yang belum dewasa
- Orang yang ditaruh di bawah pengampuan
- Perempuan yang telah kawin dalam hal-hal yang ditentukan undang-undang dan pada umumnya semua orang yang oleh undang-undang dilarang untuk membuat persetujuan tertentu”
Adapun kedewasaan seseorang dalam KUHPerdata adalah umur 21 (dua puluh satu) tahun. Artinya, seseorang yang belum berumur 21 (dua puluh satu) tahun tidak dapat melakukan perjanjian. Akibat dari dilanggarnya ketentuan tentang kecakapan tersebut adalah perjanjian dapat dibatalkan.
Obyek tertentu;
Pengertian obyek tertentu berarti perjanjian tersebut harus jelas obyeknya. Pasal 1332 KUHPerdata mengatur:
“Hanya barang yang dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi pokok persetujuan.”
Dan Pasal 1333 KUHPerdata mengatur:
“Suatu persetujuan harus mempunyai pokok berupa suatu barang yang sekurang-kurangnya ditentukan jenisnya. Jumlah barang itu tidak perlu pasti, asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung.”
Dengan demikian, suatu perjanjian harus memuat dengan pasti apa yang menjadi obyeknya. Apabila obyek perjanjian tersebut tidak jelas, maka perjanjian tersebut batal demi hukum.
Sebab yang tidak dilarang
Pengertian sebab yang tidak dilarang, berarti tidak dilarang baik oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku maupun kesusilaan dan kebiasaan di masyarakat. Sebagai contoh sebab yang dilarang adalah:
- jual beli oleh dan diantara suami istri;
- jual beli narkoba diantara orang-orang yang tidak memiliki izin untuk jual beli tersebut; dan
- menjual hak atas tanah berupa hak milik kepada Warga Negara Asing.
Akibat suatu perjanjian yang memuat hal yang dilarang adalah perjanjian tersebut batal demi hukum.
Keempat syarat sah perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata tersebut bersifat kumulatif. Oleh karenanya kesemua syarat tersebut harus dipenuhi.
Akibat Jika Syarat Kecakapan Tidak Dipenuhi
Sebagaimana disebutkan di atas, manakala perjanjian dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak cakap hukum, maka perjanjian dapat dibatalkan. Perjanjian dapat dibatalkan berbeda dengan perjanjian batal demi hukum.
Apabila perjanjian yang “batal demi hukum” berarti perjanjian tersebut telah dianggap batal sejak tanggal dibuatnya, atau dapat juga disebut tidak pernah ada. Perjanjian “dapat dibatalkan” berarti perjanjian tersebut terus berlaku dan mengikat selama tidak dibatalkan,
Konsekuensi yuridis jika dalam kontrak ada yang tidak cakap dalam berbuat hukum: [1]
- Jika kontrak tersebut dilakukan oleh anak yang belum dewasa atau belum berumur 21 tahun kontrak tersebut batal demi hukum karena semata-mata belum dewasanya, (Pasal 1446 ayat 1 KUHPerdata jo Pasal 1331 ayat 1 KUHPerdata);
- Apabila kontrak tersebut dilakukan oleh orang yang berada dibawah pengampuan kontrak tersebut batal demi hukum karena keberadaannya di bawah pengampuannya tersebut, (Pasal 1446 ayat 1 jo Pasal 1331 ayat 1 KUHPerdata);
- Perjanjian yang dibuat oleh orang-orang yang tidak cakap tersebut, yang kemudian dinyatakan batal maka para pihak dalam perjanjian tersebut harus membatalkan perjanjian tersebut pada keadaan sebelum perjanjian dibuat, jadi perjanjian tersebut dianggap seolah-olah tidak pernah ada.
Dikarenakan sifatnya adalah perjanjian “dapat dibatalkan”, maka wali dari anak tersebut dapat mengajukan pembatalan perjanjian dimaksud kepada pengadilan. Pengajuan tersebut dilakukan oleh wali anak karena Pasal 1446 KUHPerdata mengatur mengenai tanggung jawab wali anak yang melakukan perjanjian. Wali bertanggung jawab atas segala perbuatan anak yang belum dewasa, yang dilakukannya dengan izinnya.
Dengan demikian, transaksi jual beli online oleh anak adalah tidak sah dan dapat dibatalkan. Artinya, ketika perjanjian tersebut belum diajukan pembatalan, maka perjanjian tersebut tetap mengikat bagi para pihak.
Dalam dunia online saat ini, sering kita melihat adanya pengisian identitas bagi pengguna beberapa aplikasi, bahkan pembuatan e-mail pun memberikan batas umur penggunanya. Hal tersebut tentunya cukup memberitahukan kepada orangtua untuk selalu mengawasi anak dalam melakukan penjelajahan online termasuk menghindari adanya transaksi jual beli online oleh anak, agar tidak merugikan pihak manapun.
Penulis: Iqian A. Lanov, S.H., & Robi Putri J., S.H., M.H., CTL., CLA.
[1] Munir Fuadi, 2016, Konsep Hukum Perdata, Rajawali Pers, h. 196
Transaksi jual beli online oleh anak; Transaksi jual beli online oleh anak; Transaksi jual beli online oleh anak
Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?
Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.
Kirim Pertanyaan32 Soal Latihan Hukum Agraria
Keren! Ternyata Ini Alasan Orang Luar Negeri Taat Putusan...

hukum expert
Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.