Tindak Pidana Pencucian Uang

Tindak pidana pencucian uang atau yang lebih dikenal dengan istilah money laundering merupakan istilah yang sering didengar dari berbagai media massa, oleh sebab itu banyak pengertian yang berkembang sehubungan dengan istilah pencucian uang. Sutan Remi Sjahdeini menggarisbawahi, dewasa ini istilah money laundering sudah lazim digunakan untuk menggambarkan usaha-usaha yang dilakukan oleh seseorang atau badan hukum untuk melegalisasi uang “kotor”, yang diperoleh dari hasil tindak pidana.[1]
Istilah Pencucian uang (Money Laundering) dikenal sejak tahun 1930 di Amerika Serikat, Munculnya istilah tersebut erat kaitannya dengan perusahaan laundry. Pada saat itu kejahatan ini dilakukan oleh organisasi kejahatan mafia melalui pembelian perusahaan-perusahaan pencucian pakaian (laundry) yang kemudian digunakan oleh organisasi tersebut sebagai tempat pencucian uang yang dihasilkan dari kegiatan ilegal atau hasil kejahatan.[2] Tindak pidana pencucian uang merupakan tindakan memproses sejumlah besar uang ilegal hasil tindak pidana menjadi dana yang kelihatannya bersih atau sah menurut hukum, dengan menggunakan metode yang canggih, kreatif dan kompleks.
Tindak pidana pencucian uang dapat disebut sebagai suatu proses atau perbuatan yang bertujuan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul uang atau harta kekayaan, yang diperoleh dari hasil tindak pidana yang kemudian diubah menjadi harta kekayaan yang seolah-olah berasal dari kegiatan yang sah. Di Indonesia pengaturan tentang tindak pidana pencucian uang pada awalnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (UU 15/2002). Namun UU 15/2002 ini ternyata tidak mampu memberantas kejahatan pencucian uang, sehingga UU 15/2002 ini dicabut dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU 8/2010).
UU 8/2010 mengatur bahwa pertanggungjawaban atas tindak pidana pencucian uang bukan hanya berlaku bagi orang/individu melainkan juga korporasi. Selain itu dalam ketentuan Pasal 2 Ayat (1) UU 8/2010, menyebutkan harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana antara lain sebagai berikut:
- korupsi;
- penyuapan;
- narkotika;
- psikotropika;
- penyelundupan tenaga kerja;
- penyelundupan migran;
- di bidang perbankan;
- di bidang pasar modal;
- di bidang perasuransian;
- kepabeanan;
- cukai;
- perdagangan orang;
- perdagangan senjata gelap;
- terorisme;
- penculikan;
- pencurian;
- penggelapan;
- penipuan;
- pemalsuan uang;
- perjudian;
- prostitusi;
- di bidang perpajakan;
- di bidang kehutanan;
- di bidang lingkungan hidup;
- di bidang kelautan dan perikanan; atau
- tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih,
yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia.
Pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana pencucian uang diatur dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 10 UU 8/2010. Di antara ketentuan-ketentuan yang mengatur tindak pidana pencucian uang, terdapat ketentuan yang dapat dikenakan bagi setiap orang yang menerima atau menguasai harta kekayaan yang diketahuinya merupakan hasil tindak pidana, sebagaimana Pasal 2 Ayat (1) UU 8/2010. Hal tersebut menunjukkan bahwa tindak pidana pencucian uang merupakan kejahatan yang memiliki kompleksitas yang cukup tinggi. Secara teknis, tindak pidana pencucian uang merupakan suatu proses yang memiliki rangkaian 3 (tiga tahap), yaitu:
- Placement yaitu tahap awal dari pencucian uang. Placement adalah tahap yang paling lemah dan paling mudah untuk dilakukan pendeteksian terhadap upaya pencucian uang. Placement adalah upaya menempatkan uang tunai yang berasal dari tindak pidana ke dalam sistem keuangan (financial system) atau upaya menempatkan uang giral (cek, wesel bank, sertifikat deposito dan lain-lain) kembali ke dalam sistem keuangan, terutama perbankan baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Penempatan uang tersebut biasanya dilakukan dengan pemecahan sejumlah besar uang tunai menjadi jumlah kecil yang tidak mencolok untuk ditempatkan dalam sistem keuangan baik dengan menggunakan rekening simpanan bank atau dipergunakan untuk membeli sejumlah instrument keuangan (cheques, many orders) yang akan ditagihkan dan selanjutnya didepositokan di rekening bank yang berada di lokasi lain.
- Layering. Yakni upaya untuk mentransfer harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana (dirty money) yang telah berhasil ditempatkan pada penyedia jasa keuangan (terutama bank) sebagai hasil upaya penempatan (placement) ke penyedia jasa keuangan lain. Transfer harta kekayaan kejahatan ini dilakukan berkali-kali, melintasi negara, memanfaatkan semua wahana investasi. Dengan dilakukan layering, penegak hukum mengalami kesulitan untuk dapat mengetahui asal-usul harta kekayaan tersebut atau mempersulit pelacakan (audit trail). Pada tahap ini pelaku pencucian uang bermaksud memperpanjang rangkaian dan memperumit transaksi, sehingga asal-usul uang menjadi sukar untuk ditemukan pangkalnya.
- Integration atau menggunakan harta kekayaan. Yakni upaya menggunakan harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana yang telah masuk ke dalam sistem keuangan melalui penempatan atau transfer sehingga menjadi harta kekayaan halal (clean money), untuk kegiatan bisnis yang halal atau untuk membiayai kembali kegiatan kejahatan.[3]
Tindak pidana pencucian uang di Indonesia dikategorikan sebagai tindak pidana khusus, sebab tindak pidana pencucian uang tidak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), sehingga membutuhkan aturan tersendiri untuk menjangkau tindak pidana tersebut. Saat ini, Indonesia telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (UU KUHP) yang akan diberlakukan secara efektif tahun 2026 mendatang. Dalam UU KUHP tersebut mengatur tindak pidana pencucian uang dalam Pasal 607 dan Pasal 608 UU KUHP. Rumusan dalam UU KUHP ini merubah ketentuan Pasal 2 ayat (1), Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 UU 8/2010.
Dalam penegakan hukum tindak pidana pencucian uang, UU 8/2010 mengatur kedudukan dan kewenangan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Adapun fungsi dari PPATK sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 40 UU 8/2010 menyebutkan bahwa:
Dalam melaksanakan tugas mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang, PPATK mempunyai fungsi sebagai berikut:
- pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang;
- pengelolaan data dan informasi yang diperoleh PPATK;
- pengawasan terhadap kepatuhan Pihak Pelapor; dan
- analisis atau pemeriksaan laporan dan informasi Transaksi Keuangan yang berindikasi tindak pidana pencucian uang dan/atau tindak pidana lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).
Oleh karena itu dalam proses penyelidikan dan penyidikan, pihak Kepolisian tidak dapat bekerja sendiri, karena proses penyidikan harus menunggu hasil audit yang dilakukan oleh PPATK. Apabila hasil audit PPATK sudah didapatkan, maka pihak penyidik dapat meningkatkan kasus mulai dari penyelidikan ke penyidikan sampai dengan pelimpahan pada Kejaksaan.
Penulis: Rizky P. J., S.H.
Editor: R. Putri J., S.H., M.H., & Mirna R., S.H., M.H.
[1] Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi. Grafiti Pers, Jakarta, 2006, halaman 59
[2] Tb. Irman, Hukum Pembuktian Pencucian Uang (Money Laundering), MQS Publishing & AYYCCS Group, Jakarta, 2006, halaman 39
[3] Ivan Yustiavandana, Arman Nefi, Adiwarman, Tindak Pidana Pencucian Uang di Pasar Modal, Ghalia Indonesia Bogor, 2010, halaman 58
Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?
Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.
Kirim PertanyaanDaftar Peserta Kelas Online “Dasar-dasar Hukum Perjanjian”
Penggantian QRIS di Beberapa Kotak Amal Masjid di Jakarta

hukum expert
Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.