Teori Hukum

Membahas terkait teori hukum berarti mempelajari tentang hukum itu sendiri. Akan tetapi, kiranya perlu dipahami bahwa teori hukum tidak sama dengan ilmu hukum. Teori hukum bukanlah ilmu hukum, begitupun sebaliknya. Hal ini dikarenakan pada umumnya teori hukum diidentikkan dengan ilmu hukum. Untuk memahami apa itu teori hukum harus diketahui lebih dulu apa ilmu hukum itu sendiri agar tidak salah kaprah dalam memahami antara Teori Hukum dengan Ilmu Hukum. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa Ilmu hukum yang semula dikenal dengan ajaran hukum (rechtsleer), sering disebut juga dogmatik hukum. Sementara teori hukum berfungsi memberikan argumentasi yang meyakinkan bahwa hal-hal yang dijelaskan itu adalah ilmiah, atau hal-hal yang dijelaskan itu memenuhi standar teoritis.[1]

Merujuk pendapat Hans kalsen, Teori Hukum adalah ilmu pengetahuan mengenai hukum yang berlaku bukan mengenai hukum yang seharusnya. Teori hukum yang dimaksud adalah teori hukum murni, yang disebut teori hukum positif.[2] Sedangkan menurut W. Friedman, Teori hukum adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari esensi hukum yang berkaitan antara filsafat hukum di satu sisi dan teori politik di sisi lain. Disiplin teori ilmu hukum tidak mendapat tempat sebagai ilmu yang mandiri, untuk itu teori hukum harus disandingan dengan ilmu hukum yang lainnya.[3]

Teori hukum memberikan pembagian secara tegas agar dapat dipahami secara utuh dan komprehensif. Teori hukum tidak dapat dilepaskan dari lingkungan zaman yang senantiasa berkembang, karena teori hukum biasanya hadir sebagai suatu jawaban atas permasalahan hukum. Oleh karena itu, meskipun hukum miliki pandangan yang umum (universal), tetapi dalam perkembangannya teori hukum sangat bijaksana. Terdapat dua karakteristik teori hukum yang saling bertentangan antara satu dengan yang lain, atau bertolak belakang yakni:

  1. Pandangan yang menyatakan bahwa hukum merupakan suatu sistem yang dapat diprediksi dengan pengetahuan yang akurat tentang bagaimana kondisi hukum saat ini. Teori hukum mampu memberikan penjelasan mengenai persoalan hukum sebagaimana yang ada tanpa melibatkan orang atau pengamat, hal ini memberikan kita gambaran yang jelas bahwa hukum itu bersifat deterministik, reduksi, dan realistik. Teori ini selanjutnya dikenal dengan teori sistem.
  2. Hukum bukanlah suatu sistem yang teratur sehingga tidak dapat diprediksi, melainkan justru berkaitan dalam sebuah ketidak teraturan, serta sangatlah dipengaruhi oleh pandangan pengamat. Pandangan ini sebenarnya banyak dipengaruhi oleh para sosiolog, terutama pada masa postmodernisme.

Penulis sendiri sependapat dengan pembagian teori hukum yang pertama, karena pada hakekatnya hukum memang dapat diprediksi dengan teori sistem hukum. Teori sistem hukum sendiri menurut bahasa adalah satu kesatuan hukum yang tersusun dari tiga unsur yakni struktur, substansi, dan kultur hukum. Struktur adalah semua lembaga atau institusi penegak hukum, beserta semua aparat yang meliputi, kepolisian dengan para polisinya, kejaksaan dengan para jaksanya, dan semua profesi dengan orangnya. Substansi adalah seluruh asas hukum, norma hukum, dan aturan hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, termasuk yurisprudensi. Kultur hukum[4], adalah kebiasaan, opini, dari para penegak hukum, dari warga masyarakat yang hidup dan tumbuh menjadi suatu kebiasaan.

Berkaitan dengan hal tersebut, artikel ini membahas terkait teori hukum J.J Bruggink yang dikenal dengan keberlakuan hukum. Dalam pandangan J.J Bruggink, keberlakuan hukum adalah keberlakuan factual/empiris, keberlakuan normative/formal dan keberlakuan evaluative. Agar dapat mudah dipahami, Penulis menjelaskan ketiga konsep keberlakuan hukum tersebut sebagai berikut:

  • Keberlakuan Empiris atau factual

Keberlakuan kaidah hukum secara faktual atau empiris dapat dikatakan jika para aparat penegak hukum menerapkan serta menegakkan hukum dengan benar kemudian masyarakat yang akan diberlakukan hukum tersebut dipandang secara umum mematuhi kaidah tersebut.

  • Keberlakuan Normatif atau formal

Keberlakuan hukum normatif dalam suatu tatanan hukum mensyaratkan adanya positivitas di samping efektivitas. Sebagaimana Kelsen menjelaskan dalam teori hukum murni bahwa hukum hanya bisa berlaku jika diabstraksi dari titik ia berdiri (standout) dari struktur formalnya serta berlandaskan kepada kaidah hukum yang lebih tinggi.

  • Keberlakuan Evaluatif

Kaidah hukum di anggap bernilai jika didasarkan pada substansinya yang memiliki kekuatan mengikat (verbindende kracht) atau sifat mewajibkan (verplichtend kracht). Dengan demikian setiap orang berkewajiban untuk mematuhi suatu kaidah hukum yang ia pandang bernilai atau sangat penting untuk perilaku sosialnya sehingga kaidah tersebut tampak diterima oleh masyarakat.

Tiga konsepsi keberlakuan hukum yang dikemukakan oleh J.J Bruggink tersebut memiliki pengaruh terhadap perlindungan hukum karena terkait kekuasaan, pemerintah dan rakyat. Dalam kekuasaan ini ada dua hal yang selalu menjadi banyak perhatian, yaitu kekuasaan pemerintah dan kekuasaan ekonomi. Perlindungan hukum yang berhubungan dengan kekuasaan pemerintah adalah berupa perlindungan hukum bagi rakyat (yang diperintah) terhadap pemerintah (yang memerintah).

Sementara itu, Teori Hukum yang dikemukakan oleh Jan Gijssels yang berkaitan dengan penerapan Civil Law System mengemukakan bahwa sistematika hukum saat ini menjadikan filsafat hukum sebagai meta-meta teori, dan teori hukum, meta teori dari dogmatika hukum. Meta teori berarti suatu disiplin yang menjadikan ilmu lain sebagai obyek kajiannya. Berarti disiplin teori hukum menjadikan filsafat hukum dan ilmu-ilmu hukum lainnya juga menjadi pusat perhatian, sehingga teori hukum pendekatannya bersifat interdisipliner. Dogmatika hukum yang merupakan disiplin ilmu hukum normatif juga menjadikan teori hukum dan filsafat hukum rujukan dalam kajian hukum dan praktik hukum. Peraturan-peraturan teknis yuridik dirumuskan berdasarkan kajian dogmatika hukum.[5]

Skema hukum yang dimaksud oleh Jan Gijssels mengandung makna terhadap penerapan hukum dalam praktiknya. Pertama, penerapan secara berjenjang, filsafat hukum, teori hukum, dan dogmatika hukum tanpa dipengaruhi bidang-bidang non-yuridis seperti yang tertera dalam lingkaran, dapat terjadi jika kita, yuris terikat pada teori hukum Hans Kelsen, The Pure Theory of Norm (Teori Hukum Murni), yang berpendapat hukum harus dimurnikan atau dieliminasi dari unsur-unsur non-hukum. Sebaliknya, bisa terjadi penerapan langsung dari filsafat hukum ke hukum dan praktik hukum, bila tidak terdapat keterikatan pada tata urutan (hierarki) seperti Stuffenbau theorie dari Hans Kelsen. Kedua, skematika juga menunjukkan bahwa bidang-bidang nonhukum yakni logika (hukum), sosiologi (hukum), antropologi (hukum), sejarah (hukum), dan psikologi (hukum) dipandang merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan filsafat hukum, teori hukum, dan dogmatika hukum. Bahkan di era globalisasi penerapan hukum tidak dapat mengabaikan teknologi digital, ilmu-ilmu nomologis, seperti kedokteran, dan ilmu-ilmu alam empiris lainnya. Ketiga, dengan titik tolak, “teori hukum” sebagai ilmu hukum mandiri yang tugasnya mencapai integrasi interdisipliner, teori hukum tidak dapat mengabaikan, jadi harus dapat menjelaskan faktor-faktor hukum, karena itu diseyogyakan untuk minta bantu ilmu-ilmu lainnya.[6]

Dengan demikian dari pandangan 2 (dua) tokoh yakni J.J Bruggink dan Jan Gijssels terdapat persamaan dalam paham yang dianut oleh keduanya yakni positivisme hukum. Hanya konsepsi hukum yang dibangun oleh J.J. Bruggink lebih spesifik terhadap pemberlakuan hukum tersebut dengan menilai dari 3 (tiga) aspek penting dalam keberlakuannya sebagaimana telah dijelaskan di atas. Konsepsi hukum yang dibangun J.J Bruggink tentu memiliki konsekuensi terhadap jalannya suatu hukum berupa tidak ada ukuran untuk menilai keberhasilan dari keberlakuan hukum yang dimaksud oleh J.J Bruggink karena sifatnya hanya berlaku bagi pembuat hukum itu sendiri, sedangkan konsepsi hukum dari Jan Gijssels menunjukkan bahwa hukum memberikan pengaruh terhadap perkembangan bidang ilmu lainnya, hal ini menunjukkan bahwa pada praktiknya baik pada saat pembentukannya sampai dengan pemberlakuan atau penerapannya tidak terlepas dari kondisi atau keadaan sebagai salah satu dasar diciptakannya suatu hukum tertentu untuk mengatur hal tertentu itu sendiri.

 

[1] H. Juhaya S. Praja, Teori Hukum dan Aplikasinya Cetakan kedua, CV Pustaka Setia, Bandung, 2014, hlm, 53

[2] Hans Kelsen, Pengantar Teori Hukum Murni, Nusa Media, Bandung, 2010, hlm, 38

[3] W. Friendman,Teori dan Filsafat Hukum, susunan I. Telaah Keritis Atas Teori Hukum, PT Raja Grafindo, , Jakarta,1990, hlm, 1.

[4] Pupu Sriwulan Sumaya, Relevansi Penerapan Teori Hukum Dalam Penegakan Hukum Guna Mewujudkan Nilai Keadilan Sosial, Jurnal Hukum Responsif FH UNPAB, VOL. 6 NO. 6. NOVEMBER 2018

[5] I Dewa Gede Atmadja & I Nyoman Putu Budiartha, Teori-Teori Hukum, Setara Press, Malang, 2018, hlm. 47

[6] Ibid.

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.