Tata Cara Perizinan Produksi Industri Rumah Tangga (P-IRT)

Perizinan Produksi Industri Rumah Tangga (P-IRT) adalah nomor pangan produksi Industri Rumah Tangga Pangan (IRTP) yang menjadi bagian tidak terpisahkan dari Sertifikat Produksi Pangan Industri Rumah Tangga (SPP-IRT) dan wajib dicantumkan pada Label Pangan Produksi Industri Rumah Tangga Pangan (IRTP) sebagaimana ketentuan dalam Pasal 1 angka 14 Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 22 Tahun 2018 tentang Pedoman Pemberian Sertifikat Produksi Pangan Industri Rumah Tangga (selanjutnya disebut Peraturan BPOM 22/2018). Kemudian perizinan P-IRT memerlukan SPP-IRT dengan persyaratan sebagaimana ketentuan dalam Pasal 2 Peraturan BPOM 22/2018 yang menyatakan sebagai berikut:
- SPP-IRT diterbitkan oleh Bupati/Wali Kota c.q. Unit Pelayanan Terpadu Satu Pintu.
- SPP-IRT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada IRTP yang memenuhi persyaratan sebagai berikut:
- memiliki sertifikat Penyuluhan Keamanan Pangan;
- hasil pemeriksaan sarana produksi Pangan Produksi IRTP memenuhi syarat; dan
- Label Pangan memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan.
- Pemberian SPP-IRT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan Pedoman Pemberian SPP-IRT sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Badan ini.
- Tata Cara Pemeriksaan Sarana Produksi Pangan Industri Rumah Tangga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan tentang Tata Cara Pemeriksaan Sarana Produksi Pangan Industri Rumah Tangga.
Lampiran I huruf C Peraturan BPOM 22/2018 menjelaskan mengenai kriteria jenis pangan produksi yang diizinkan untuk memperoleh SPP-IRT yaitu:
- pangan yang diproses dengan sterilisasi komersial atau pasteurisasi;
- pangan yang diproses dengan pembekuan (frozen food) yang penyimpanannya memerlukan lemari pembeku;
- pangan olahan asal hewan yang disimpan dingin/beku;
- Pangan diet khusus dan pangan keperluan medis khusus, antara lain MP-ASI, booster ASI, formula bayi, formula lanjutan, pangan untuk penderita diabetes;
- Jenis pangan yang diizinkan memperoleh SPP-IRT merupakan hasil proses produksi IRTP di wilayah Indonesia, bukan pangan impor;
- Jenis pangan yang mengalami pengemasan kembali terhadap produk pangan yang telah memiliki SPP-IRT dalam ukuran besar (bulk).
Kemudian lebih spesifik jenis pangan yang diizinkan diproduksi untuk memperoleh SPP-IRT tercantum dalam Lampiran II Peraturan BPOM 22/2018.
Tata cara dalam pemberian SPP-IRT diatur dalam Lampiran I huruf D Peraturan BPOM 22/2018 yang dilakukan dengan cara sebagai berikut:
- Penerimaan Pengajuan Permohonan SPP-IRT oleh Bupati/Walikota c.q. Unit Pelayanan Terpadu Satu Pintu dengan kelengkapan administrasi diantaranya:
- Formulir Permohonan SPP-IRT;
- Surat keterangan atau izin usaha dari Camat/Lurah/Kepala desa;
- Rancangan label pangan;
- Sertifikat Penyuluhan Keamanan Pangan (bagi pemohon baru).
- Evaluasi terhadap Dokumen dan Kelengkapan Permohonan SPP-IRT terkait dengan Keamanan Pangan:
- Bupati/Walikota c.q. Unit Pelayanan Terpadu Satu Pintu mengirimkan berkas permohonan SPP-IRT ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota untuk dievaluasi kesesuaian isi formulir permohonan tersebut di atas dengan persyaratan yang ditetapkan dan terkait keamanan pangan;
- Jika ada kekurangan atau hal yang kurang tepat dalam isian dokumen dan kelengkapan permohonan SPP-IRT, Bupati/Walikota c.q. Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota melakukan pembinaan kepada IRTP yang mengajukan permohonan, termasuk perbaikan rancangan label pangan agar sesuai dengan persyaratan tentang label pangan.
- Penyelenggaraan Penyuluhan Keamanan Pangan yang dikoordinasikan oleh Bupati/Walikota c.q. Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota;
- Pemeriksaan Sarana Produksi Pangan Industri Rumah Tangga;
- Pemeriksaan sarana produksi pangan IRT dilakukan setelah pemilik atau penangungjawab IRTP memiliki Sertifikat penyuluhan keamanan pangan;
- Pemeriksaan sarana produksi pangan IRT dilakukan oleh tenaga Pengawas Pangan Kabupaten/Kota dengan dilengkapi surat tugas yang diterbitkan oleh Bupati/Walikota c.q. Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota;
- riteria Tenaga Pengawas Pangan Kabupaten/Kota atau DFI (District Food Inspector) adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang memiliki Sertifikat kompetensi Pengawas Pangan Kabupaten/Kota;
- Pemeriksaan sarana produksi pangan IRTP sesuai dengan Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan tentang Tata Cara Pemeriksaan Sarana Produksi Pangan Industri Rumah Tangga;
- Jika hasil pemeriksaan sarana produksi menunjukkan bahwa IRTP masuk level I – II maka diberikan SPP-IRT sebagaimana tercantum dalam Sub Lampiran 6.
- Pemberian Nomor P-IRT:
- Nomor P-IRT diberikan untuk 1 (satu) jenis pangan IRT;
- Setiap perubahan, baik penambahan maupun pengurangan Provinsi, Kabupaten/Kota, pemberian nomor disesuaikan dengan kode baru untuk Provinsi, Kabupaten, dan Kota yang diterbitkan oleh instansi yang berwenang dalam penerbitan kode Provinsi, Kabupaten dan Kota;
- Nomor P-IRT dicantumkan pada bagian utama label;
- Jika ukuran kemasan primer ≤ 10 cm2, maka informasi yang wajib dicantumkan adalah nama jenis pangan, nomor P-IRT, nama dan alamat IRTP yang memproduksi dengan ukuran huruf dan angka yang dicantumkan tidak boleh lebih kecil dari 0,75 mm. Kemudian pangan tersebut dimasukkan ke dalam kemasan sekunder yang lebih besar yang memungkinkan untuk memuat keterangan yang harus dicantumkan. Meskipun informasi yang diwajibkan tersebut (Nomor P-IRT) dicantumkan pada kemasan sekunder, kode kemasan produk merupakan kode kemasan ganda.
- Penyerahan SPP-IRT
- Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota mengirimkan rekomendasi SPP-IRT ke Unit Pelayanan Terpadu Satu Pintu;
- Bupati/Walikota c.q. Unit Pelayanan Terpadu Satu Pintu menyerahkan SPP-IRT kepada pemilik/penanggungjawab IRTP yang telah memenuhi persyaratan
SPP-IRT berlaku paling lama 5 (lima) tahun terhitung sejak diterbitkan dan dapat diperpanjang melalui permohonan SPP-IRT sebagaimana ketentuan dalam Pasal 4 ayat (1) Peraturan BPOM 22/2018. Permohonan perpanjangan SPP-IRT dapat diajukan dilakukan paling lambat 6 (enam) bulan sebelum masa berlaku SPP-IRT berakhir. Apabila masa berlaku SPP-IRT telah berakhir, Pangan Produksi IRTP dilarang untuk diedarkan sebagaimana ketentuan dalam Pasal 4 ayat (3) Peraturan BPOM 22/2018. Pasal 5 ayat (1) Peraturan BPOM 22/2018 menjelaskan bahwa SPP-IRT dapat dicabut oleh Bupati/Wali Kota c.q. Unit Pelayanan Terpadu Satu Pintu apabila memenuhi ketentuan sebagai berikut:
- Pemilik dan/atau penanggung jawab perusahaan melakukan pelanggaran terhadap peraturan di bidang pangan;
- Pangan Produksi IRTP terbukti sebagai penyebab Kejadian Luar Biasa (KLB) keracunan pangan;
- Pangan IRTP terbukti mengandung bahan berbahaya dan/atau bahan kimia obat (BKO);
- Pangan Produksi IRTP mencantumkan klaim selain peruntukannya sebagai Pangan Produksi IRTP;
- lokasi sarana produksi Pangan Produksi IRTP tidak sesuai dengan lokasi yang tercantum dalam dokumen pendaftaran pada saat mendapatkan SPP-IRT dan/atau dokumen yang didaftarkan pada saat pemberian SPP-IRT; dan/atau
- sarana dan/atau produk Pangan Olahan yang dihasilkan terbukti tidak sesuai dengan SPP-IRT yang telah diberikan.
Pangan olahan wajib memiliki SPP-IRT, dimana hal tersebut diatur dalam Pasal 43 ayat (2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan (selanjutnya disebut PP 28/2004). Akibat apabila suatu usaha pengolahan pangan tidak memiliki SPP-IRT, maka dapat dikenakan sanksi administrasi sebagaimana ketentuan dalam Pasal 47 PP 28/2014 yang menyatakan sebagai berikut:
- Dalam hal berdasarkan hasil pengujian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3) dan/atau hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 terjadi pelanggaran, Gubernur, Bupati/Walikota atau Kepala Badan, berwenang mengambil tindakan administratif.
- Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :
- peringatan secara tertulis;
- larangan mengedarkan untuk sementara waktu dan/atau perintah menarik produk pangan dari peredaran;
- pemusnahan pangan, jika terbukti membahayakan kesehatan dan jiwa manusia;
- penghentian produksi untuk sementara waktu;
- pengenaan denda paling tinggi sebesar 50.000.000,00(lima puluh juta rupiah); dan/atau
- pencabutan izin produksi, izin usaha, persetujuan pendaftaran atau sertifikat produksi pangan industri rumah tangga.
- Pengenaan tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan berdasarkan risiko yang diakibatkan oleh pelanggaran yang dilakukan.
- Pelaksanaan tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf f dilakukan oleh pejabat penerbit izin produksi, izin usaha, persetujuan pendaftaran atau sertifikat produksi pangan industry rumah tangga yang bersangkutan sesuai dengan bidang tugas kewenangan masing-masing.
Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?
Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.
Kirim Pertanyaan
hukum expert
Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.