Syarat-Syarat Untuk Permohonan Waris
Pasal 830 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUHPer) menyatakan bahwa pewarisan hanya terjadi karena kematian. Begitu pula dalam ketentuan Pasal 171 huruf b Kompilasi Hukum Islam (selanjutnya disebut KHI) yang menyatakan bahwa Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan Pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa pewarisan hanya dapat dilakukan jika pewaris telah meninggal dunia. Pewarisan dapat dilakukan melalui permohonan kepada Pengadilan Agama bagi yang beragama Islam dan bagi yang beragama non Islam dapat mengajukan permohonan ke Pengadilan Negeri. Permohonan dilakukan jika tidak ada persoalan terkait waris tersebut diantara para ahli waris, apabila terjadi sengketa diantara para ahli waris maka perlu diajukan sebuah gugatan dengan menarik salah satu pihak menjadi lawan. Hal ini telah kami bahas dalam artikel sebelumnya yang berjudul “Gugatan atau Permohonan Waris”. Sesuai dengan judul artikel, berikut akan dijelaskan mengenai syarat-syarat untuk permohonan waris baik melalui Pengadilan Agama maupun Pengadilan Negeri.
A. Syarat-Syarat Permohonan Waris ke Pengadilan Agama
Syarat-syarat administrasi yang harus dipenuhi untuk mengajukan permohonan ke Pengadilan Agama, yaitu :
- Surat Permohonan yang diajukan semua Ahli Waris (Minimal 8 Rangkap);
- Surat Kematian Pewaris (Almarhum/ah) yang dikeluarkan Kepala Desa/Kepala Kelurahan (1 lbr);
- Fotokopi Akta Nikah/Duplikat Akta Nikah Almarhum/ah (1 lembar), apabila perkawinan tidak tercatat maka harus diajukan terlebih dahulu isbat nikah di Pengadilan Agama;
- Surat Keterangan Ahli Waris dari Pemohon yang disaksikan dan dibenarkan oleh Kepala Desa/Kepala Kelurahan.;
- Fotokopi KTP dan KK Pemohon/Para Pemohon (1 lembar);
- Fotokopi Surat Kepemilikan Harta (Sertifikat Tanah/Rumah, Buku Tabungan, Akta Jual Beli, dan lain-lain (masing-masing 1 lembar));
- Fotokopi Akta Kelahiran Semua Ahli Waris (1 lembar);
- Persyaratan Nomor 2, 3, 4, 5, 6 dan 7 di Nazegelen/di materaikan dan Cap Kantor Pos;
- Membayar Panjar Biaya Perkara.[1]
Selain persyaratan administrasi, juga terdapat persyaratan bagi pemohon, yaitu :
- Semua Ahli Waris yang sudah dewasa jadi Pemohon. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 171 KHI yang dimaksud dengan ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris;
- Apabila ada yang masih di bawah umur, maka terlebih dahulu harus ditetapkan Perwalian oleh Pengadilan Agama;
- Semua Ahli Waris Wajib Hadir di persidangan (apabila salah satu dari ahli waris berhalangan hadir, maka dapat dikuasakan secara Insidentilkepada ahli waris lain yang bisa hadir, dengan catatan pada saat sidang pertama harus tetap hadir terlebih dahulu untuk dikuasakan dihadapan Panitera Pengadilan Agama).[2]
B. Syarat-Syarat Permohonan Waris ke Pengadilan Negeri
Syarat-syarat administrasi yang harus dipenuhi untuk mengajukan permohonan ke Pengadilan Negeri kurang lebih sama dengan ketentuan syarat-syarat permohonan pada Pengadilan Agama, yaitu :
- Surat Permohonan yang diajukan semua Ahli Waris;
- Surat Kematian Pewaris yang dikeluarkan Kepala Desa/Kepala Kelurahan;
- Fotokopi Akta Nikah/Duplikat Akta Nikah Pewaris;
- Surat Keterangan Ahli Waris dari Pemohon yang disaksikan dan dibenarkan oleh Kepala Desa/Kepala Kelurahan.;
- Fotokopi KTP dan KK Pemohon/Para Pemohon;
- Fotokopi Surat Kepemilikan Harta (Sertifikat Tanah/Rumah, Buku Tabungan, Akta Jual Beli, dan lain-lain);
- Fotokopi Akta Kelahiran Semua Ahli Waris;
- Persyaratan Nomor 2, 3, 4, 5, 6 dan 7 di Nazegelen/di materaikan dan Cap Kantor Pos;
- Membayar Panjar Biaya Perkara
Syarat bagi pemohon untuk mengajukan permohonan waris ialah ia yang berhak menjadi ahli waris. Pasal 832 KUHPer menyebutkan bahwa yang berhak menjadi ahli waris ialah :
“Menurut undang-undang, yang berhak menjadi ahli waris ialah keluarga sedarah, baik yang sah menurut undang-undang maupun yang di luar perkawinan, dan suami atau isteri yang hidup terlama, menurut peraturan-peraturan berikut ini;
Bila keluarga sedarah dan suami atau isteri yang hidup terlama tidak ada, maka semua harta peninggalan menjadi milik negara, yang wajib melunasi utang-utang orang yang meninggal tersebut, sejauh harga harta peninggalan mencukupi untuk itu.”
Hasil permohonan waris yang diajukan oleh pemohon atau ahli waris yaitu berupa penetapan dari Pengadilan baik Pengadilan Agama maupun Pengadilan Negeri. Permohonan tidak dapat diajukan dua kali, apabila setelah diterbitkannya penetapan terdapat pihak yang merasa dirugikan atas penetapan tersebut, upaya hukum yang dapat dilakukan yaitu permohonan kasasi atau mengajukan gugatan untuk pembatalan penetapan tersebut. Pada dasarnya upaya hukum kasasi dapat dilakukan apabila telah dilakukan upaya hukum banding, namun karena terhadap pembatalan penetapan pengadilan tidak dapat dilakukan upaya hukum banding, maka upaya hukum yang dapat dilakukan yaitu upaya hukum kasasi sebagaimana ketentuan dalam Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Pembatalan penetapan pengadilan tidak dapat dilakukan upaya hukum banding, karena penetapan atas permohonan merupakan putusan tingkat pertama dan terkahir.[3]
[1] http://www.pa-banjarmasin.go.id/layanan-hukum/syarat-syarat-berperkara/penetapan-ahli-waris.html
[2] http://pa-bandung.go.id/images/File_Upload/POSBAKUM/PERSYARATAN_PERMOHONAN_PENETAPAN_AHLI_WARIS.pdf.
[3] Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Jakarta : PT. Sinar Grafika, hal. 43
Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?
Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.
Kirim Pertanyaanhukum expert
Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.