Syarat Sah Perjanjian, Penjelasan dan Akibat Pelanggarannya

Syarat sah perjanjian merupakan suatu hal yang penting untuk diketahui bagi setiap orang, sebab dalam menjalani kehidupannya, setiap orang pasti tidak akan terlepas dari perjanjian karena sifat dasar manusia sebagai makhluk sosial. Agar perjanjian tersebut tidak cacat dan menjadi tidak berlaku baik karena batal maupun dibatalkan, maka perjanjian harus memenuhi syarat-syarat sah yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata yaitu:
- Kesepakatan;
- Kecakapan;
- Obyek Tertentu;
- Sebab yang tidak dilarang.
Keempat syarat tersebut harus dipenuhi secara kumulatif. Adapun syarat 1 dan 2 disebut juga syarat subyektif karena berkaitan dengan subyek hukumnya, sedangkan syarat 3 dan 4 adalah syarat obyektif karena berkaitan dengan obyek perjanjiannya.
Syarat subyektif pertama, yaitu kesepakatan, memang tidak dijelaskan lebih lanjut dalam pasal-pasal di Buku III KUH Perdata. Pasal 1321-1328 KUH Perdata hanya menjelaskan bahwa dalam membuat perjanjian salah satu pihak atau kedua belah pihak tidak boleh dalam keadaan khilaf, di bawah paksaan, dan perjanjian mengandung unsur penipuan. Di samping ketiga hal tersebut, perjanjian juga dianggap tidak berlaku apabila terdapat penyalahgunaan keadaan. Namun demikian, beberapa ahli mengartikan kesekapatan sebagai berikut:
Herlien Budiono: “Kesepakatan bukan hanya sepakat untuk mengikatkan diri, melainkan juga sepakat untuk mendapatkan prestasi. Dalam kontrak timbal balik, masing-masing pihak tidak saja mempunyai kewajiban, tetapi juga berhak atas prestasi yang telah diperjanjikan.”[1]
Prof. Dr. Ahmadi Miru, S.H., M.S., dan Sakka Pati, S.H., M.H.: “Kesepakatan yang dimaksudkan dalam pasal ini adalah persesuaian kehendak antara para pihak, yaitu bertemunya antara penawaran dan penerimaan. Kesepakatan dapat dicapai dengan berbagai cara, baik dengan tertulis maupun secara tidak tertulis”[2]
Munir Fuady dalam bukunya bahkan juga menjelaskan tentang teori-teori kesepakatan kehendak yang terdiri atas:[3]
- Teori penawaran dan penerimaan
Pengertian dari teori tersebut adalah bahwa suatu kontrak/perjanjian baru terjadi manakala suatu penawaran telah dinyatakan diterima oleh pihak lainnya. Teori ini juga diterapkan dalam sistem hukum Common Law, bahkan William T Major menyatakan bahwa penerimaan harus tidak bersyarat, dan tawaran balik tidak dapat diidentikkan sebagai penerimaan melainkan penolakan.[4]
- Teori kehendak
Pengertian dari teori kehendak, adalah bahwa suatu perjanjian dianggap telah disepakati manakala terdapat kehendak dari para pihak, dan bukan pernyataan. Teori tersebut berarti, meski telah terdapat pernyataan bahwa A menyetujui perjanjian, namun jika ia tidak berkehendak, maka tidak terjadi kesepakatan.
- Teori pernyataan
Berbalik dari teori kehendak, teori pernyataan menganggap dengan adanya pernyataan saja tanpa adanya kehendak, para pihak sudah dianggap telah sepakat atas suatu perjanjian.
- Teori pengiriman
Pengertian dari teori pengiriman adalah, suatu kesepakatan dianggap telah timbul sejak adanya pengiriman surat oleh pihak yang kepadanya telah ditawarkan suatu kontrak. Teori ini timbul, sebab si pengirim jawaban telah kehilangan kekuasaan atas surat yang dikirimnya tersebut sejak surat dikirimkan.
- Teori kotak pos
Tidak jauh berbeda dari teori pengiriman, teori kotak pos mengartikan bahwa kesepakatan telah terjadi sejak jawaban yang berisikan penerimaan tersebut telah dimasukkan dalam kotak pos.
Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa kesepakatan adalah adanya penerimaan dari salah satu pihak atas prestasi-prestasi yang ditawarkan oleh pihak lain sesuai dengan kehendak para pihak dan terlepas dari keadaan terpaksa, tidak sedang dalam keadaan khilaf, tidak mengandung penipuan, serta salah satu pihak tidak menyalahgunakan keadaan.
Unsur selanjutnya adalah unsur kecakapan, yang telah dengan jelas diatur dalam Pasal 1330 kUH Perdata yang menyatakan:
“Tak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah:
- Orang-orang yang belum dewasa;
- Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan;
- Orang-orang perempuan, dalam hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.
Berkaitan dengan orang-orang perempuan tersebut di atas, pada dasarnya telah dihapus oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, dimana perempuan yang telah menikah tetap dapat melakukan perbuatan hukum yang salah satunya adalah membuat perjanjian.[5]
Tidak terpenuhinya kedua unsur subyektif di atas, mengakibatkan perjanjian dapat dibatalkan. Arti perjanjian dapat dibatalkan, berarti pembatalan baru terjadi manakala Para Pihak telah sepakat untuk membatalkannya atau dibatalkan oleh Putusan Pengadilan.
Unsur obyektif pertama adalah obyek tertentu. Pasal 1332 KUH Perdata memberikan pengertian unsur tersebut sebagai:
“Hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi pokok perjanjian”
Barang-barang dimaksud bukan hanya berupa barang berwujud, sebab sebagaimana diketahui, barang tidak berwujud juga diakui sebagai benda/barang dalam hukum perdata. Lalu bagaimana dengan perjanjian kredit, tentunya perjanjian kredit adalah suatu jasa untuk meminjamkan uang, yang mana obyek dalam perjanjian tersebut adalah uang itu sendiri.
Pasal 1333 KUH Perdata juga menyatakan:
“Suatu perjanjian haru smempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang yang tidak tentu, asal jumlah itu terkemudian dapat ditentukan atau dihitung.”
Barang dimaksud bukan hanya barang yang telah ada, melainkan juga dapat berupa barang yang akan ada sebagaimana diatur dalam Pasal 1334 KUH Perdata. Contoh barang yang akan ada diantaranya ketika X dan Y memperjanjikan bahwa X akan membeli seluruh buah yang dihasilkan dari pohon milik Y, dimana pohon tersebut belum berbuah saat perjanjian disepakati, perjanjian tersebut cukup sering terjadi di beberapa wilayah di Indonesia.
Unsur obyektif kedua sekaligus unsur terakhir adalah sebab yang tidak dilarang. Dalam beberapa literatur, terdapat beberapa ahli yang menyebutnya sebagai “sebab yang halal”. Pengertian dari unsur tersebut terletak dalam Pasal 1337 KUH Perdata yang menyatakan:
“Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum”
Sebagai contoh adalah perjanjian jual beli narkoba yang dilakukan oleh pihak yang tidak memiliki ijin atau tidak memiliki wewenang untuk melakukannya, yang tentunya telah dilarang oleh peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Tidak dipenuhinya unsur obyektif menjadikan perjanjian batal demi hukum. Pengertian perjanjian batal demi hukum, adalah perjanjian tersebut dianggap tidak pernah ada.
Penulis: R. Putri J.
[1] Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, 2009, Citra Aditya Bakti, Bandung, halaman 73-74.
[2] Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Hukum Perikatan Penjelasan Makna Pasal 1233 Sampai 1456 KUH Perdata, 2018 RajaGrafindo Persada, Depok, halaman 68.
[3] Munir Fuady, Hukum Kontrak Buku Kesatu, 2015, Citra Aditya Bakti, Bandung, halaman 36-37
[4] William T. Major, Hukum Kontrak, 2018, Nuansa Cendekia, Bandung, halaman 25.
[5] Danang Wirahutama dkk, Kecakapan Hukum Dan Legalitas Tanda Tangan Seorang Terpidana Dalam Menandatangani Akta Otentik, Jilid 47 No. 2, Masalah – Masalah Hukum, April 2018, Halaman 118-127
Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?
Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.
Kirim PertanyaanJenis-Jenis Wanprestasi dan Akibat Hukumnya
Beban Biaya Pemindahan Tiang Listrik Berdasar Hukum Perlindungan Konsumen

hukum expert
Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.