Sertifikat Hak Atas Tanah Tidak Dikembalikan Meski Hutang Sudah Lunas, dan 9 Tata Cara Roya

Sertifikat Hak Atas Tanah Tidak Dikembalikan

Seorang warga Bekasi yang mengalami peristiwa berupa sertifikat hak atas tanah tidak dikembalikan meski hutang sudah lunas, akhirnya melakukan tindakan. Melalui berita Kompas.com yang bersangkutan menyampaikan bahwa ada banyak kasus seperti yang dialaminya, namun tidak berlanjut karena korban tak punya uang, padahal akibat perbuatan bank tersebut dirinya mengalami kerugian materiil maupun imateriil.[1]

 

Sertifikat Hak Atas Tanah

Berdasarkan UU 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UU Agraria) terdapat beberapa macam hak atas tanah yang bersifat primer yaitu: Hak milik, Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Pakai (HP). Dalam hak atas tanah tersebut akan memiliki kepastian hukum yang kuat dengan mendaftarkan terlebih dahulu hak-hak tersebut di kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan agar hak-hak tersebut terjamin memiliki akta otentik. Disebabkan oleh perkembangan perekonomian yang pesat dan banyaknya tanah yang tersangkut dalam kegiatan ekonomi, misalnya jual-beli, sewa-menyewa, dan lainnya, maka dianggap perlu adanya jaminan kepastian dan kepastian hak dalam bidang ke agraria.[2]

Kakek mengatasnamakan bidang tanah Pic by Google

Oleh karena itu pasal 19 UUPA diperintahkan kepada pemerintah untuk mengadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia. Yang dimaksud dengan kewajiban mendaftarkan menurut Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) adalah pertama, Penguluran, perpetaan dan pembukuan tanah; Kedua, Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut dan Pemberian surat-surat tanah bukti hak yang berlaku sebagai alasan pembuktian yang kuat.

Pendaftaran tanah bertujuan untuk menjamin kepastian hukum hak atas tanah. Penegasan akan hal tersebut dapat dilihat pada Pasal 19 ayat (1) UU Agraria jo. Pasal 3 huruf (a) PP No. 24 Tahun 1997 yang pada intinya tujuan dari pendaftaran tanah adalah untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah. Dalam rangka mencapai tujuan pendaftaran tanah tersebut di atas, maka akhir dari proses pendaftaran tanah menghasilkan sertipikat hak atas tanah sebagai produk pendaftaran tanah sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA jo. Pasal 4 ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997.

 

Dasar Hak Tanggungan dan Prosedurnya

Pada dasarnya Hak Tanggungan hanya memberikan hak kepada penerima hak tanggungan untuk menjadikan benda tersebut sebagai jaminan hutang hingga hutang terlunasi. Apabila hutang tidak terlunasi, maka penerima hak tanggungan memiliki hak untuk melakukan penjualan/eksekusi atas hak tanggungan tersebut dengan menjualnya melalui lelang atau dengan dibawah tangan jika memang pemberi hak tanggungan menyepakatinya. Perjanjian hak tanggungan yang memuat hak kepada penerima hak tanggungan untuk memiliki benda jaminan apabila pemberi hak tanggungan tidak melunasi hutang, adalah perjanjian yang batal demi hukum[3].

Dasar hukum yang mengatur mengenai hak tanggungan yaitu UU Agraria dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan (UU Hak Tanggungan). Hak tanggungan memiliki sifat tidak dapat dibagi-bagi, kecuali jika diperjanjikan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT), seperti ditetapkan dalam Pasal 2 UU Hak Tanggungan. Dengan sifatnya yang tidak dapat dibagi-bagi, maka Hak Tanggungan akan membebani secara utuh obyek Hak Tanggungan. Obyek yang dapat dibebankan hak tanggungan yaitu: hak milik, hak guna usaha, dan hak guna bangunan.

Hal di atas sesuai dengan yang dijelaskan dalam Pasal 4 UU Hak Tanggungan yang menyatakan: “Hak Tanggungan dapat juga dibebankan pada hak atas tanah berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya yang telah ada atau akan ada yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut, dan yang merupakan milik pemegang hak atas tanah yang pembebanannya dengan tegas dinyatakan di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan”.

Adapun persyaratan yang harus disiapkan untuk mengajukan pendaftaran Hak Tanggungan adalah:

  1. Sertifikat objek (asli);
  2. APHT (asli);
  3. Identitas kreditur (KTP);
  4. Identitas KTP penerima kuasa;
  5. Surat pengantar pemasangan hak tanggungan dari PPAT;
  6. KTP & KK debitur (bagi debitur perorangan);
  7. Akta pendirian perseroan dan perubahannya (bagi debitur badan hukum);
  8. SK Pengesahan badan hukum perseroan;

 

Pengembalian Sertifikat Hak Atas Tanah Setelah Hutang Lunas dan Syaratnya

Sebelum mengajukan pengembalian sertifikat, perlu diketahui bahwa berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 pencatatan hapusnya hak tanggungan dilakukan pada sertifikat maupun buku tanah hak atas tanah yang dibebani. Hal ini ditegaskan pula dalam ketentuan pasal 22 ayat (1) UU Hak Tanggungan bahwa dengan hapusnya hak tanggungan, maka Kepala Kantor Pertanahan mencoret catatan hak tanggungan tersebut pada buku tanah hak atas tanah dan sertifikatnya.

Adapun tata cara penghapusan hak tanggungan atau roya dapat dilihat pada Pasal 22 UUHT sebagai berikut:

  • “Setelah Hak Tanggungan hapus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, Kantor Pertanahan mencoret catatan Hak Tanggungan tersebut pada buku-tanah hak atas tanah dan sertipikatnya.
  • Dengan hapusnya Hak Tanggungan, sertipikat Hak Tanggungan yang bersangkutan ditarik dan bersama-sama buku-tanah Hak Tanggungan dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Kantor Pertanahan.
  • Apabila sertipikat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) karena sesuatu sebab tidak dikembalikan kepada Kantor Pertanahan, hal tersebut dicatat pada buku-tanah Hak Tanggungan.
  • Permohonan pencoretan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh pihak yang berkepentingan dengan melampirkan sertipikat Hak Tanggungan yang telah diberi catatan oleh kreditor bahwa Hak Tanggungan hapus karena piutang yang dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan itu sudah lunas, atau pernyataan tertulis dari kreditor bahwa Hak Tanggungan telah hapus karena piutang yang dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan itu telah lunas atau karena kreditor melepaskan Hak Tanggungan yang bersangkutan.
  • Apabila kreditor tidak bersedia memberikan pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), pihak yang berkepentingan dapat mengajukan permohonan perintah pencoretan tersebut kepada Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat Hak Tanggungan yang bersangkutan didaftar.
  • Apabila permohonan perintah pencoretan timbul dari sengketa yang sedang diperiksa oleh Pengadilan Negeri lain, permohonan tersebut harus diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang memeriksa perkara yang bersangkutan.
  • Permohonan pencoretan catatan Hak Tanggungan berdasarkan perintah Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) diajukan kepada Kepala Kantor Pertanahan dengan melampirkan salinan penetapan atau putusan Pengadilan Negeri yang bersangkutan.
  • Kantor Pertanahan melakukan pencoretan catatan Hak Tanggungan menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak diterimanya permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (7).
  • Apabila pelunasan utang dilakukan dengan cara angsuran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), hapusnya Hak Tanggungan pada bagian obyek Hak Tanggungan yang bersangkutan dicatat pada buku-tanah dan sertipikat Hak Tanggungan serta pada buku-tanah dan sertipikat hak atas tanah yang telah bebas dari Hak Tanggungan yang semula membebaninya.”

Pencoretan catatan hak tanggungan dilakukan dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak diterimanya permohonan pencoretan berdasarkan Pasal 22 ayat (8) UU Hak Tanggungan. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka permohonan roya dapat diajukan baik oleh kreditur maupun debitur kepada Kantor Pertanahan tempat terbitnya sertifikat hak atas tanah tersebut, dengan catatan terdapat keterangan yang valid bahwa hutang dimaksud sudah lunas seluruhnya.

Dengan hapusnya hak tanggungan, maka sertifikat hak tanggungan yang bersangkutan ditarik dan bersama-sama buku tanah hak tanggungan dinyatakan tidak berlaku lagi yang kemudian sertifikat asli hak atas tanah dapat diberikan kembali kepada pemiliknya. Artinya, baik debitur yang memiliki kepentingan baik terhadap hutangnya yang telah lunas dan sertifikat hak atas tanah miliknya maupun bank yang bersangkutan yang telah memperoleh keuntungan serta tidak lagi memerlukan jaminan, seharusnya saling mengawasi dan bekerjasama terkait roya dan pengembalian sertifikat hak atas tanah tersebut, sehingga tidak ada lagi peristiwa sertifikat hak atas tanah tidak dikembalikan meski hutang telah lunas yang akan merugikan pihak-pihak yang ada.

 

Penulis: Hasna M. Asshofri, S.H.

Editor: Robi Putri J., S.H., M.H., CTL., CLA., & Mirna R., S.H., M.H., CCD.

 

[1] https://www.instagram.com/p/C345Tx_S8I8/?igsh=MXQwOHRzdjU5eGR2cg%3D%3D

[2] Ramadhani, Rahmat. Pendaftaran Tanah Sebagai Langkah Untuk Mendapatkan Kepastian Hukum Terhadap Hak Atas Tanah. Sosek: Jurnal Sosial dan Ekonomi. Vol. 2 (1). 2021. 32

[3] Pasal 12 UU Nomor 4 Tahun 1996

 

Hak Tanggungan Atas Piutang Perseorangan

 

Sertifikat Hak Atas Tanah Tidak Dikembalikan| Sertifikat Hak Atas Tanah Tidak Dikembalikan| Sertifikat Hak Atas Tanah Tidak Dikembalikan| Sertifikat Hak Atas Tanah Tidak Dikembalikan| Sertifikat Hak Atas Tanah Tidak Dikembalikan| Sertifikat Hak Atas Tanah Tidak Dikembalikan| Sertifikat Hak Atas Tanah Tidak Dikembalikan| Sertifikat Hak Atas Tanah Tidak Dikembalikan| Sertifikat Hak Atas Tanah Tidak Dikembalikan| Sertifikat Hak Atas Tanah Tidak Dikembalikan| Sertifikat Hak Atas Tanah Tidak Dikembalikan| Sertifikat Hak Atas Tanah Tidak Dikembalikan|

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.