Sensor terhadap isi buku dan Media Cetak Lainnya
Ketentuan Hukum Terkait Sensor Terhadap isi Buku
Sebelumnya kita telah membahas terkait sensor terhadap film dan iklan film. Kali ini kita akan membahas terkait sensor terhadap media cetak baik buku, koran dan lain-lain.
Sebagian dari kita tentunya pernah mendengar adanya larangan buku-buku yang beredar pada masa Orde Lama maupun Orde Baru. Beberapa buku yang kita nikmati saat ini pernah dilarang peredarannya. Lebih dari itu, bahkan beberapa percetakan atau perusahaan koran harus dibredel karena muatan materinya yang menurut pemerintah dapat mengganggu ketertiban umum. Namun demikian, bagaimana sensor terhadap buku saat ini berlaku? Mengingat tidak jarang terdapat buku-buku yang memuat materi yang tidak dapat dibaca oleh umur-umur tertentu.
Apabila ketentuan sensor terhadap film dilakukan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2014 Tentang Lembaga Sensor Film, sensor terhadap isi buku hingga saat ini tidak memiliki dasar hukum yang spesifik. Adapun sebelumnya terdapat Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963 Tentang Pengamanan Terhadap Barang-Barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Kepentingan Umum (selanjutnya disebut “UU Sensor Buku”), namun telah dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut “UUD 1945”) oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6-13-20/PUU-VIII/2010.
Putusan Mahkamah Konstitusi yang Membatalkan UU Sensor Buku
Sebagaimana disampaikan di atas, bahwa Mahkamah Konstitusi telah melakukan pembatalan terhadap seluruh isi pasal UU Sensor Buku dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6-13-20/PUU-VIII/2010. Tidak hanya UU Sensor Buku saja yang dibatalkan, melainkan pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 27 ayat (3) huruf c Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 Tnetnag Kejaksaan Republik Indonesia (selanjutnya disebut “UU 5/1991”). Pembatalan tersebut dikarenakan Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa seluruh isi pasal bertentangan dengan UUD 1045
Putusan tersebut mencakup terhadap 3 perkara yang diajukan dan terdaftar dalam perkara yang berbeda nomor register namun memiliki intisari yang sama. Ketiga permohonan tersebut diajukan masing-masing oleh:
- Penulis Buku yang bernama Darmawan yang teregister dalam Perkara Register Nomor 6/PUU-VIII/2010;
- Muhammad Chozin Amirullah, S.Pi., MAIA dkk yang tergabung dalam Organisasi HMI, dimana perkaranya teregister dalam Nomor 13/PUU-VIII/2010; dan
- Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI) yang permohonannya teregister dalam Nomor 20/PUU-VIII/2010.
Mencermati isi-isi pasal dalam UU Sensor Buku tersebut, terdapat kewenangan oleh Jaksa Agung untuk melakukan pengawasan dan pelarangan peredaran buku. Hal tersebutlah yang kemudian dinyatakan oleh Para Pemohon sebagai pasal-pasal yang bertentangan dengan UUD 1945 karena dapat mengancam kebebasan berpendapat yang sudah dijamin dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan:
“Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”
Selanjutnya, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa pelarangan oleh Kejaksaan Agung untuk beredarnya suatu barang adalah tidak tepat karena tindakan tersebut merupakan bentuk extra judicial execution. Hal tersebut melanggar asas due process of law yang mutlak berlaku di negara hukum. Oleh karenanya, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa apabila terdapat pelarangan terhadap suatu produk atau barang karena barang tersebut melanggar hukum, maka pelarangan dimaksud hanya dapat dilakukan setelah adanya putusan pengadilan yang menyatakan barang tersebut melanggar hukum.
Mahkamah Konstitusi pun berpendapat bahwa jika sewaktu-waktu terdapat buku yang isinya menyalahi ketentuan peraturan perundang-undangan, maka Penyidik dapat melakukan penyitaan terhadap buku/benda cetakan tersebut. Untuk selanjutnya, akan diproses melalui peradilan yang berlaku dan akhir dari buku tersebut akan diputuskan oleh Pengadilan.
Keberlakuan Sensor Terhadap Isi Buku
Mencermati putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, maka pelarangan beredar dari suatu buku hanya dilakukan setelah buku itu diedarkan. Berbeda dengan sensor film yang melakukan pencegahan sebelum film tersebut beredar, dan cenderung memberikan wewenang kepada Lembaga Sensor Film untuk memerintahkan perbaikan terhadap film yang tidak memenuhi standar. Artinya sensor terhadap buku hanya dilakuakn secara represif.
Sampai saat ini, sensor terhadap isi buku lebih banyak dilakukan terhadap buku Pelajaran. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomro 8 Tahun 2016 Tentang Buku yang Digunakan Oleh Satuan pendidikan (selanjutnya disebut “Permendikbud 8/2016”).
Dalam Permendikbud 8/2016, terdapat pihak yang bernama “Reviewer”. Posisi tersebut memiliki kewenangan untuk meemriksa isi buku apakah sesuai dari aspek keterbacaan atau aspek penyajian sesuai dengan jenjang pendidikan.
Meski demikian, tidak jarang terdapat buku cetak yang tidak sesuai dengan kesusilaan atau kepatutan yang jelas-jelas melanggar hukum. Di sisi lain, sensor terhadap buku juga memang berpotensi mengurangi atau menghalangi kebebasan berpendapat atau berkarya.
Penulis: Robi Putri J., S.H., M.H., CTL., CLA.
Baca juga:
Sensor Film di Indonesia dan ketentuannya
Lembaga Sensor Film dan 8 Tugasnya
Perizinan Perfilman: 2 Kelompok Perizinan yang Harus Disimak
Tonton juga:
Audio Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi
Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?
Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.
Kirim PertanyaanPerbedaan De Facto dan De Jure, Ada 3
Sempat Diminta Kembalikan Gaji 2 Tahun Karena Lalai Pensiun;...
hukum expert
Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.