Sensor Film di Indonesia dan ketentuannya

Sensor Film di Indonesia

Perfilman di Indonesia kini banyak berkembang. Selain semakin banyak pembuatan film oleh para sineas-sineas Indonesia, film-film dari luar negeri pun banyak yang ditayangkan di Indonesia. Namun demikian, perbedaan budaya antara Indonesia dengan luar negeri tersebut tentunya membuat harus adanya beberapa hal yang disesuaikan, diantaranya melalui sensor.

Lalu apa yang dimaksud dengan film dalam hal ini? Pasal 1 butir 5 Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2014 Tentang Lembaga Sensor Film (selanjutnya disebut “PP 18/2014”) memberikan pengertian sebagai berikut:

Pertunjukan Film adalah pemutaran dan/atau penayangan film yang diperuntukkan kepada umum melalui berbagai media.”

Dengan demikian, film dalam hal ini tidak hanya film yang ditayangkan melalui bioskop, melainkan juga media-media lain baik itu tv kabel, maupun layanan aliran video seperti Netflix, VIU, dan lain-lain.

Sensor film tidak jarang menjadi bahan perbincangan, sebab tidak jarang pula sensor-sensor yang dilakukan terhadap film-film tidak terkecuali film kartun pun dirasa berlebihan oleh masyarakat. Terdapat beberapa masyarakat yang berpendapat dalam film-film tertentu tidak seharusnya dilakukan sensor karena tidak berkaitan dengan asusila. Atas dasar hal tersebut, perlu diketahui apa dan bagaimana sensor harus dilakukan.

 

Ketentuan Sensor Film di Indonesia

Lembaga Sensor Film Indonesia Sebagai Lembaga yang Berwenang

Lembaga Sensor Film Indonesia diatur dalam PP 18/2014, merupakan lembaga yang memiliki kewenangan untuk melakukan sensor terhadap film. Adapun yang dimaksud dengan sensor film dalam Pasal 1 butir 2 PP 18/2014 adalah:

Sensor Film adalah penelitian, penilaian, dan penentuan kelayakan film dan iklan film untuk dipertunjukkan kepada khalayak umum.

Kewenangan Lembaga Sensor Film tersebut kemudian diperinci dalam Pasal 8 PP 18/2014 yang menyatakan:

a. penentuan penggolongan usia penonton;

  1. pengembalian film dan iklan film yang tidak sesuai dengan pedoman dan kriteria penyensoran untuk diperbaiki oleh pemillik film dan iklan film;
  2. penyensoran ulang (re-censor) film dan iklan film yang sudah diperbaiki oleh pemilik film dan iklan film sesuai pedoman dan kriteria penyensoran;
  3. pemberian surat tanda lulus sensor yang dibubuhkan untuk setiap kopi-jadi film dan iklan film yang dinyatakan telah lulus sensor;
  4. pembatalan surat tanda lulus sensor;
  5. pengusulan sanksi administratif kepada Pemerintah terhadap pelaku kegiatan perfilman atau pelaku usaha perfilman yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Perfilman; dan
  6. pelaporan kegiatan sensor film dan iklan film baik yang lulus dan yang tidak lulus sensor kepada Presiden melalui Menteri secara periodic

Pasal 7 PP 18/2014 juga memberikan tugas kepada Lembaga Sensor Film dalam menjalankan kewenangannya tersebut, yaitu:

a. perlindungan terhadap masyarakat dari dampak negative yang timbul dari peredaran dan pertunjukan film dan iklan film yang tidak sesuai dengan dasar, arah, dan tujuan perfilman Indonesia;

  1. penyusunan pedoman penerbitan dan pembatalan surat tanda lulus sensor;
  2. sosialisasi secara intensif pedoman dan kriteria sensor kepada pemilik film dan iklan film agar dapat menghasilkan film dan iklan film yang bermutu;
  3. pemberian kemudahan masyarakat dalam memilih dan menikmati pertunjukan film dan iklan film yang bermutu serta memahami pengaruh film dan iklan film;
  4. pembantuan pemilik film dan iklan film dalam memberi informasi yang benar dan lengkap kepada masyarakat agar dapat memilih dan menikmati film yang bermutu; dan
  5. pemantauan apresiasi masyarakat terhadap film dan iklan film yang diedarkan, dipertunjukkan dan menganalisis hasil pemantauan tersebut untuk dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan tugas penyensoran berikutnya dan/atau disampaikan kepada Menteri sebagai bahan pengambilan kebijakan kearah pengembangan perfilman di Indonesia.

 

Prosedur Penyensoran Film

Bagi film dan Iklan Film yang akan ditayangkan, wajib dan harus melewati proses sensor. Proses tersebut diawali dengan pendaftaran film dan iklan film oleh pemilik kepada Lembaga Sensor Film. Selanjutnya Lembaga Sensor Film akan meneliti.

Pemeriksaan akan dilakukan oleh Lembaga Sensor Film dan Tenaga Sensor. Apabila ternyata terdapat perbedaan pendapat, maka keduanya harus memutuskan dalam suatu sidang pleno.

Hal-hal yang harus disensor dalam suatu film atau Iklan Film, berdasarkan Pasal 29 ayat (2) jo Pasal 30 PP 18/2014 terdiri atas:

  1. Kekerasan yang meliputi meliputi adegan visual, dialog, dan/atau monolog yang dapat mendorong penonton bersimpati pada pelaku yang melakukan kekerasan sadis terhadap manusia dan hewan;
  2. Perjudian yang meliputi degan pelaksanaan berjudi berulang-ulang dan teknik berjudi secara berlebihan;
  3. Narkotika yang meliputi adegan Teknik penggunaan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya secara vulgar dan mudah ditiru;
  4. Pornografi yang meliputi degan visual, dialog, dan/atau monolog yang menampilkan nafsu seks secara vulgar dan berlebihan;
  5. Suku, ras, kelompok, dan/atau golongan yang meliputi degan visual, dialog, dan/atau monolog yang dapat mengadu domba antar komunitas politik atau komunitas sosial, dan dapat menampilkan kesan mendeskreditkan dan/atau merendahkan suku, ras, kelompok dan/atau golongan
  6. Agama yang meliputi adegan visual, dialog, dan/atau monolog yang dapat merusak kerukunan hidup beragama, yang memperolok-olok dan/atau meremehkan kesucian agama atau simbol agama;
  7. Hukum yang meliputi adegan visual, dialog, dan/atau monolog yang dapat mendorong penonton melakukan tindakan melawan hukum dan/atau anarkis terhadap Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Bhineka Tunggal Ika, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan/atau lambang negara;
  8. Harkat dan martabat manusia yang meliputi adegan visual, dialog dan/atau monolog yang melanggar hak asasi manusia; dan
  9. Usia penonton film yang meliputi adegan visual dan dialog, dan/atau monolog yang layak atau tidak layak dipertontonkan.

Apabila melihat ketentuan dari huruf a dan e sampai dengan g di atas, maka telah jelas adegan-adegan yang harus disensor. Namun demikian, jika melihat pada huruf b sampai dengan d, terdapat kata “berlebihan” yang mana pengartiannya dapat sangat subyektif. Hal tersebut tentunya dapat menjadikan tidak jelasnya peraturan dan pelaksanaan sensor. Di samping itu, tentunya sensor film di Indonesia tidak boleh menjadi penghalang bagi kreativitas para sineas.

Lebih lanjut, apabila dari hasil penelitian dinyatakan lulus, maka akan diberikan label lulus sensor, namun jika tidak lulus maka akan dikembalikan kepada pemilik, dan selanjutnya pemilik dapat melakukan perbaikan untuk kemudian didaftarkan kembali kepada LSF.

 

Penulis: Robi Putri J., S.H., M.H., CTL., CLA.

 

Baca juga:

Lembaga Sensor Film dan 8 Tugasnya

Kontroversi Film Kiblat: Pelaku Perfilman yang Menggunakan Unsur Agama dan Ancaman Hukumannya

Budi Said Jadi Tersangka; Crazy Rich Surabaya Diduga Merugikan Negara 1,2 T Setelah Menang 1 Ton Emas Di Perdata

Jaksa Dalam Eksekusi Putusan Pidana

 

Tonton juga:

Audio Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi

sensor film di Indonesia| sensor film di Indonesia| sensor film di Indonesia| sensor film di Indonesia| sensor film di Indonesia| sensor film di Indonesia| sensor film di Indonesia| sensor film di Indonesia| sensor film di Indonesia| sensor film di Indonesia| sensor film di Indonesia| sensor film di Indonesia|

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.