Ricuh Di Pulau Rempang, Untuk Siapa?

Ricuh di Pulau Rempang, Kepulauan Riau menjadi sorotan media dalam beberapa hari terakhir lantaran bentrokan antara warga dengan aparat kepolisian yang cukup masif. Bentrokan itu dipicu oleh rencana pembebasan lahan pemukiman warga untuk dijadikan Rempang Eco City.[1] Pembebasan lahan di Pulau Rempang tersebut berawal dari pemberian hak guna usaha dari pemerintah kepada salah satu perusahaan di tahun 2004. Masalah penolakan pembebasan lahan ini timbul pada tahun 2022, saat investor atau perusahaan sudah masuk ke Pulau Rempang yang ternyata tanahnya sudah ditempati.[2] Selain itu, di Pulau Rempang sendiri terdapat masyarakat adat yang telah bermukim di Pulau Rempang selama 189 tahun.[3]

 

Selain karena adanya hak guna usaha yang telah diberikan oleh pemerintah kepada perusahaan, diketahui pula bahwa alasan pembebasan lahan tersebut dikarenakan Pulau Rempang merupakan salah satu Program Strategis Nasional (PSN). Proyek Strategis Nasional (PSN) diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2020 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016 Tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional (Perpres 109/2020). PSN adalah proyek dan/atau program yang dilaksanakan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau badan usaha yang memiliki sifat strategis untuk peningkatan pertumbuhan dan pemerataan pembangunan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pembangunan daerah.

 

Pemerintah dengan Badan Pengusahaan (BP) Batam memprioritaskan relokasi 4 (empat) perkampungan masyarakat adat di Rempang, Kepulauan Riau.[4] Saat ini belum ada ketentuan khusus yang mengatur terkait kategori masyarakat adat dalam perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Ketidakjelasan tersebut karena kategori masyarakat adat adalah suatu kelompok masyarakat yang telah mendiami atau menempati suatu wilayah adat secara turun temurun sebagai masyarakat adat, yang mana pengertian tersebut dapat berpotensi menimbulkan ketidakpastian. Akan tetapi terdapat ketentuan penjelasan Pasal 67 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan dan Perkebunan (UU Kehutanan) yang mengatur terkait pengakuan masyarakat hukum adat sebagai berikut:

  • Masyarakat hukum adat diakui keberadaannya, jika menurut kenyataannya memenuhi unsur antara lain:
  1. masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechsgemeenschap);
  2. ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya;
  3. ada wilayah hukum adat yang jelas;
  4. ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat, yang masih ditaat; dan
  5. masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.

 

Sementara dalam perundang-undangan tentang agraria atau pertanahan, tanah adat diistilahkan sebagai tanah hak ulayat. Adapun pengertian hak ulayat dapat dilihat dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 1999 Tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat (Permen ATR/BPN 2/1999), yaitu kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan.

 

Berkaitan dengan hal tersebut, hak ulayat masyarakat hukum adat dianggap masih ada apabila terpenuhinya syarat-syarat yang diatur dalam Pasal 2 ayat (2) Permen ATR/BPN 2/1999 yaitu

  1. Terdapat sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupannya sehari-hari,
  2. Terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-hari, dan
  3. Terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut.

 

Dari syarat-syarat pengakuan masyarakat hukum adat yang diatur dalam Pasal 67 ayat (1) UU Kehutanan dan tanah hak ulayat dalam Pasal 2 ayat (2) Permen ATR/BPN 2/1999, maka 4 (empat) perkampungan masyarakat adat di Rempang, Kepulauan Riau dapat dikategorikan sebagai masyarakat hukum adat.

 

Konflik warga Rempang dengan aparat didasari karena adanya pembebasan lahan untuk kepentingan umum. Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum (UU PTBPKU) sebagaimana telah diubah oleh Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU Cipta Kerja), memberikan pengertian kepentingan umum sebagai kepentingan bangsa, negara, dan masyarakat yang harus diwujudkan oleh pemerintah dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

 

Diubahnya ketentuan UU PTBPKU oleh UU Cipta Kerja melahirkan aturan pelaksana yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum (PP 19/2021). Menurut penjelasan PP 19/2021, pengadaan tanah untuk kepentingan umum salah satunya adalah untuk mencapai tujuan khususnya peningkatan ekosistem investasi, dan percepatan Proyek Strategis Nasional perlu mengubah beberapa ketentuan alam bidang agraria/pertanahan dan tata ruang. Dalam ketentuan PP 19/2021, terdapat tahapan dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum.

 

Menurut Pasal 3 PP 19/2021, pengadaan tanah bagi pembangunan untuk Kepentingan Umum diselenggarakan melalui tahapan perencanaan, persiapan pelaksanaan dan penyerahan hasil. Berkaitan dengan pengadaan tanah terhadap tanah adat, tidak diatur secara spesifik dalam PP 19/2021, sehingga tetap mengacu pada tahapan pengadaan tanah dalam Pasal 3 PP 19/2021 tersebut. Akan tetapi dalam tahapan persiapan khususnya saat pendataan awal lokasi rencana pembangunan, harus dilakukan pengumpulan data awal Pihak yang Berhak dan Objek Pengadaan Tanah.

 

Pihak yang Berhak adalah pihak yang menguasai atau memiliki objek pengadaan tanah termasuk masyarakat hukum adat. Hasil pendataan awal lokasi rencana pembangunan, dituangkan dalam bentuk daftar sementara Pihak yang Berhak, dan Objek pengadaan Tanah pada lokasi rencana pembangunan yang ditandatangani oleh ketua Tim Persiapan. Daftar sementara Pihak yang Berhak, dan Objek Pengadaan Tanah pada lokasi rencana pembangunan merupakan daftar yang berisi data perkiraan dan hanya digunakan sebagai bahan untuk pelaksanaan Konsultasi Publik rencana pembangunan.

 

Konsultasi Publik adalah proses komunikasi dialogis atau musyawarah antar pihak yang berkepentingan guna mencapai kesepahaman dan kesepakatan dalam Pengadaan Tanah bagi pembangunan untuk Kepentingan Umum. Apabila dalam konsultasi publik tersebut terdapat keberatan, maka menurut Pasal 34 PP 19/2021 Instansi yang Memerlukan Tanah melaporkan keberatan kepada gubernur melalui Tim Persiapan. Gubernur membentuk Tim Kajian untuk melakukan kajian atas keberatan lokasi rencana pembangunan selama paling lama 14 (empat belas) hari sejak diterimanya keberatan. Akan tetapi, PP 19/2021 tidak mengatur penanganan terhadap keberatan dari Pihak yang Berhak atas tanah yang dimilikinya. Ini menunjukkan bahwa PP 19/2021 lebih memfokuskan kepada percepatan pembangunan saja tanpa melihat kepentingan masyarakat atas tanah yang dimilikinya.

 

Khususnya dalam penanganan tanah masyarakat hukum adat, Pasal 41 ayat (3) PP 19/2021 mengisyaratkan bahwa Instansi yang memerlukan tanah berkoordinasi dengan pemerintah daerah setempat dengan melibatkan tokoh masyarakat adat untuk mendapat kesepakatan dan penyelesaian dengan masyarakat yang bersangkutan yang dituangkan dalam berita acara kesepakatan. Namun dalam praktiknya yang terjadi di Pulau Rempang, pemerintah memaksa untuk mengosongkan tanah tersebut secara paksa tanpa memperhatikan ketentuan Pasal 41 ayat (3) PP 19/2021.[5]

 

Sebagaimana diketahui dalam Penjelasan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria bahwa Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaannya dan sifat daripada haknya, hingga bermanfaat baik bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyainya maupun bermanfaat pula bagi masyarakat dan negara. Akan tetapi, dalam pengadaan tanah di Pulau Rempang terlihat tidak lagi memperhatikan kesejahteraan dan kebahagiaan serta manfaat bagi masyarakat dan negara. Terlebih pengadaan tanah tersebut dilakukan tanpa adanya konsultasi publik yang seharusnya dilakukan terlebih dahulu sebagaimana dalam PP 19/2021, bahkan harus menggunakan senjata yang menyasar tanpa pandang bulu tidak terkecuali sekolah-sekolah yang mempersiapkan penerus bangsa ini.

 

Penulis: Rizky Pratama J., S.H.

Editor: Robi Putri J., S.H., M.H., CTL., CLA., & Mirna R., S.H., M.H., CCD.

 

 

[1] Newswire, Perkara Konflik ‘Lahan’ Pulau Rempang, Ternyata Ini Pemicunya, https://kabar24.bisnis.com/read/20230911/15/1693464/duduk-perkara-konflik-lahan-pulau-rempang-ternyata-ini-pemicunya.

[2] Anisa Indraini, Pembebasan Tanah Picu Konflik, Proyek Rempang Eco-City Terancam Batal?, https://finance.detik.com/infrastruktur/d-6928863/pembebasan-tanah-picu-konflik-proyek-rempang-eco-city-terancam-batal.

[3] Yogi Eka Sahputra, Masyarakat Adat di Rempang, Ada Sebelum Indonesia, https://www.mongabay.co.id/2023/09/16/masyarakat-adat-di-rempang-ada-sebelum-indonesia/

[4] CNN Indonesia, Deret Fakta Proyek Rempang Eco City Versi Pemerintah, https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20230914113813-92-998956/deret-fakta-proyek-rempang-eco-city-versi-pemerintah

[5] Zubaedah Hanum, Aparat Gusur Paksa Warga di Pulau Rempang, Ini Seruan Komnas HAM, https://mediaindonesia.com/politik-dan-hukum/612584/aparat-gusur-paksa-warga-di-pulau-rempang-ini-seruan-komnas-ham

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.