Rekayasa Kasus

Istilah rekayasa kasus tidak tercantum dalam undang-undang, rekayasa kasus merupakan sebuah istilah yang digunakan terutama dalam komunitas pengguna narkotika terhadap kasus-kasus yang diindikasikan sarat dengan rekayasa. Sebelum masuk lebih lanjut, rekayasa dimaksudkan adalah rencana jahat atau persekongkolan untuk merugikan pihak lain. Sementara mengenai kasus dapat diartikan sebagai keadaan yang sebenarnya dari suatu urusan atau perkara atau suatu keadaan maupun kondisi khusus yang berhubungan dengan seseorang atau suatu hal.[1] Dengan demikian rekayasa kasus adalah suatu keadaan atau kondisi khusus yang direncanakan atas dasar kejahatan atau persengkokolan dengan tujuan untuk merugikan pihak lain.
Menurut Edwin Partogi, rekayasa kasus terjadi akibat pengabaian terhadap prinsip-prinsip manajemen dalam acara pidana. Terdapat tiga faktor yang mempengaruhi rekayasa kasus yaitu, Pertama, sikap gampangan (easy going), dimana penegak hukum melakukan proses pemeriksaan tanpa mempedulikan bobot pemeriksaan bahkan tak jarang terjadi praktik diskriminasi dimana kasus kecil dianggap sepele mengejar pencapaian kerja secara kuantitas, dan motif menjadikan target operasi sebagai objek pemerasan. Kedua, penegak hukum mengejar pencapaian kerja secara kuantitas, sehingga mengabaikan kualitas yang biasanya terjadi pada kalangan penyidik dan penuntut umum. Misalnya, keberhasilan penyidik hanya diukur dari jumlah tangkapan, target operasi dan batas waktu yang diberikan atasan. Ketiga, penyimpangan penegak hukum terjadi karena motif menjadikan target operasi sebagai objek pemerasan. Bahkan tak jarang didasarkan pada ‘pesanan’ pihak berkepentingan, tentu dengan imbalan materi atau janji-janji lainnya.[2]
Terdapat beberapa rekayasa kasus yang rentan dapat dijadikan rekayasa kasus oleh aparat penegak hukum kepolisian, diantaranya sebagai berikut:
- Kasus perdata yang dijadikan pidana
Kasus perdata yang dijadikan pidana rentan direkayasa, seperti hutang piutang atau pinjam meminjam dengan mengalihkan perkara tersebut menjadi kasus penipuan, pencurian atau penggelapan. Selain itu, kasus sengketa tanah masyarakat dengan perusahaan direkayasa menjadi pidana perusakan atau penyerobotan.
- Kasus kepemilikan narkoba
Kasus kepemilikan lantaran praktik tangkap tangan seperti razia yang notabene cukup dengan kehadiran polisi memiliki potensi untuk direkayasa terutama dalam kasus narkotika. Dalam hal ini terdapat kelemahan dalam pembuktian saksi sehingga sulit untuk dikontrol serta dapat berujung pada pemerasan.
- Kasus pembunuhan atau pencurian
Kasus pembunuhan dan pencurian rentan direkayasa terutama saat adanya kesalahan identifikasi pelaku yang berdampak pada semua proses penyidikan yang direkayasa.
- Kasus kebebasan beragama serta berkeyakinan
Kasus kebebasan beragama direkayasa dengan dialihkan menjadi tindak pidana pemaksaan.[3]
Dari keempat kategori kasus yang seringkali dijadikan rekayasa kasus, terdapat 2 (dua) bentuk rekayasa kasus yang dilakukan dalam proses penyidikan berupa:
- Rekayasa kasus terhadap perkara yang pernah ada
Dalam bentuk ini, penyidik melakukan pengalihan kasus. Diawali dari adanya laporan masyarakat yang kemudian dijadikan dasar dilakukannya penyelidikan. Tahap penyelidikan ditujukan untuk menemukan suatu peristiwa. Pada tahap inilah dilakukan rekayasa dengan mengalihkan peristiwa yang sebenarnya bukan merupakan tindak pidana kemudian dijadikan dugaan adanya suatu tindak pidana. Hal ini akan menyebabkan efek domino terhadap proses selanjutnya yaitu tahap penyidikan hingga tahap penuntutan
2. Rekayasa kasus terhadap perkara yang belum ada
Dalam bentuk ini, rekayasa kasus bermula pada tahap penyidikan yang dilakukan tanpa didahului penyelidikan. Penyelidikan dalam proses acara pidana berperan penting untuk mencari peristiwa yang diduga sebagai suatu tindak pidana dan kemudian barulah dilakukan proses penyidikan yang terdiri dari beberapa upaya paksa yang diperbolehkan menurut hukum. Sehingga, peristiwa suatu tindak pidana yang ditemukan oleh penyidik merupakan hasil rekayasa bukti dengan tujuan untuk menjerat seseorang dalam suatu tindak pidana.
Berkaitan dengan rekayasa kasus, seringkali hal ini ditemui di institusi kepolisian yang dimana terdapat kepentingan pihak tertentu terhadap suatu perkara yang ditangani. Perihal rekayasa kasus, tidak menutup kemungkinan hal semacam ini dapat dilakukan oleh selain pihak kepolisian untuk menguntungkan dirinya agar tidak terjerat dari hukuman pidana. Salah satu kasus yang pernah terjadi dan telah diputus oleh Pengadilan Negeri Kediri dalam Putusan Nomor 17/Pid.B/2013/PN.Kdi. Kasus tersebut berawal dari terdakwa yang mengaku bahwa ia telah mengalami perampokan uang sebesar Rp 34.600.000 (tiga puluh empat juta enam ratus ribu rupiah) ke Polsek Banyakan, Kabupaten Kediri. Padahal uang tersebut disimpan didalam lemari rumah terdakwa. Atas perbuatannya tersebut, terdakwa dihukum dengan Pasal 372 dan Pasal 220 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) karena telah melakukan penggelapan serta merekayasa kasus.[4]
Hukuman terhadap perbuatan rekayasa kasus diatur dalam Pasal 220 KUHP yang menyatakan bahwa:
Barang siapa memberitahukan atau mengadukan bahwa telah dilakukan suatu perbuatan pidana, padahal mengetahui bahwa itu tidak dilakukan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan.
Ketentuan Pasal 220 KUHP, dikenal juga dengan laporan palsu, apabila laporan palsu tersebut berlanjut dalam tahap persidangan, maka seseorang dapat dikenakan ancaman pidana atas keterangan palsu sebagaimana ketentuan dalam Pasal 242 Ayat (1) dan Ayat (2) KUHP yang berbunyi:
(1) Barang siapa dalam keadaan di mana undang-undang menentukan supaya memberi keterangan di atas sumpah atau mengadakan akibat hukum kepada keterangan yang demikian, dengan sengaja memberi keterangan palsu di atas sumpah, baik dengan lisan atau tulisan, secara pribadi maupun oleh kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun;
(2) Jika keterangan palsu di atas sumpah diberikan dalam perkara pidana dan merugikan terdakwa atau tersangka, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
Dengan demikian, perbuatan rekayasa kasus dalam hukum pidana lazim terjadi, baik yang dilakukan oleh kepolisian bahkan dapat pula dilakukan oleh masyarakat sipil. Kepolisian sebagai aparat penegak hukum dan tingkat pertama dalam sistem peradilan pidana, harus teliti memperhatikan setiap kasus yang terjadi.
[1] Kamus Besar Bahasa Indonesia
[2] KontaS, Mengakhiri Rekayasa kasus, https://kontras.org/2010/07/06/mengakhiri-rekayasa-kasus/
[3] Tribunnews, Kasus Perdata dan Narkotika Rawan Rekayasa Oleh Aparat Penegak Hukum, https://id.berita.yahoo.com/kasus-perdata-dan-narkotika-rawan-rekayasa-oleh-aparat-133403171.html?guccounter=1
[4] Direktori Mahkamah Agung, Putusan Pengadilan Negeri Kediri Nomor 17/Pid.B/2013/PN.Kdi, putusan.mahkamahagung.go.id
Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?
Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.
Kirim Pertanyaan
hukum expert
Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.