Prosedur Pemberian & Pembatalan Hibah Menurut Hukum Positif di Indonesia

Pengertian dan Dasar Hukum Hibah
Hibah merupakan perbuatan hukum pemindahan hak kepemilikan yang sengaja dialihkan kepada pihak lain. Ada beberapa bentuk perbuatan hukum pemindahan hak selain dilakukan dengan cara hibah, diantaranya jual beli, tukar menukar, pemberian menurut adat, pemasukan dalam (inbreng) dan hibah wasiat (legaat). Pemindahan hak dilakukan pada waktu pemegang haknya masih hidup dan merupakan perbuatan hukum yang bersifat tunai, kecuali hibah wasiat. Tunai berarti ketika dilakukannya perbuatan hukum tersebut, maka haknya telah berpindah kepada pihak lain.
Pemasukan (Inbreng) diatur dalam Pasal 1086 sampai dengan Pasal 1099 KUHPerdata. Perhitungan itu harus dilakukan ahli waris keturunan dari orang yang meninggalkan harta warisan yaitu anak, cucu, dan seterusnya kebawah, kecuali bilamana orang yang meninggalkan harta warisan secara tegas membebaskan mereka dari perhitungan ini, sedang perhitungan itu oleh waris lain hanya dilaksanakan, bilamana dikehendaki oleh orang yang meninggalkan harta warisan. Apabila perhitungan ini dilaksanakan, maka pemberian-pemberian yang dulu dilakukan oleh orang yang meningggalkan harta warisan selama ia masih hidup, dianggap sebagai pemberian di depan (voorschot) dari bagian si ahli waris itu dalam harta warisan. Adapun yang harus diperhitungkan adalah: seluruh penghibahan (schenkingen) oleh orang yang meninggalkan harta warisan pada waktu ia masih hidup. Menurut Yurisprudensi dari Hoge Raad di Negeri Belanda penghibahan ini mencakup juga lain-lain perbuatan yang juga menguntungkan ahli waris, seperti pembebasan utang, Hal ini diatur pada Pasal 1086 KUHPerdata.
Mengenai hibah di Indonesia di atur dalam beberapa ketentuan, yaitu di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), Hukum Adat dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Dari ketentuan-ketentuan tersebut, hibah merupakan suatu solusi dalam pembagian warisan kepada keluarganya.
Sebagaimana telah diuraikan bahwa hibah, merupakan pemberian dari seseorang pemberi hibah kepada orang lain sebagai penerima hibah ketika si pemberi hibah (yang punya harta) masih hidup, sedangkan warisan diberikan ketika si pewaris (yang punya harta) telah meninggal dunia. Walaupun waktu pemberiannya berbeda namun keduanya memiliki hubungan yang sangat erat. Terutama hibah itu diberikan kepada anak atau ahli waris karena akan menentukan terhadap bagian warisan yang akan diterimanya.
Sedangkan menurut Pasal 211 Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyatakan bahwa hibah dari orang tua dapat diperhitungkan sebagai warisan. Sehubungan fungsi hibah sebagai fungsi sosial yang dapat diberikan kepada siapa saja tanpa memandang ras, agama dan golongan, maka hibah dapat dijadikan sebagai solusi untuk memecahkan masalah hukum waris dewasa ini. Pasal 212 Kompilasi Hukum Islam menyatakan, hibah tidak dapat ditarik kembali, kecuali hibah dari orang tua kepada anaknya.
Syarat-Syarat Hibah
Pasal 1666-1693KUHPerdata memuat substansi hukum penghibahan yang terdiri dari 4 bagian berisi. Bagian-bagian tersebut yaitu:
- Pada bagian pertama memuat ketentuan-ketentuan umum yang terdiri dari pengertian tentang penghibahan, penghibahan yang dilakukan oleh orang hidup, barang penghibahan, syahnya penghibahan dan syarat syarat penghibah;
- Pada bagian kedua memuat tentang kemampuan untuk memberikan dan menerima hibah yang berisi tentang orang-orang yang berhak memberikan dan menerima hibah dan penghibahan suami istri;
- Bagian ketiga memuat cara menghibahkan sesuatu yang berisi tentang pembuatan akta hibah pada notaris, hibah kepada wanita dan kepada anak-anak dibawah umur;
- Bagian keempat memuat tentang pencabutan dan pembatalan hibah yang berisi tentang syarat-syarat pencabutan dan pembatalan suatu hibah.
Berkaitan dengan syarat-syarat pemberi hibah diatur dalam KUHPerdata seperti Pemberi hibah diisyaratkan sudah dewasa yaitu mereka yang telah mencapai umur 21 tahun atau sudah pernah menikah (Pasal 330 KUHPerdata), Hibah itu diberikan saat penghibah masih hidup dan Tidak mempunyai hubungan perkawinan suami istri dengan penerima hibah, dengan kata lain hibah antara suami istri selama perkawinan tidak diperbolehkan. Berdasarkan Pasal 1678 Ayat (1) KUHPerdata, masih memperbolehkan hibah yang dilakukan antara suami istri terhadap benda-benda yang harganya sesuai dengan kemampuan, kondisi ekonomi serta kedudukan sosial mereka dalam masyarakat.[1]
Sementara dalam KUHPerdata juga mengatur syarat-syarat penerima hibah yakni penerima hibah sudah ada pada saat terjadinya penghibahan atau bila ternyata kepentingan si anak yang ada di dalam kandungan telah menghendakinya, maka undang-undang dapat menganggap anak yang ada di dalam kandungan itu sebagai anak yang telah dilahirkan (Pasal 2 KUHPerdata), lembaga-lembaga umum atau lembaga keagamaan juga dapat menerima hibah, asalkan presiden atau penguasa yang ditunjuk olehnya yaitu Menteri kehakiman, memberi kekuasaan kepada pengurus lembaga lembaga tersebut untuk menerima pemberian itu (Pasal 1680 KUHPerdata), Pemberian hibah bukan bekas wali dari pemberi hibah, tetapi apabila si wali telah mengadakan perhitungan pertanggung jawaban atas perwakilannya, maka bekas wali itu dapat menerima hibah (Pasal 904 KUHPerdata) dan penerima hibah bukanlah notaris yang dimana perantaranya dibuat akta umum dari suatu wasiat yang dilakukan oleh pemberi hibah dan juga bukan saksi yang menyelesaikan pembuatan akta itu (Pasal 907 KUHPerdata).
Dalam KUHPerdata syarat-syarat benda yang dihibahkan adalah sebagai berikut :
- Benda yang dihibahkan harus merupakan benda yang sudah ada saat penghibahan itu dilakukan. Suatu hibah adalah batal atau tidak sah apabila dilakukan terhadap barang-barang yang belum ada atau baru akan ada di kemudian hari (Pasal 1667 KUHPerdata).
- Jumlah harta atau benda-benda itu tidak boleh melanggar atau melebihi jumlah legitime portie (suatu bagian mutlak dari ahli waris yang akan meninggalkan warisan atau tidak dikurangi dengan pemberian semasa hidup si pewaris atau pemberian dengan wasiat (Pasal 913 KUHPerdata).
Hak & Kewajiban Penerima dan Pemberi Hibah
Dalam KUHPerdata hak dan kewajiban para pihak dalam hibah adalah sebagai berikut :
- Hak yang timbul dari perjanjian hibah;
- Pemberi hibah berhak untuk memakai sejumlah uang atau benda yang di hibahkanya, asalkan hak ini diperjanjikan dalam penghibahan (Pasal 1671 KUHPerdata);
- Pemberi hibah berhak untuk mengambil benda yang telah di berikannya jika si penerima hibah dan keturunan-keturunanya meninggal terlebih dahulu dari si penghibah, dengan catatan ini dapat berlaku sudah di perjanjikan terlebih dahulu (Pasal 1672 KUHPerdata);
- Pemberi hibah dapat menarik kembali pemberianya, jika penerima hibah tidak mematuhi kewajiban yang telah di tentukan dalam akta hibah atau hal-hal lain yang dinyatakan dalam KUHPerdata.
Kewajiban yang timbul dari perjanjian hibah mengharuskan untuk penerima maupun pemberi hibah berkewajiban untuk:
- Penerima hibah berkewajiban untuk melunasi hutang-hutang penghibah atau benda-benda lain, dengan catatan hutang-hutang atau beban-beban yang harus dibayar itu disebutkan dengan tegas di dalam akta hibah.
- Penerima hijab di wajibkan untuk member tunjangan nafkah kepada pemberi hibah jika pemberi hibah jatuh dalam kemiskinan.
- Penerima hibah di wajibkan untuk mengembalikan benda-benda yang telah di hibahkan, kepada pemberi dan pendapatanya terhitung mulai dimajukanya gug
- atan untuk menarik kembali hibah berdasarkan alasan-alasan yang diatur oleh KUHPerdarta.
N MÂ Â < - Apabila benda yang di hibahkan telah dijual, maka penerima berkewajiban untuk mengembalikan pada waktu di masukanya gugatan dengan disertai hasil-hasil dan pendapatan-pendapatan sejak saat itu (KUHPerdata).
- Pemberi hibah berkewajiban untuk member ganti rugi kepada pemberi hibah , untuk hipotik-hipotik dan benda-benda lainya yang dilekatkan olehnya diatas benda tidak bergerak
Pembatalan Hibah
Menurut ketentuan dalam Pasal 1688 KUHPerdata memperbolehkan adanya tindakan pembatalan hibah. Dengan terjadinya pembatalan hibah ini, maka segala macam barang yang telah di hibahkan harus segera di kembalikan kepada penghibah dalam keadaan bersih dari beban beban yang melekat di atas barang tersebut.
Berkaitan dengan akibat hukum yang lahir dari hibah yang akan diberikan pada salah seorang ahli waris tanpa persetujuan ahli waris lainnya dan tidak dibuat secara otentik adalah dapat dibatalkan karena tidak ada persetujuan ahli waris lain dan menurut Pasal 210 ayat 2 Kompilasi Hukum Islam (KHI) barang siapa merasa haknya terlanggar maka dapat mengajukan gugatan pembatalan hibah di Pengadilan Agama. Pasal 212 KHI menyatakan, bahwa hibah tidak dapat ditarik kembali, kecuali hibah orang tua kepada anaknya. Pembatalan atau penarikan kembali atas suatu pemberian (hibah) merupakan perbuatan yang diharamkan, meskipun hibah tersebut terjadi antara dua orang yang bersaudara atau suami isteri. Adapun hibah yang boleh ditarik kembali hanyalah hibah yang di lakukan atau di berikan orang tua kepada anaknya.
Menurut KUH Perdata, tidak ada ketentuan yang memberikan pembatasan tentang hibah yang diberikan si pemberi hibah sebagaimana yang diatur dalam Kompilasi Hukum Islam. Pada prinsipnya hibah yang telah diberikan oleh seseorang kepada orang lain tidak dapat ditarik kembali atau dibatalkan, kecuali dalam hal-hal sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1688 KUHPerdata.
[1] R. Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta : Pradnya Paramita, 2008, Hlm : 20-25
Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?
Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.
Kirim PertanyaanPendaftaran Webinar “Restrukturisasi Perusahaan : Merger & Akuisisi”
Putusan Sela dalam Perkara Pidana

hukum expert
Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.