Prosedur dan Syarat Penggabungan Wilayah Kabupaten/Kota dan Provinsi

Prosedur dan Syarat penggabungan Wilayah Kabupaten/Kota dan Provinsi merupakan salah satu hal yang penting untuk diperhatikan dalam ketatanegaraan. Adapun penggabungan wilayah merupakan salah satu wujud dari pembentukan daerah selain dengan Pemekaran daerah. Penyatuan wilayah atau dalam terminologi yuridisnya disebut penggabungan daerah yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU 23/2014). Pasal 32 ayat (1) UU 23/2014 menguraikan bahwa “Pembentukan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (3) berupa: a. pemekaran Daerah; dan b. penggabungan Daerah.” Lebih rinci mengenai penggabungan daerah diatur dalam Pasal 44 hingga 47 UU 23/2014.

Secara garis besar, penggabungan daerah dapat dibagi berdasarkan ruang lingkupnya. Pertama, penggabungan daerah Kabupaten/Kota. Kedua, panggabungan daerah provinsi. Hal tersebut diatur dalam Pasal 44 ayat (1) UU 23/2014 yang mengatur:

Penggabungan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) huruf b berupa:

  1. penggabungan dua Daerah kabupaten/kota atau lebih yang bersanding dalam satu Daerah provinsi menjadi Daerah kabupaten/kota baru; dan
  2. penggabungan dua Daerah provinsi atau lebih yang bersanding menjadi Daerah provinsi baru.

Berdasarkan pasal tersebut tidak ada batas jumlah daerah yang dapat digabungkan.

Kendati tidak ditentukan jumlah daerahnya, namun terdapat syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi untuk dapat dilakukan penggabungan daerah. Syarat-syarat tersebut ditentukan sesuai dengan alasan penggabungan daerah yaitu kesepakatan daerah yang bersangkutan atau hasil evaluasi dari Pemerintah Pusat, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 44 ayat (2) UU 23/2014, “Penggabungan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan: a. kesepakatan Daerah yang bersangkutan; atau b. hasil evaluasi Pemerintah Pusat.

Dari kedua keadaan tersebutlah ditetapkan berbagai syarat yang harus terpenuhi, baik penggabungan atas dasar kesepakatan daerah yang bersangkutan maupun atas dasar hasil evaluasi dari pemerintah pusat.

  1. Penggabungan Daerah Karena Kesepakatan Daerah yang Bersangkutan.

Penggabungan dalam keadaan ini, harus memenuhi syarat administratif dan persyaratan dasar kapasitas daerah. Hal tersebut dijelaskan dalam Pasal 45 ayat (1), bahwa “Penggabungan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) yang dilakukan berdasarkan kesepakatan Daerah yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2) huruf a harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan dasar kapasitas Daerah.” Syarat-syarat yang dimaksud mutatis mutandis dengan syarat pemekaran daerah yang terdapat pada Pasal 36 dan 37 UU 23/2014.

Syarat-syarat administratif yang harus dipenuhi dibagi lagi berdasarkan ruang lingkup wilayah penggabungan, yakni cakupan provinsi atau kabupaten/kota. Syarat-syarat administratif yang harus dipenuhi bagi penggabungan provinsi adalah persetujuan bersama DPRD kabupaten/kota dengan bupati/wali kota yang akan menjadi Cakupan Wilayah Daerah Persiapan provinsi dan persetujuan bersama DPRD provinsi induk dengan gubernur Daerah provinsi induk. Sedangkan penggabungan kabupaten/kota harus memenuhi syarat-syarat administratif yang meliputi:

  • keputusan musyawarah Desa yang akan menjadi Cakupan Wilayah Daerah kabupaten/kota;
  • persetujuan bersama DPRD kabupaten/kota induk dengan bupati/wali kota Daerah induk; dan
  • persetujuan bersama DPRD provinsi dengan gubernur dari Daerah provinsi yang mencakupi Daerah Persiapan kabupaten/kota yang akan dibentuk.

Berbeda dengan persyaratan administratif yang membedakan syarat penggabungan berdasarkan cakupan wilayah, syarat dasar kapasitas daerah tidak membedakan cakupan wilayahnya. Ada beberapa indikator yang menjadi syarat dasar kapasitas daerah yang berlaku, baik untuk penggabungan kabupaten/kota maupun penggabungan provinsi, yaitu:

  1. geografi;
  2. demografi;
  3. keamanan;
  4. sosial politik, adat, dan tradisi;
  5. potensi ekonomi ;
  6. keuangan Daerah; dan
  7. kemampuan penyelenggaraan pemerintahan.

 

Semua syarat baik administratif atau dasar kapasitas wilayah yang disebutkan sebelumnya merupakan materi muatan dalam Pasal 36 dan 37 UU 23/2014.

 

  1. Penggabungan Daerah Karena Hasil Evaluasi Pemerintah Pusat

Penggabungan daerah atas dasar kesepakatan daerah itu bersifat bottom up yang srtinya berasal dari pemerintahan daerah yang kemudian dimohonkan kepada pemerintah pusat untuk dinilai. Sedangkan penggabungan daerah karena evaluasi dari pemerintah pusat bersifat top down, yang dilakukan karnea adanya evaluasi dari pemerintah pusat terhadap penyelenggaraan otonomi daerah. Hal tersebut termuat jelas pada Pasal 47 ayat (1) yang menyatakan bahwa, “(1) Penggabungan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2) huruf b dilakukan dalam hal Daerah atau beberapa Daerah tidak mampu menyelenggarakan Otonomi Daerah.

Mengapa disebut sebagai kebijakan yang bersifat top down? sebab penggabungan ini tidak berasal dari kehendak daerah, namun berdasarkan hasil dari penilaian pusat. Penilaian pusat ini menjadi dasar yang menentukan keharusan penggabungan suatu daerah.

Penggabungan daerah tentunya memiliki konsekuensi logis dengan perubahan tata pemerintahan dan tata usaha pemerintahan suatu daerah. Perubahan tersebut tentunya difasilitasi oleh pemerintah. Hal tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah (PP 78/2007). Fasilitas yang dimaksud adalah sebagai berikut.

  1. penyusunan perangkat daerah;
  2. pengisian personil;
  3. pengisian keanggotaan DPRD;
  4. penyusunan APBD;
  5. pemberian hibah dari daerah induk dan pemberian
  6. bantuan dari provinsi;
  7. pemindahan personil, pengalihan aset, pembiayaan
  8. dan dokumen;
  9. penyusunan rencana umum tata ruang daerah; dan
  10. dukungan bantuan teknis infrastruktur penguatan
  11. investasi daerah.

Salah satu elemen krusial dalam penggabungan daerah adalah menyangkut anggaran. Pada PP 78/2007 terdapat dua alternatif penganggaran untuk penggabungan daerah. Pertama, dana yang digunakan dalam penggabungan daerah dibebankan kepada APBN. Hal tersebut tertuang dalam Pasal 26 ayat (3) PP 78/2007 yang menyatakan bahwa, “Dana yang diperlukan dalam rangka penghapusan dan penggabungan daerah dibebankan pada APBN.” Terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah baru sebagai akibat penggabungan daerah, dapat berupa hibah dari provinsi atau kabupaten/kota induk dan dibantu oleh kabupaten/kota cakupan untuk penggabungan daerah provinsi, atau dibantu oleh provinsi untuk penggabungan daerah kabupaten/kota.

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.