Heboh Pidana Penjara 6 Tahun dan 6 Bulan Untuk Terpidana Korupsi 271 T, Logika Perhitungan Pidana Dan Kebebasan Kekuasaan Kehakiman
Pidana Penjara 6 Tahun dan 6 Bulan Untuk Terpidana Korupsi 271 T
Perkara Harvey Moeis yang ditangkap dalam perkara korupsi tata niaga timah tidak berhenti menggemparkan masyarakat. Mulai dari nilai korupsi yang mencapai 271 Triliun Rupiah, sampai dengan istrinya yang merupakan selebriti Indonesia yaitu Sandra Dewi yang menolak beberapa penyitaan oleh penegak hukum, sampai dengan putusan yang belakangan menghebohkan tidak hanya dunia hukum melainkan juga masyarakat luas. Bagaimana tidak, hakim yang menilai telah terbuktinya korupsi mencapai 200Triliun ternyata hanya diganjar 6 tahun penjara.
Melansir dari halaman direktori putusan Mahkamah Agung, berikut isi amar putusan pidana terhadap Terpidana Harvey Moeis pada tanggal 23 Desember 2024 yang lalu:[1]
“M E N G A D I L I
- Menyatakan Terdakwa Harvey Moeis terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara bersama-sama dan melakukan tindak pidana pencucian uang secara bersama-sama sebagaimana dalam dakwaan kesatu primair dan dakwaan kedua primair;
- Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa dengan pidana penjara selama 6 (enam) tahun dan 6 (enam) bulan dan denda sebesar Rp1.000.000.000.00 (satu miliar rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar akan diganti dengan pidana kurungan selama 6 (enam) bulan;
- Menghukum Terdakwa untuk membayar uang pengganti kerugian keuangan negara sebesar Rp210.000.000.000,00 (dua ratus sepuluh miliar rupiah) dengan ketentuan jika Terpidana tidak membayar uang pengganti selama paling lama 1 (satu) bulan setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh Jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut, dan apabila Terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti tersebut, maka diganti dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun;
- Menetapkan masa penahanan yang dijalani oleh Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;
- Menetapkan Terdakwa tetap berada dalam tahanan;
- Menyatakan barang bukti berupa… Dipergunakan dalam perkara lain an. terdakwa Tamron Alias Aon.
- Membebankan kepada terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp 7500- ( Tujuh ribu lima ratus rupiah).”
Berdasar amar putusan pertama, Majelis Hakim telah memutus bahwa Harvey Moeis bukan hanya melakukan tindak pidana korupsi, melainkan juga pencucian uang sebagaimana dakwaan primair Penuntut Umum. Dakwaan Penuntut Umum sendiri merupakan kombinasi dakwaan subsidairitas dan kumulatif.
Dakwaan Pertama Primair Penuntut Umum sendiri terdiri atas Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahaan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Sedangkan dakwaan Kedua Primair Penuntut Umum terdiri atas Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP[2]
Isi dari masing-masing pasal dalam dakwaan primair tersebut adalah sebagai berikut:
Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi:
“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”
Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi:
“(1) Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, sebagai pidana tambahan adalah :
- perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut;
- pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebayak-banyaknya sama dengan harta benda yag diperoleh dari tindak pidana korupsi;
- penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun;
- pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada terpidana.
(2) Jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.
(3) Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, maka dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang ini dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.”
Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP:
“Dipidana sebagai pelaku tindak pidana:
- mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan;”
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang:
“Setiap Orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).”
Dengan demikian, ancaman pidana terhadap seseorang yang diduga telah melakukan tindak pidana Korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pencucian Uang sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dapat dikenakan pidana penjara maksimal yaitu 20 (dua puluh) tahun pidana penjara.
Dalam salinan putusan yang dibagikan oleh Mahkamah Agung tersebut, tidak termuat pertimbangan Majelis Hakim, sehingga pembuktiannya pun tidak dapat dibaca oleh masyarakat luas, begitu pula dengan pertimbangan pemberian keringanan kepada Terpidana. Adapun berdasarkan informasi yang ada, bahwa Majelis Hakim sendiri telah mempertimbangkan bahwa kerugian yang terbukti dialami oleh negara atas perbuatan Harvey Moeis dan kawan-kawan adalah Rp 300.003.263.938.131,14.[3] Kerugian tersebut terdiri atas:[4]
“– Kerugian negara atas kerja sama penyewaan alat processing pelogaman timah yang tidak sesuai dengan ketentuan Rp 2.284.950.217.912,14 (Rp 2,2 triliun)
– Kerugian Negara atas pembayaran bijih timah dari tambang timah ilegal Rp 26.648.625.701.519 (Rp 26,6 triliun)”
Di sisi lain, jika melihat amar putusan nomor 3, maka terlihat bahwa Terpidana hanya dihukum untuk membayar uang pengganti sebesar Rp 210.000.000.000,00 (dua ratus sepuluh milyar rupiah). Nilai tersebut sangat jauh dari nilai kerugian negara yang dinyatakan telah terbukti oleh Majelis Hakim sendiri.
Perbandingan Pidana Penjara Untuk Terpidana Korupsi Lainnya
Banyak pihak yang mempertanyakan pidana yang dijatuhkan kepada Harvey Moeis tersebut. Bahkan beberapa pihak mulai menghitung perbandingan nilai kerugian negara yang telah diakibatkan dengan waktu pidana penjara yang dijatuhkan tersebut. Hal tersebut juga mengingat kerugian negara yang diakibatkan dalam kasus korupsi yang terungkap saat ini merupakan nilai yang paling fantastis yang pernah ada dalam kasus korupsi di Indonesia.
Jika dibandingkan dengan kasus korupsi yang dilakukan oleh Mantan Menteri Sosial pada tahun 2020 saat terjadinya Pandemi Covid, dimana tindak pidana korupsi tersebut terbukti telah menimbulkan kerugian negara sebesar 32 Miliar Rupiah, Terpidana Juliari P. Batubara dikenakan pidana penjara selama 12 (dua belas) tahun.[5] Dalam kasus tersebut, memang tidak ada kesamaan baik kedudukan, kondisi, maupun pasal yang didakwakan, namun sama-sama ada kerugian negara yang ditimbulkan.
Di samping itu, melihat putusan-putusan yang lain, yaitu Putusan perkara Register Nomor 51/Pid.Sus.K/2013/PN.Mdn jo. 236 K/Pid.Sus/2014 jo. 59 PK/Pid.Sus/2015, Terpidana telah terbukti mengakibatkan kerugian negara sekitar 1 Miliar Rupiah, dan hukuman pidana penjara yang diberikan adalah 4 tahun penjara. Ada pula putusan Register Nomor 14/Pid.Sus-TPK/2023/PN Sby dimana Terpidana terbukti merugikan keuangan negara sebesar lima milyar rupiah namun memperoleh pidana penjara selama 6 tahun.[6]
Melihat kembali ke dalam pasal yang didakwakan dan ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia, tindak pidana korupsi memang tidak memberikan perhitungan yang pasti, sebab hukum itu sendiri memang bukan ilmu pasti. Sebagaimana diketahui, ilmu hukum adalah ilmu sui generis yang memiliki karakter yang berbeda dengan ilmu-ilmu lainnya, dan tidak termasuk sebagai ilmu alamiah, sosial maupun humanoria.
Di sisi lain, sistem hukum di Indonesia juga tidak menganut Preseden. Oleh karena itu, putusan hakim yang sebelumnya tidak mengikat putusan hakim lainnya. Namun demikian, salah satu sumber hukum yang dapat digunakan oleh Hakim untuk menemukan hukum adalah yurisprudensi.
Prinsip Pidana di Indonesia
Hukum pidana difungsikan untuk mencegah sekaligus menanggulangi tindak pidana baik kejahatan maupun pelanggaran. Hukuman atau sanksi pidana khususnya sanksi pidana penjara disamping untuk memberikan efek jera, namun juga untuk mengembalikan terpidana kepada masyarakat dengan kata lain memasyarakatkan kembali seorang terpidana dengan nilai-nilai yang ada, sehingga nantinya terpidana dapat mengerti dan dan menjalankan nilai-nilai yang benar di masyarakat. Itu mengapa saat ini tempat menjalankan pidana penjara bukan bernama penjara melainkan lembaga pemasyarakatan.
Jika melihat ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku, batas maksimal pidana penjara yang dapat diberikan adalah 20 (dua puluh) tahun. Lebih tinggi dari itu adalah pidana mati. Dengan demikian seseorang tidak mungkin dipidana penjara lebih dari 20 (dua puluh) tahun untuk satu perkara. Berbeda halnya jika seseorang melakukan tindak pidana yang berbeda dan diperiksa dalam perkara yang berbeda sehingga dimungkikan baginya untuk menjalani pidana lebih dari 20 (dua puluh) tahun dari putusan yang berbeda.
Kebebasan Kekuasaan Kehakiman
Salah satu asas dan ketentuan yang berlaku dalam hukum adalah kebebasan bagi hakim dalam menjalankan tugasnya baik dalam memeriksa, mempertimbangkan dan memutus suatu perkara. Pasal 1 Butir 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman (selanjutnya disebut “UU 48/2009”) menyatakan:
“Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.”
Selanjutnya, Pasal 3 UU 48/2009 menyatakan:
“(1) Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim dan hakim konstitusi wajib menjaga kemandirian peradilan.
(2) Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
(3) Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Adapun penjelasan Pasal 3 Ayat (1) UU 48/2009 adalah sebagai berikut:
“Yang dimaksud dengan “kemandirian peradilan” adalah bebas dari campur tangan pihak luar dan bebas dari segala bentuk tekanan, baik fisik maupun psikis.”
Dengan demikian, kebebasan hakim bermakna sangat luas, yaitu bebas dari segala tekanan dan pengaruh, baik dari para pihak maupun dari pihak lainnya termasuk media maupun kekuasaan eksekutif.
Dalam hukum acara pidana pun, hakim tidak hanya memutus berdasarkan bukti, melainkan juga berdasarkan keyakinan yang ia peroleh dari bukti yang diperiksa di persidangan, sebagaimana Pasal 183 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut “KUHAP”). Meski demikian, hakim tetaplah harus mematuhi ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, salah satunya adalah ketentuan dalam Pasal 5 Ayat (1) UU 48/2009 yang menyatakan:
“Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.”
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka hakim tidak hanya mempertimbangkan dari sisi terpidana dan hukum yang berlaku, melainkan juga harus memperhatikan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Sebagaimana diketahui, korupsi merupakan extraordinary crime, sebab kerugian yang diakibatkan oleh tindak pidana korupsi bukan kerugian yang dialami oleh satu dua orang, melainkan negara. Kerugian negara tentunya adalah kerugian bagi masyarakat luas. Hanya orang-orang yang dekat dengan kekuasaan lah yang dapat melakukan tindak pidana korupsi.
Ketika hakim sendiri sudah yakin berdasar bukti-bukti yang diperiksa di persidangan bahwa Terpidana telah melakukan tindak pidana korupsi yang mengakibatkan kerugian negara sebesar 300 Tiriliun rupiah, maka seharusnya dalam memberikan pertimbangan keringanan tidak hanya didasarkan pada sikap sopan di muka pengadilan, melainkan juga harus mempertimbangkan apakah telah sepadan hukuman tersebut dengan kerugian yang diperoleh oleh negara/masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, saat masyarakat sudah mulai bersuara bahkan memberikan pernyataan yang menyatakan bersedia mendapat pidana penjara 6 tahun dan 6 bulan untuk mendapat triliunan rupiah, maka tentunya putusan hakim tersebut dapat dikatakan jauh dari rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Penulis: Robi Putri J., S.H., M.H., CTL., CLA.
[1] https://putusan3.mahkamahagung.go.id/direktori.html
[2] http://sipp.pn-jakartapusat.go.id/index.php/detil_perkara
[3] https://nasional.kompas.com/read/2024/12/23/14381261/dalam-pertimbangannya-hakim-menyebut-perbuatan-harvey-moeis-cs-rugikan
[4] https://news.detik.com/berita/d-7699991/hakim-sidang-harvey-moeis-nyatakan-kerugian-negara-di-kasus-timah-rp-300-t
[5] http://sipp.pn-jakartapusat.go.id/index.php/detil_perkara
[6] https://putusan3.mahkamahagung.go.id/direktori/putusan/zaee1fcf102c770494db313634313038.html
Baca juga:
Kebebasan Kekuasaan Kehakiman
Resensi Buku: Reformasi Mahkamah Agung Menuju Independensi Kekuasaan Kehakiman Oleh Dr. J. Djohansjah, S.H., M.H.
Pemegang Jabatan Pada 3 (Tiga) Kekuasaan
Badan Pengawas Mahkamah Agung Sebagai Pengawas Internal
Putusan Bebas Kepada Ronald Tannur: Alasan Penghapus Pidana dan Upaya Hukum Jaksa Penuntut Umum
Harvey Moeis Ditahan Kasus Korupsi Tambang Timah; Dugaan Perjanjian Fiktif Rugikan 270T
Perbedaan Korupsi dan Penggelapan: 1 Perbedaan Signifikat yang Harus Diketahui
Analisa Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Korupsi dan Unsur-Unsur Tindak Pidana Korupsi
Penahanan dan Pidana Penjara
Perbedaan Pidana Penjara dan Pidana Kurungan
Hukuman Penjara Sebagai Efek Jera Tindak Pidana
Alasan yang Meringankan Hukuman Pidana, Setidaknya ada 10
Tonton juga:
pidana penjara 6 tahun dan 6 bulan| pidana penjara 6 tahun dan 6 bulan| pidana penjara 6 tahun dan 6 bulan| pidana penjara 6 tahun dan 6 bulan| pidana penjara 6 tahun dan 6 bulan| pidana penjara 6 tahun dan 6 bulan| pidana penjara 6 tahun dan 6 bulan| pidana penjara 6 tahun dan 6 bulan| pidana penjara 6 tahun dan 6 bulan| pidana penjara 6 tahun dan 6 bulan| pidana penjara 6 tahun dan 6 bulan|pidana penjara 6 tahun dan 6 bulan| pidana penjara 6 tahun dan 6 bulan| pidana penjara 6 tahun dan 6 bulan| pidana penjara 6 tahun dan 6 bulan| pidana penjara 6 tahun dan 6 bulan| pidana penjara 6 tahun dan 6 bulan| pidana penjara 6 tahun dan 6 bulan|pidana penjara 6 tahun dan 6 bulan| pidana penjara 6 tahun dan 6 bulan| pidana penjara 6 tahun dan 6 bulan|
Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?
Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.
Kirim PertanyaanPenganiayaan dan Pasal Pidana Serta Pemberatannya
Penahanan Tersangka Atau Terdakwa Berikut 2 Syaratnya
hukum expert
Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.