Pidana Pemenuhan Kewajiban Adat Setempat
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang saat ini berlaku di Indonesia adalah berasal dari terjemahan Belanda. Tentunya hal ini menjadi pertanyaan besar terkait dengan aspek pembangunan hukum yang semestinya berjalan seiring perkembangan masyarakat. Sehingga pada awal bulan Januari 2023, Presiden Joko Widodo menandatangani Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (UU 1/2023). Apabila dibandingkan dengan ketentuan dalam KUHP terjemahan Belanda, ketentuan mengenai pemidanaan dalam UU 1/2023 mengalami perubahan yang mendasar.
Salah satu perubahan terkait dengan pemidanaan adalah adanya pidana tambahan berupa “pemenuhan kewajiban adat setempat” yang diatur dalam Pasal 66 UU1/2023. Konsep penerapan pidana tambahan “pemenuhan kewajiban adat setempat” dapat dikenakan dalam hal penjatuhan pidana pokok yang tidak cukup untuk mencapai tujuan pemidanaan. Ada hal yang perlu diperhatikan mengenai maksud dari pidana “pemenuhan kewajiban adat setempat” yang dimaksud dalam Pasal 96 UU 1/2023 yang berbunyi:
- Pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat setempat diutamakan jika Tindak Pidana yang dilakukan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2).
- Pemenuhan kewajiban adat setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap sebanding dengan pidana denda kategori II.
- Dalam hal kewajiban adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dipenuhi, pemenuhan kewajiban adat diganti dengan ganti rugi yang nilainya setara dengan pidana denda kategori II.
- Dalam hal ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dipenuhi, ganti rugi diganti dengan pidana pengawasan atau pidana kerja sosial.
Dari rumusan Pasal 96 Ayat (1) UU 1/2023 terdapat batasan dalam penerapan pidana tambahan “pemenuhan kewajiban adat setempat” yang harus menyesuaikan dengan hukum yang hidup di masyarakat. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam ketentuan Pasal 2 Ayat (1) dan (2) UU 1/2023 bahwasanya pemberlakuan hukuman pidana UU 1/2023 tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana berbunyi sebagai berikut:
- Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (l) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam Undang-Undang ini.
- Hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku dalam tempat hukum itu hidup dan sepanjang tidak diatur dalam UndangUndang ini dan sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hak asasi manusia, dan asas hukum umum yang diakui masyarakat bangsa-bangsa.
Selain pembatasan hukum yang hidup di masyarakat, juga harus sebanding dengan pidana denda kategori II yakni Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). Begitupun apabila kewajiban adat tidak dipenuhi maka pemenuhan kewajiban adat diganti dengan ganti rugi yang nilainya setara dengan pidana denda kategori II. Selain itu, apabila ganti rugi tidak dipenuhi maka diganti dengan diganti dengan pidana pengawasan atau pidana kerja sosial. Pemberlakuan pidana “pemenuhan kewajiban adat setempat” dapat dikenakan pada orang perorangan dan korporasi.
Masuknya pidana adat dalam UU 1/2023 dapat diartikan bahwa adanya sifat memaksa, hal ini sebenarnya bersinggungan dengan maksud dari hukum pidana adat itu sendiri. Dalam pandangan adat, tidak ada ketentuan yang keberlakuannya disertai dengan syarat yang menjamin ketaatannya dengan jalan menggunakan paksaan. Sanksi adat tidak sama pengertiannya dengan pemidanaan sebagaimana yang dijabarkan dalam teori-teori pemidanaan klasik karena tujuannya berbeda. Suatu penerapan sanksi adat adalah suatu upaya, untuk mengembalikan langkah yang berada di luar garis kosmos demi tidak terganggunya ketertiban kosmos. Jadi sanksi adat merupakan usaha mengembalikan keseimbangan yang terganggu.[1]
Sebelum masuknya pidana adat atau “pemenuhan kewajiban adat setempat” dalam suatu perundang-undangan tertulis, pidana adat merupakan pelembagaan tersendiri di beberapa wilayah di Indonesia seperti misalnya kasus yang terjadi di Bali terhadap tindak pidana pelanggaran “Lokika Sanggraha” (seorang laki-laki bersetubuh dengan wanita atas suka-sama suka dengan janji akan dikawin, setelah wanita hamil si pria ingkar janji). Dalam mengadili kasus tersebut, Pengadilan menggunakan Kitab Adhi Agama 359 Peswara Bali Lombok tahun 1927 jo Pasal 5 Ayat 3 Sub b, Undang-Undang No.1 drt/1951 tentang Tindakan-Tindakan Sementara untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan Kekuasaan dan Acara Pengadilan-Pengadilan Sipil. I Gusti Ketut Kalaer memberikan rumusan Lokika Sanggraha sebagai suatu perbuatan yang dilakuakan oleh seorang pria yang menghendaki layanan pemuas nafsu birahi oleh karena tidak mengawini perempuan perbuatan yang bersangkutan bertentangan dengan Lokika, bahwa setiap kehamilan hendaknya diupacarai.[2]
Sanksi pidana tambahan “pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat” juga bertujuan untuk memberikan perlindungan terhadap korban. Namun, menurut Barda Nawawi Arief, menggali hukum yang hidup tidak berarti mengangkat begitu saja hukum pidana adat menjadi hukum pidana positif nasional. Hal yang patut digali adalah berbagai kesamaan asas-asas dan norma-norma hukum pidana yang terkandung di dalam hukum yang hidup. Dari berbagai kesamaan asas dan norma itulah, setelah dikaji dan diuji oleh nilai-nilai nasional yaitu nilai-nilai Pancasila, dapat kiranya diangkat menjadi asas-asas dan norma-norma hukum pidana positif nasional.[3]
Ketentuan pidana “pemenuhan kewajiban adat setempat” dapat diasumsikan jika terjadi pelanggaran terhadap hukum yang hidup dalam masyarakat akan ditegakkan melalui proses formal. Pelakunya akan diproses melalui proses penyelidikan, penyidikan, dan proses pemeriksaan di pengadilan. Permasalahan yang mungkin timbul adalah bagaimana penerapannya, bagaimana seorang polisi membuat berita acara, dan bagaimana seorang jaksa akan menyusun surat dakwaannya karena hukum yang hidup dalam masyarakat tidak dapat diperkirakan, senantiasa tumbuh, berkembang, dan berubah termasuk tentang dilarang atau tidaknya suatu perbuatan. Dalam praktiknya, terhadap tindak pidana diatur secara tertulis pun masih sering terjadi pengembalian berkas perkara oleh Jaksa kepada pihak kepolisian karena dianggap belum lengkap.
Dengan demikian, seharusnya pidana “pemenuhan kewajiban adat setempat” tidak hanya diatur secara materiil saja melainkan rumusan formil yang dapat mengakomodir alur penegakan hukumnya. Artinya perlu dilakukan pembaharuan terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang disesuaikan dengan rumusan UU 1/2023 khususnya proses penegakan pidana “pemenuhan kewajiban adat setempat” itu sendiri. Di lain sisi, UU 1/2023 telah disahkan dan ditetapkan, maka pengaturan mengenai pidana adat dapat diterapkan dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam UU 1/2023 sebagai payung hukum berlakunya pidana adat di Indonesia.
Penulis: Rizky Pratama J., S.H.
Editor: Mirna R., S.H., M.H., & R. Putri J., S.H., M.H.
[1] I Gede A.B. Wiranata, Hukum Adat Indonesia Perkembangan dari Masa ke Masa, Lubuk Agung, Bandung, 2001, halaman 70.
[2] Gerald Liem Imanuel, Penerapan Hukum Pidana Adat Dalam Hukum Indonesia, Lex Crimen Vol. II/No. 5/September/2013
[3] Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, halaman 125.
Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?
Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.
Kirim PertanyaanAkibat Hukum Penerapan KUHP Baru Bagi Terpidana yang Sedang...
Puluhan Tas Mewah Istri Rafael Alun Diduga Hasil Gratifikasi

hukum expert
Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.