Persyaratan Menjadi Arbiter

Sistem penyelesaian sengketa di Indonesia terkait hukum perdata, dapat dilakukan melalui lembaga litigasi (lembaga Peradilan) dan lembaga non litigasi (lembaga di luar Peradilan). Salah satu lembaga penyelesaian sengketa di luar Peradilan ialah lembaga Arbitrase. Ketentuan mengenai lembaga Arbitrase diatur secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU Arbitrase). Ketentuan Pasal 1 angka 1 UU Arbitrase berbunyi:
“Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian Arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.”
Dalam sektor bisnis masih sering terjadi sengketa antar para pembisnis. Guna penyelesaian sengketa tersebut, para pembisnis lebih memilih menggunakan jalur non litigasi yaitu melalui lembaga Arbitrase. Penyelesaian sengketa melalui Arbitrase dinilai lebih efisien karena untuk prosedur penyelesaiannya sendiri tidak perlu waktu lama, lebih sederhana, serta putusannya yang bersifat final dan mengikat. Selain itu, Arbitrase menjadi pilihan para pelaku usaha karena sifat kerahasiaan terhadap putusan Arbitrase yang dapat menjaga nama baik para pelaku pembisnis.
Dalam penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase, para pihak berhak menentukan sendiri Arbiter yang digunakan atau ditentukan melalui putusan pengadilan. Menurut ketentuan Pasal 1 angka 7 UU Arbitrase menyebutkan,
“Arbiter adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa atau yang ditunjuk oleh Pengadilan Negeri atau oleh lembaga arbitrase, untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu yang diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase.”
Dalam hal menentukan Arbiter diatur dalam pasal 13 ayat (1) UU Arbitrase, yang berbunyi:
“Dalam hal para pihak tidak dapat mencapai kesepakatan mengenai pemilihan Arbiter atau tidak ada ketentuan yang dibuat mengenai pengangkatan Arbiter, Ketua Pengadilan Negeri menunjuk Arbiter atau majelis arbitrase.”
Mengenai kebebasan para pihak yang bersengketa untuk menentukan acara arbitrasenya sendiri yang dicantumkan dalam perjanjian secara tegas dan tertulis sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan undang-undang yang berlaku hal ini di dasarkan pada ketentuan Pasal 31 ayat (1) UU Arbitrase. Apabila lembaga arbitrase yang dipilih adalah Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) sesuai dengan pasal 2 Peraturan dan Prosedur Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) tahun 2022 mengenai kesepakatan para pihak , maka para pihak yang bersengketa telah diberikan pilihan arbiter yang akan dipilihnya. Berdasar pada Peraturan Prosedur BANI Pasal 10 ayat (1) Peraturan dan Prosedur BANI tahun 2022 juncto Pasal 11 ayat (2) Peraturan dan Prosedur BANI tahun 2022 tentang yang berhak menjadi Arbiter, Pihak Pemohon memilih seorang arbiter, dan Termohon memilih seorang arbiter, kemudian kedua arbiter yang terpilih dari masing-masing pihak tersebut akan memilih ketua majelis arbiter. Namun demikian, Para Pihak juga dapat memilih arbiter di luar yang ada pada daftar Arbiter BANI hal ini berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat (2) Peraturan dan Prosedur BANI tahun 2022.
Tugas seorang Arbiter atau majelis arbitrase adalah untuk menyelesaikan pemeriksaan dan memutus perkara arbitrase dalam jangka waktu yang telah ditentukan oleh para pihak yang mengangkat atau menunjuk Arbiter tersebut. Selain itu Arbiter mempunyai wewenang yang diatur dalam pasal 3 ayat (1) UU Arbitrase yaitu:
“Dalam hal para pihak telah menyetujui bahwa sengketa di antara mereka akan diselesaikan melalui arbitrase dan para pihak telah memberikan wewenang, maka Arbiter berwenang menentukan dalam putusan mengenai hak dan kewajiban para pihak jika hal ini diatur dalam perjanjian mereka.”
Seorang Arbiter dapat memberikan putusan terhadap suatu perkara yang diajukan dengan berdasarkan asas keadilan dan kepatutan (ex aequo et bono), dalam hal Arbiter diberi kebebasan untuk memberikan putusan berdasarkan keadilan dan kepatuhan, maka peraturan perundang-undangan dapat dikesampingkan. Akan tetapi dalam hal tertentu, hukum memaksa (dwingende regels) harus diterapkan dan tidak dapat disimpangi oleh Arbiter. Jika Arbiter tidak diberikan kewenangan untuk memutus perkara dengan asas keadilan dan kepatutan maka Arbiter hanya dapat memberi putusan berdasarkan kaidah hukum materiil sebagaimana dilakukan oleh hakim.
Syarat-syarat Menjadi Arbiter
Secara umum untuk menjadi seorang Arbiter syaratnya diatur dalam ketentuan Pasal 12 ayat (1) UU Arbitrase, adapun syaratnya yang harus dipenuhi untuk menjadi seorang Arbiter ialah sebagai berikut:
- Cakap melakukan tindakan hukum;
- Berumur paling rendah 35 tahun;
- Tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua dengan salah satu pihak bersengketa;
- Tidak mempunyai kepentingan finansial atau kepentingan lain atas putusan arbitrase; dan
- Memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif di bidangnya paling sedikit 15 tahun.
Meskipun para hakim, jaksa, panitera dan pejabat peradilan lainnya memenuhi kriteria seperti yang disyaratkan oleh undang-undang tersebut, tetapi menurut Pasal 12 ayat (2) UU Arbitrase, orang yang telah berprofesi sebagai hakim, jaksa, panitera dan pejabat peradilan tidak dapat ditunjuk dan diangkat sebagai Arbiter, alasannya agar terjamin adanya objektivitas dalam pemeriksaan serta pemberian putusan oleh Arbiter atau majelis arbitrase.
Pengangkatan Arbiter
Dalam lembaga Arbitrase BANI menentukan syarat penunjukan seorang Arbiter berdasarkan Pasal 10 ayat (1) Peraturan dan Prosedur BANI tahun 2022, yang dapat menjadi Arbiter merupakan orang yang tinggal di Indonesia dan di berbagai yurisdiksi di seluruh dunia, baik pakar hukum maupun praktisi dan pakar non hukum seperti para ahli teknik, para arsitek dan orang-orang lain yang memenuhi syarat. Daftar arbiter tersebut dari waktu ke waktu dapat ditinjau kembali, ditambah atau diubah oleh Dewan Pengurus. Arbiter yang dipilih oleh para pihak tunduk pada pertimbangan dan persetujuan Dewan Pengurus. Di samping memiliki persyaratan kualifikasi yang diakui oleh BANI, semua arbiter harus memiliki kriteria berdasarkan pasal 10 ayat (3), yaitu sebagai berikut:
- Berwenang atau cakap melakukan tindakan-tindakan hukum;
- Sekurang-kurangnya berusia 35 tahun;
- Tidak memiliki hubungan keluarga berdasarkan keturunan atau perkawinan sampai dengan keturunan ketiga, dengan setiap dari para pihak bersengketa;
- Tidak memiliki kepentingan keuangan atau apa pun terhadap hasil penyelesaian arbitrase;
- Berpengalaman sekurang-kurangnya 15 tahun dan menguasai secara aktif bidang yang dihadapi;
- Tidak sedang menjalani atau bertindak sebagai hakim, jaksa, panitera pengadilan, atau pejabat pemerintah lainnya.
Sedangkan pada Arbitrase biasa, mengenai pendidikan khusus Arbiter tidak dijadikan sebagai syarat utama atau penting untuk menjadi seorang Arbiter, sepanjang orang tersebut memenuhi ketentuan atau syarat-syarat sesuai pasal 12 ayat (1) UU Arbitrase, maka orang tersebut dapat langsung ditunjuk dan diangkat sebagai seorang Arbiter.
Sumber:
- Undang-undang nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa/ https://hukumexpert.com/peraturan/undang-undang-nomor-30-tahun-1999-tentang-arbitrase-dan-alternatif-penyelesaian-sengketa/
- Peraturan dan Prosedur Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) tahun 2022
Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?
Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.
Kirim PertanyaanPenerimaan Negara Bukan Pajak Dalam Jual Beli Properti
Aplikasi yang Tidak Mendaftar PSE Lingkup Privat Telah Diblokir...

hukum expert
Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.