Persekusi Sebagai Tindak Pidana Dalam KUHP 2023

Persekusi Sebagai Tindak Pidana

Persekusi merupakan salah satu bentuk tindakan yang termasuk ke dalam kejahatan terhadap kemanusiaan. Persekusi telah diakui sebagai salah satu tindak pidana dalam bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan sejak tahun 1993 dengan diadopsinya Statuta Pengadilan Internasional untuk negara Rwanda. Setahun kemudian dalam Statuta Pengadilan Internasional untuk kejahatan di bekas negara Yugoslavia persekusi juga dimasukkan sebagai salah satu bentuk  tindak pidana kejahatan terhadap manusia. Kedua Statuta ini memiliki persamaan dalam pengaturan mengenai persekusi sebagai tindak pidana dan sebagai salah satu bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan apabila dilakukan dalam konteks sistematik terhadap penduduk atau warga negara.[1]

Selain 2 (dua) statute tersebut, persekusi sebagai tindak pidana juga terdapat dalam rumusan Pasal 7 Ayat (1) huruf g yang menyatakan bahwa:

“Persecution” means the intentional and severe deprivation of fundamental rights contrary to international law by reason of the identity of the group or collectivity” (persekusi terhadap suatu kelompok yang dapat diidentifikasi atau kolektivitas atas dasar politik, ras, nasional, etnis, budaya, agama, gender atau atas dasar lain yang secara universal diakui sebagai tidak diizinkan berdasarkan hukum internasional)

Persekusi Sebagai Tindak Pidana Dalam KUHP 2023

Pada pertengahan tahun 2023, pemerintah Indonesia telah mengesahkan draft rancangan kitab undang-undang hukum pidana menjadi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (UU KUHP) dan akan berlaku efektif pada tahun 2026 mendatang. UU KUHP baru tersebut mengatur beberapa ketentuan pidana umum dan khusus yang sebelumnya tidak terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau dalam versi Belanda dikenal sebagai Wetboek van Strafrecht (KUHP Wvs). Salah satu ketentuan pidana khusus yang diatur dalam UU KUHP adalah tindak pidana berat terhadap hak asasi manusia yang terdiri dari 2 (dua) kategori kejahatan yaitu kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Berkaitan dengan hal tersebut, tindak pidana persekusi dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana diatur dalam Pasal 599 Huruf c UU KUHP yang berbunyi:

Dipidana karena Tindak Pidana terhadap kemanusiaan, Setiap Orang yang melakukan salah satu perbuatan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematis yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan terhadap penduduk sipil, berupa:

c. persekusi terhadap kelompok atau perkumpulan atas dasar politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, kepercayaan, jenis kelamin, atau persekusi dengan alasan diskriminatif lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional, dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun;

 

Masuknya tindak pidana persekusi tersebut dalam UU KUHP menegaskan bahwa ke depannya rujukan hukuman terhadap perbuatan persekusi sebagai tindak pidana tidak lagi mengacu pada beberapa ketentuan yang diatur dalam KUHP Wvs.

Apabila melihat rumusan Pasal 599 Huruf c UU KUHP dengan Pasal 7 ayat (1) Huruf g Statuta Roma, terdapat kesamaan dari unsur-unsur yang menyusun aturan tersebut. Dari rumusan-rumusan tersebut dapat diketahui bahwa suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai tindak pidana persekusi hanya apabila memiliki unsur serangan yang meluas atau sistematis. Unsur meluas menekankan pada luasan geografis dan jumlah korban. Sementara unsur sistematik menekankan pada implementasi kebijakan yang diduga melalui adanya pola yang sama dan berulang-ulang. Syarat meluas atau sistematis adalah syarat yang fundamental untuk membedakan kejahatan ini dengan kejahatan umum lain yang bukan merupakan kejahatan internasional.[2]

Selain unsur-unsur tersebut, hal yang terpenting harus diperhatikan adalah adanya unsur diskriminasi terhadap dasar politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, kepercayaan, jenis kelamin, atau alasan diskriminatif lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional. Menurut Theodor, diskriminasi adalah perlakuan yang tidak seimbang terhadap perorangan, atau kelompok, berdasarkan sesuatu, biasanya bersifat kategorikal, atau atribut-atribut khas, seperti berdasarkan ras, kesukubangsaan, agama, atau keanggotaan kelas-kelas sosial. Istilah tersebut biasanya untuk melukiskan, suatu tindakan dari pihak mayoritas yang dominan dalam hubungannya dengan minoritas yang lemah, sehingga dapat dikatakan bahwa perilaku mereka itu bersifat tidak bermoral dan tidak demokratis.[3]

Artinya, persekusi terhadap individu dan/atau kelompok tertentu terjadi atas dasar diskriminasi. Diskriminasi menjadi unsur penting dalam menilai perbuatan tersebut sebagai persekusi dengan syarat perbuatan tersebut dilakukan dengan cara atau metode tertentu sehingga mengakibatkan banyak korban. Ancaman hukuman yang diberikan terhadap tindak pidan persekusi adalah pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun. Ancaman hukuman tersebut sangat berbeda dengan ancaman hukuman yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU Pengadilan HAM). Khusus bagi pelaku persekusi ancaman hukuman yang diberikan oleh UU Pengadilan HAM adalah pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan paling singkat 10 (sepuluh) tahun sebagaimana dimaksud Pasal 40 UU Pengadilan HAM.

Namun, dengan masuknya tindak pidana berat terhadap HAM dalam UU KUHP, mencabut ketentuan pelanggaran HAM berat beserta ancaman hukuman pidananya yang terdapat dalam UU Pengadilan HAM. Oleh karena itu, dilihat dari ancaman hukuman pidana yang diberikan, maka dapat diketahui ancaman hukuman dalam UU KUHP lebih rendah dibandingkan dengan UU Pengadilan HAM. Hal tersebut menjadi sorotan, sebab rendahnya ancaman hukuman pidana yang diberikan dapat berpotensi lemahnya penegakan hukum terhadap pelanggaran HAM di Indonesia ke depannya.

Dengan demikian terlepas dari permasalahan diaturnya pidana umum dan khusus dalam satu ketentuan, dapat diketahui meskipun tidak terdapat definisi yang baku terhadap pengertian persekusi sebagai tindak pidana. Namun dengan adanya rumusan tindak pidana persekusi dalam UU KUHP setidaknya memberikan gambaran terhadap perbuatan persekusi itu sendiri. Sebab, dalam beberapa kasus, perbuatan yang seharusnya merupakan persekusi namun hukuman yang diberikan mengacu pada ketentuan-ketentuan pidana yang terdapat dalam KUHP Wvs. Dimana hal tersebut justru menghilangkan nilai dari persekusi atau kejahatan terhadap kemanusiaan itu sendiri.

 

Penulis: Rizky Pratama J., S.H.

Editor: Robi Putri J., S.H., M.H., CTL., CLA., & Mirna R., S.H., M.H., CCD.

 

[1] Candra Prayoga, Upaya Pencegahan Tindakan Persekusi (Persecution) Dalam Perspektif Penanggulangan Kejahatan (Studi di Polres Lampung Utara), Jurnal Petitum, Volume 1, No. 1, Februari 2021, halaman 2

[2] Nur Pujayanti & Harry Soeskandi, Pelaku Persekusi Dan Tindakan Main Hakim Sendiri, Mimbar Keadilan Volume 14 Nomor 28 Agustus 2018 Januari 2019, halaman 241

[3] Fulthoni, dkk, Memahami Diskriminasi: Buku Saku Untuk Kebebasan Beragama, The Indonesian Legal Resource Center (ILRC), Jakarta, 2009, halaman 1

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.