Perlawanan Eksekusi Putusan Arbitrase

Perlawanan atas Eksekusi Putusan Arbitrase menjadi salah satu hal yang dapat menghambat pelaksanaan putusan Arbitrase. Eksekusi dalam perkara perdata merupakan tindakan hukum bersifat paksaan (execution forcee) yang dijalankan oleh Ketua Pengadilan Negeri, sebagai bagian dari keseluruhan proses penyelesaian suatu sengketa. Sebagai suatu tindakan hukum, maka prosedur maupun proses eksekusi telah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Sama halnya dengan eksekusi putusan arbitrase, Pengadilan Negeri merupakan lembaga yang berwenang melakukan hal tersebut sebagaimana dimaksud Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU Arbitrase) yang secara rinci terdapat dalam Pasal 59 Ayat (1) dan Pasal 69 Ayat (1) terkait eksekusi putusan arbitrase internasional yang berbunyi:

Pasal 59 Ayat (1):

(1) Dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal putusan diucapkan, lembar asli atau salinan otentik putusan arbitrase diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri.

Pasal 69 Ayat (1):

(1) Setelah Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memberikan perintah eksekusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64, maka pelaksanaan selanjutnya dilimpahkan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang secara relatif berwenang melaksanakannya.

Sekalipun pengadilan tidak boleh campur tangan atau intervensi dalam urusan arbitrase, namun peran pengadilan dapat ditemukan dalam hal eksekusi putusan arbitrase. Sebab dalam pelaksanaan putusan arbitrase masih seringkali terjadi peristiwa dimana pihak yang kalah tidak mau melaksanakan putusan secara sukarela. Oleh karena itu, UU Arbitrase memberikan kewenangan kepada Pengadilan untuk terlibat dalam hal eksekusi putusan Arbitrase.

Eksekusi putusan Arbitrase diatur dalam Pasal 59 sampai dengan Pasal 69 UU Arbitrase. Pelaksanaan eksekusi putusan Arbitrase dibagi menjadi 2 jenis yakni eksekusi putusan arbitrase nasional dan eksekusi putusan arbitrase internasional. Dibaginya kedua jenis eksekusi tersebut dikarenakan terdapatnya perbedaan dari segi kewenangan dan syarat-syarat dalam melaksanakan eksekusi putusan arbitrase. Kekuatan putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak. Sehingga tidak dapat dilakukan upaya hukum biasa maupun luar biasa, namun dalam UU Arbitrase dimungkinkan untuk mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase.

Berkaitan dengan hal tersebut, setiap pelaksanaan eksekusi seringkali menimbulkan kerugian bagi pihak yang kalah maupun pihak yang diluar sengketa (pihak ketiga). Jika pihak yang kalah tidak kunjung melaksanakan isi putusan secara sukarela, maka pihak yang dimenangkan dapat mengajukan permohonan eksekusi terhadap putusan tersebut kepada pengadilan tingkat pertama yang memutus perkara tersebut. Hasil dari permohonan tersebut adalah penetapan eksekusi. Pihak yang tidak menerima atau dirugikan atas adanya penetapan tersebut dapat mengajukan perlawanan.

Perlawanan dalam hukum acara perdata dikenal dengan istilah verzet, Pasal 195 Ayat (6) Het Heterziene Inlandsch Reglement (HIR) menyatakan bahwa:

(6) Perlawanan terhadap keputusan, juga dari orang lain yang menyatakan bahwa barang yang di sita miliknya, dihadapkan serta diadili seperti segala perselisihan tentang upaya paksa yang diperintahkan oleh pengadilan negeri, yang dalam daerah hukumnya terjadi keputusan itu

Frasa “Perlawanan terhadap keputusan, juga dari orang lain yang menyatakan bahwa barang yang disita miliknya” artinya pelaksanaan putusan itu dilawan oleh orang lain yang mengakui barang yang disita itu sebagai miliknya. Pihak ketiga tersebut mempunyai hak untuk melakukan perlawanan apabila dinilai pelaksanaan isi putusan hakim yang memerintahkan sita eksekusi terhadap obyek milik pihak ketiga tersebut telah merugikan ataupun telah melanggar hak dan kepentingannya.

Berkaitan dengan pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase, hambatan yang seringkali terjadi adalah adanya permohonan pembatalan putusan arbitrase kepada Pengadilan Negeri atau diajukan perlawanan (verzet). Perlawanan (verzet) merupakan hak yang diberikan undang-undang kepada justitiabelen, yaitu perlawanan oleh pihak yang berperkara (partij verzet) dan oleh pihak ketiga (derden verzet).[1] Pihak termohon eksekusi dapat mematahkan jalannya eksekusi yang diajukan oleh pemohon eksekusi dengan mengajukan perlawanan. Kendati ketentuan Pasal 207 Ayat (3) HIR menyatakan bahwa verzet tidak menunda atau menghentikan eksekusi, namun praktiknya eksekusi putusan sering ditunda atau dihentikan ketika diajukan perlawanan oleh pihak yang kalah (partij verzet). Perlawanan partij verzet diajukan dengan berbagai alasan misalnya putusan mempunyai cacat yuridis, obyek yang hendak dieksekusi tidak jelas dan alasan lainnya.[2] Disamping partij verzet, pihak ketiga dapat pula mengajukan derden verzet dengan maksud agar eksekusi dapat dipatahkan. Derden verzet biasanya diajukan dengan alasan pihak ketiga adalah pemilik barang yang hendak dieksekusi atau pemegang hak jaminan atas objek eksekusi atau pemegang hak sita jaminan atau consevatoir beslag.[3]

Sebagai catatan, UU Arbitrase tidak mengatur tentang adanya upaya hukum baik upaya hukum biasa maupun luar biasa. Termasuk gugatan perlawanan pihak ketiga (derden verzet) yang merupakan bentuk upaya hukum luar biasa. Hal ini dikarenakan Pasal 60 UU Arbitrase menyatakan bahwa Putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak. Hanya saja UU Arbitrase memberikan kesempatan untuk dilakukannya permohonan pembatalan putusan Arbitrase ke Pengadilan Negeri oleh pihak yang kalah, apabila diduga putusan tersebut mengandung unsur-unsur yang diatur dalam Pasal 70 UU Arbitrase. Kemudian, UU Arbitrase juga tidak mengatur terkait dengan perlawanan pihak ketiga (derden verzet), tetapi bukan berarti perlawanan itu tidak dapat diajukan. Mengingat ketentuan Pasal 69 Ayat (3) UU Arbitrase yang menyatakan bahwa:

(3) tata cara penyitaan serta pelaksanaan putusan mengikuti tata cara sebagaimana ditentukan dalam Hukum Acara Perdata.

Ketentuan tersebut mengatur bahwa pelaksanaan putusan atau eksekusi putusan arbitrase dilakukan sesuai dengan ketentuan dalam hukum acara perdata. Dalam hal ini hukum acara perdata masih digunakan, sehingga menunjukkan bahwa upaya hukum perlawanan pihak ketiga dapat dilakukan. Kemudian, apabila dihubungkan dengan ketentuan dalam Pasal 195 ayat (6) HIR, yang mengatur pengajuan perlawanan pihak ketiga terhadap adanya putusan yang merugikan kepentingannya. Dengan ketentuan tersebut, pengajuan gugatan perlawanan terhadap pelaksanaan suatu putusan arbitrase yang merugikan haknya berdasar hukum.

Adapun Hakim yang memeriksa perlawanan pihak ketiga terhadap suatu putusan dapat menunda pelaksanaan putusan yang dilawan itu. Sebagaimana ketentuan Pasal 381 RV menyebutkan bahwa Hakim yang memeriksa gugatan perlawanan pihak ketiga (derden verzet), jika ada alasan-alasannya yang sangat relevan dengan pelaksanaan putusan, dapat menunda pelaksanaan putusan yang dilawan sampai dengan gugatan perlawanan diputus.[4] Artinya apabila dalam gugatan perlawanan pihak ketiga (derden verzet) dapat membuktikan dalil-dalil perlawanannya, maka pengadilan dapat menunda pelaksanaan putusan. Selanjutnya apabila gugatan perlawanan pihak ketiga sangat beralasan, pengadilan dapat menyatakan mengabulkan gugatan perlawanan pelawan serta permohonan eksekusi terlawan dibatalkan.

Penulis: Rizky P.J.
Editor: R. Putri J. & Mirna R.

 

 

 

 

 

 

 

[1] M. Khoidin, Hukum Arbitrase Bidang Perdata (Eksistensi, Pengaturan dan Praktik), Laksbang Pressindo, Surabaya, 2017.

[2] Ibid

[3] Abdulkadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, Alumni, Bandung, 1988.

[4] Muhammad Rutabuz Zaman, Perlawanan Pihak Ke Tiga (Derden Verzet) Atas Putusan Badan Arbitrase Nasional, MIYAH: Jurnal Studi Islam, Volume 17, Nomor 01, Januari 2021

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.