Peringatan Ketua Pengadilan Atas Pelaksanaan Eksekusi (Aanmaning)

Putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang bersifat menghukum haruslah diterima oleh para pihak, sebab sifat putusan pengadilan adalah mengikat bagi para pihak yang berperkara. Selain itu, dimungkinkan juga para pihak tidak melakukan upaya hukum, yang berarti pihak yang kalah telah menerima putusan tersebut. Konsekuensinya, khususnya pihak yang terkalahkan harus malaksanakan atau merealisasikan putusan tersebut dengan secara sukarela. Namun apabila pihak yang terkalahkan tidak mau melaksanakan secara sukarela, maka dapat dilakukan secara paksa dengan cara eksekusi.[1]

Pada dasarnya eksekusi sebagai tindakan paksa menjalankan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, baru merupakan pilihan hukum apabila pihak yang kalah tidak menjalankan atau memenuhi isi putusan secara sukarela, yang artinya eksekusi merupakan pilihan terakhir untuk melaksanakan putusan. Dalam hal ini pihak yang menang dapat mengajukan permohonan eksekusi Eksekusi Putusan Perdata.[2] Dengan adanya permohonan eksekusi yang diajukan oleh pihak yang menang kepada Ketua Pengadilan, selanjutnya Ketua Pengadilan akan mengeluarkan peringatan atau dikenal dengan aanmaning. Peringatan atau aanmaning diatur dalam Pasal 196 Het Herzien Inlandsch Reglement (HIR) yang menyatakan bahwa:

Jika pihak yang dikalahkan tidak mau atau lalai untuk memenuhi isi keputusan itu dengan damai, maka fihak yang menang memasukkan permintaan, baik dengan lisan, maupun dengan surat, kepada ketua, pengadilan negeri yang tersebut pada ayat pertama pasal 195, buat menjalankan keputusan itu Ketua menyuruh memanggil pihak yang dikalahkan itu serta memperingatkan, supaya ia memenuhi keputusan itu di dalam tempo yang ditentukan oleh ketua, yang selama-lamanya delapan hari.

Pelaksanaan aanmaning dilakukan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak pendaftaran, cukup dilakukan sebanyak 1 (satu) kali, kecuali apabila Ketua Pengadilan memandang perlu untuk dilakukan pemanggilan 1 (satu) kali lagi. Aanmaning dilakukan dengan memanggil pihak Termohon eksekusi dengan menentukan hari, tanggal, dan jam persidangan tersebut. Pemanggilan tersebut untuk menghadiri Sidang insidental untuk aanmaning. Persidangan tersebut dihadiri oleh Ketua Pengadilan, Panitera dan Pihak Termohon eksekusi untuk diberikan teguran agar menjalankan putusan hakim dalam tenggang waktu 8 (delapan) hari. Panitera membuat berita acara persidangan tersebut sebagai landasan bagi perintah eksekusi yang akan dilaksanakan. Apabila tenggang waktu yang ditentukan telah lewat dan pihak Termohon eksekusi tidak menghadiri sidang aanmaning tanpa alasan yang sah, maka Ketua Pengadilan mengeluarkan penetapan (beschikking) perintah eksekusi yang ditujukan kepada Panitera atau Jurusita sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 197 Ayat (1) HIR yang berbunyi:

(1) Jika sudah lewat tempo yang ditentukan itu, dan yang dikalahkan belum juga memenuhi keputusan itu, atau ia jika dipanggil dengan patut, tidak datang menghadap, maka ketua oleh karena jabatannya memberi perintah dengan surat, supaya disita sekalian banyak barang-barang yang tidak tetap dan jika tidak ada, atau ternyata tidak cukup sekian banyak barang tetap kepunyaan orang yang dikalahkan itu sampai dirasa cukup akan pengganti jumlah uang yang tersebut di dalam keputusan itu dan ditambah pula dengan semua biaya untuk menjalankan keputusan itu.

Berbeda halnya apabila setelah dilakukan aanmaning ternyata Termohon eksekusi telah memenuhi putusan secara sukarela, maka dibuatkan Berita Acara pelaksanaan putusan secara sukarela dan Berita Acara Serah Terima, selanjutnya Panitera akan mencatat dan diarsipkan serta dimasukkan dalam register perkara eksekusi. Hal yang harus dicatat terkait adanya aanmaning ini, dilibatkannya Ketua Pengadilan dalam pelaksanaan eksekusi sebenarnya bertujuan agar tidak terjadinya penangguhan terhadap pelaksanaan eksekusi.

Berkaitan dengan pelaksanaan aanmaning, secara eksplisit tidak terdapat pengaturan dalam HIR kapan aanmaning harus dilaksanakan. Padahal jika mengacu pada ketentuan Pasal 196 HIR, pelaksanaan aanmaning menjadi prasyarat utama melakukan putusan eksekusi. Akibatnya, dalam praktik seringkali terbuka kemungkinan pelaksanaan eksekusi yang berlarut-larut karena tidak ada batas waktu yang baku untuk diikuti oleh Ketua Pengadilan. Sehingga proses eksekusi putusan terutama dalam perkara perdata, cukup melelahkan pihak-pihak yang berperkara, selain menyita waktu, energi, biaya, tenaga juga pikiran.[3]

Dengan demikian, jelas dalam hal ini pelaksanaan aanmaning dilakukan apabila telah terdapat permohonan eksekusi yang diajukan oleh pihak yang dimenangkan dalam putusan kepada Ketua Pengadilan, dikarenakan pihak yang kalah tidak melaksanakan putusan. Dalam pelaksanaannya setelah peringatan tersebut dikeluarkan oleh Ketua Pengadilan, akan diadakan sidang incidental untuk melaksanakan eksekusi putusan tersebut. Apabila tidak hadir selama waktu yang ditentukan, maka Ketua Pengadilan mengeluarkan penetapan perintah eksekusi.

 

[1] M. Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hlm. 220.

[2] R. Soeroso, Praktik Hukum Acara Perdata Tata Cara dan Proses Persidangan, Sinar Grafika, Jakarta, 2001, hlm. 133.

[3] Yoyo Arifardhani, Penerapan Contempt of Court sebagai Terobosan dalam Membangun Efektivitas Eksekusi Riil dalam Perkara Perdata, Jurnal Sosial dan Budaya Syar-I, Vol. 8 No. 4 (2021),

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.