Eksekusi Putusan Perdata
Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum dalam menyelesaikan suatu konflik atau sengketa, akibatnya tidak boleh bertindak dengan menghakimi sendiri pelaku atau pihak yang berkonflik atau bersengketa. Salah satu cara yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan konflik atau sengketa tersebut yakni melalui pengadilan. Suatu perkara/sengketa diajukan oleh pihak yang merasa dirugikan kepada pengadilan untuk mendapatkan penyelesaian atau pemecahan. Pemeriksaan perkara memang diakhiri dengan putusan, akan tetapi dengan dijatuhkannya putusan belum tentu selesai persoalannya, putusan itu harus dapat dilaksanakan atau dijalankan (eksekusi). Eksekusi merupakan pelaksanaan Putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) yang dijalankan secara paksa oleh karena pihak yang kalah dalam perkara tidak mau mematuhi pelaksanaan acara Putusan Pengadilan. Definisi eksekusi menurut beberapa ahli, sebagai berikut:
- Subakti “Eksekusi adalah upaya dari pihak yang dimenangkan dalam putusan guna mendapatkan yang menjadi haknya dengan bantuan kekuatan umum (polisi, militer) guna memaksa pihak yang dikalahkan untuk melaksanakan bunyi putusan”.[1]
- Sudikno memberikan definisi eksekusi atau pelaksanaan putusan hakim pada hakekatnya tidak lain adalah realisasi dari kewajiban pihak yang bersangkutan untuk memenuhi prestasi yang tercantum dalam putusan tersebut.[2]
Pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara perdata dilakukan oleh panitera dan Juru Sita dipimpin oleh ketua pengadilan sebagaimana pasal 54 ayat (2) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Hakim). Eksekusi dilakukan terhadap putusan yang memiliki kekuatan hukum tetap, beberapa putusan berikut yang di anggap mempunyai kekuatan hukum tetap yang dapat dilakukannya eksekusi setelah putusan, antara lain:
- Putusan Pengadilan Negeri yang telah diterima kedua belah pihak yang berperkara
- Putusan perdamaian (acta van dading)
- Putusan verstekyang terhadapnya tidak dilakukan verzet atau banding
- Putusan Pengadilan Tinggi yang diterima kedua belah pihak yang tidak dilakukan upaya kasasi
- Putusan Mahkamah Agung dalam hal kasasi
Putusan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap tersebut haruslah keputusan yang bersifat comdenatuir atau putusan yang memiliki amar menghukum. Putusan yang berkekuatan hukum tetap tidak semuanya bisa dieksekusi, terdapat beberapa putusan yang telah berkekuatan hukum tetap yang tidak bisa dieksekusi yaitu:
- Putusan declaratoir yaitu pernyataan hakim yang dituangkan dalam putusan yang dijatuhkan. Pernyataan tersebut adalah penjelasan atau penetapan tentang hak maupun status yang dimana putusan tersebut dicantumkan dalam amar putusan.
- Putusan constitutief yaitu putusan yang memastikan suatu kondisi hukum baik yang bersifat meniadakan atau menimbulkan keadaan hukum baru.
- Barang yang akan dieksekusi tidak sesuai dengan yang tercantum dalam amar putusan.
- Obyek dari eksekusi tidak jelas, tidak ada, telah musnah, telah menjadi milik negara, obyeknya berada di luar negeri.
- Putusan yang dinyatakan non executable oleh Kepala Pengadilan Negeri berdasarkan berita acara yang dibuat jurusita yang diperintahkan untuk mengeksekusi putusan tersebut
Proses eksekusi terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut bisa dilakukan dengan cara paksa atau secara sukarela sebagaimana diatur dalam HIR pasal 195 :
“Dalam perkara perdata oleh karena pihak yang menang telah memperoleh keputusan hakim yang menghukum pihak lawannya maka ia berhak dengan alat-alat yang diperbolehkan oleh undang-undang untuk memaksa pihak lawan guna mematuhi keputusan hakim itu. Hak ini memang sudah selayaknya, sebab kalau tidak ada kemungkinan untuk memaksa orang yang dihukum maka peradilan akan tidak ada gunanya.
Dalam hal ini tidak ada jalan lain bagi pihak yang menang dari pada menggunakan haknya itu dengan perantaraan hakim untuk melaksanakan putusan tersebut, akan tetapi putusan itu harus benar-benar telah dapat dijalankan, telah memperoleh kekuatan pasti, artinya semua jalan hukum untuk melawan keputusan itu sudah dipergunakan, atau tidak dipergunakan karena lewat waktunya, kecuali kalau putusan itu dinyatakan dapat dijalankan dengan segera, walaupun ada perlawanan, banding atau kasasi.”
Dalam pelaksanaan eksekusi, terdapat tahap-tahap yang dilakukan sebagai berikut:[3]
- Adanya permohonan eksekusi
Eksekusi akan dapat dijalankan apabila pihak yang kalah tidak menjalankan putusan dengan sukarela, maka pihak yang menang mengajukan permohonan eksekusi kepada Ketua Pengadilan Negeri yang berwenang.
- Aanmaning
Aanmaning merupakan tindakan dan upaya yang dilakukan Ketua Pengadilan Negeri yang memutus perkara berupa “teguran” kepada Tergugat (yang kalah) agar ia menjalankan isi putusan secara sukarela dalam waktu yang ditentukan setelah Ketua Pengadilan menerima permohonan eksekusi dari Penggugat. Pihak yang kalah diberikan jangka waktu 8 (delapan) hari untuk melaksanakan isi putusan terhitung sejak debitur dipanggil untuk menghadap guna diberikan peringatan.
- Permohonan sita eksekusi
Setelah aanmaning dilakukan, ternyata pihak yang kalah tidak juga melakukan amar dari putusan maka pengadilan melakukan sita eksekusi terhadap harta pihak yang kalah berdasarkan permohonan dari pihak yang menang. Permohonan tersebut menjadi dasar bagi Pengadilan untuk mengeluarkan Surat Penetapan yang berisi perintah kepada Panitera atau Juru Sita untuk melakukan sita eksekusi terhadap harta kekayaan tergugat, sesuai dengan syarat dan tata cara yang diatur dalam Pasal 197 HIR, penetapan sita eksekusi merupakan lanjutan dari penetapan aanmaning. Secara garis besar terdapat 2 (dua) macam cara peletakan sita yaitu sita jaminan dan sita eksekusi. Sita jaminan mengandung arti bahwa, untuk menjamin pelaksanaan suatu putusan di kemudian hari, barang-barang yang disita tidak dapat dialihkan, diperjualbelikan atau dengan jalan lain dipindah tangankan kepada orang lain. Sedangkan sita eksekusi adalah sita yang ditetapkan dan dilaksanakan setelah suatu perkara mempunyai putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Setelah Pengadilan mengeluarkan Penetapan Eksekusi berikut Berita Acara Eksekusi maka tahap selanjutnya adalah lelang.
Lelang merupakan penjualan di muka umum harta kekayaan termohon yang telah disita eksekusi atau menjual di muka umum barang sitaan milik termohon yang dilakukan di depan juru lelang atau penjualan lelang dilakukan dengan perantaraan atau bantuan kantor lelang dan cara penjualannnya dengan jalan harga penawaran semakin meningkat atau semakin menurun melalui penawaran secara tertulis (penawaran dengan pendaftaran). Tujuan lelang ini adalah untuk pemenuhan kewajiban si tergugat, penggunaan kantor lelang dimaksudkan agar harga yang didapat tidak merugikan si tergugat dan sesuai dengan harga yang sewajarnya di pasaran, kemudian hasil lelang digunakan untuk membayar kewajiban yang telah ditetapkan dalam putusan hakim.
Apabila ditinjau dari sasaran yang hendak dicapai oleh hubungan hukum yang tercantum berdasarkan amar putusan pengadilan yang bersifat condemnatoir, maka jenis eksekusi dapat diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) bentuk yaitu:[4]
- Melaksanakan suatu perbuatan (Pasal 225 HIR)
Hal ini diatur dalam Pasal 225 HIR, yang intinya jika seseorang di hukum untuk melakukan suatu perbuatan, tetapi tidak melakukan perbuatan itu dalam waktu yang telah ditentukan oleh hakim, maka pihak yang dimenangkan dalam putusan hakim dapat meminta kepada ketua pengadilan negeri, baik secara lisan maupun tulisan meminta agar kepentingan yang menjadi haknya supaya segera dipenuhi oleh pihak yang dikalahkan dalam putusan hakim tersebut.
- Eksekusi Riil (Pasal 1033 RV)
Eksekusi riil yaitu melakukan suatu “tindakan nyata/riil” seperti menyerahkan sesuatu barang, mengosongkan sebidang tanah atau rumah, melakukan suatu perbuatan tertentu, dan menghentikan suatu perbuatan atau keadaan. Misalnya meyerahkan barang, pengosongan sebidang tanah atau rumah, pembongkaran, menghentikan suatu perbuatan tertentu, dan lain-lain. Eksekusi riil ini dapat dilakukan langsung dengan perbuatan nyata, sesuai dengan amar putusan tanpa memerlukan lelang.
- Eksekusi membayar sejumlah uang (Pasal 196 HIR)
Yaitu eksekusi yang menghukum pihak yang dikalahkan untuk membayar sejumlah uang (Pasal 196 HIR). Hal ini kebalikannya dari eksekusi riil di mana eksekusi tidak dapat dilakukan langsung sesuai dengan amar putusan tanpa pelelangan terlebih dahulu. Eksekusi yang hanya dijalankan dengan pelelangan terlebih dahulu, hal ini disebabkan nilai yang akan dieksekusi itu bernilai uang
[1] Subekti, 1997, Hukum Acara Perdata,Bandung, Bina Cipta. Hal. 128
[2] Sudikno, 1993. Hukum Acara Perdata Indonesia,Yogyakarta, Liberty, Hal. 209
[3] http://pn-karanganyar.go.id/main/index.php/berita/artikel/993-eksekusi
[4] Mertokusumo, Sudikno, 1998, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta : Liberty
Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?
Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.
Kirim Pertanyaanhukum expert
Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.